Alya, siswi SMA berusia 17 tahun dari keluarga miskin, tak pernah menyangka niat baik menolong pria tak dikenal justru membuatnya dituduh berzina oleh warga. Pria itu ternyata kepala sekolahnya sendiri. Reihan, 30 tahun, tampan dan terpandang. Untuk menyelamatkan reputasi, mereka dipaksa menikah dalam kontrak.
Kini, Alya menjalani hidup ganda: murid biasa di siang hari, istri kepala sekolah di balik pintu rumah.
Tapi mungkinkah cinta lahir dari pernikahan yang tak pernah diinginkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 17
Pukul 09.00 malam.
Reihan akhirnya menutup laptopnya, menghela napas panjang setelah menuntaskan tumpukan pekerjaan yang selama beberapa hari terakhir tak tersentuh. Matanya terasa perih, tubuhnya lelah, tapi pikirannya justru masih segar, bukan karena pekerjaannya, tapi karena seseorang.
Dengan langkah pelan, ia berjalan menuju kamar. Saat pintu kamar terbuka, pandangannya langsung jatuh pada sosok kecil di atas ranjang.
Alya tertidur dalam balutan selimut tebal, wajahnya setengah tertutup bantal, hanya terlihat ujung rambut dan sedikit keningnya. Tubuhnya menggulung seperti kepompong, seolah menyatakan bahwa ia tidak ingin siapa pun mendekat, terutama Reihan.
Namun, bukan Rehan namanya jika menyerah semudah itu.
Senyum kecil terbentuk di sudut bibirnya. Bukan senyum licik, melainkan senyum geli, melihat bagaimana istrinya berusaha keras menciptakan benteng tak kasatmata.
“Unik sekali,” gumam Rehan pelan, hampir tanpa suara.
“Kamu pikir bisa menghindar selamanya?”
Dengan santai, ia meraih remote AC di nakas, lalu menekannya. Suara bip pelan terdengar, menandakan AC telah dimatikan. Udara dingin perlahan menghilang, digantikan kehangatan ruangan yang mulai mengendap.
Ia pun membuka kancing kemejanya satu per satu, melepasnya, lalu mengganti celananya dengan celana pendek. Tanpa suara, ia naik ke ranjang dan merebahkan diri di samping Alya. Ia tidak menyentuhnya. Hanya berbaring, memandangi gumpalan selimut di sebelahnya dengan ekspresi puas.
“Lihat saja, berapa lama kamu bisa bertahan di dalam kepompong itu,” batinnya, penuh rasa penasaran.
Matanya perlahan terpejam. Tapi sebenarnya ia tak benar-benar tidur.
Beberapa waktu berlalu.
Alya mulai gelisah.
Tubuhnya berguling ke kiri dan ke kanan, keningnya berkeringat, rambutnya mulai menempel di pelipis. Meski setengah sadar, ia tahu ada yang salah. Udara terasa pengap. Gerah. Selimut yang membungkus tubuhnya kini terasa seperti perangkap panas.
Tangannya mengibas-ngibas wajah. Napasnya berat.
“Astaga, panas banget sih,” gerutunya pelan, matanya kini terbuka penuh.
Ia bangkit duduk sambil menyeka keringat di lehernya. Matanya menatap ke sekeliling kamar. Lalu menyadari. AC mati.
“Apa lagi ini.” gumamnya kesal.
Pandangan matanya jatuh pada Rehan, yang terlihat tertidur lelap di sisi ranjang. Nafas pria itu teratur, wajahnya tampak tenang. Tapi Alya tahu. ini pasti ulahnya.
“Pasti kamu, ya.” bisiknya pelan, dengan tatapan menyipit tajam.
Ia turun dari ranjang perlahan, berjalan pelan menyusuri sudut-sudut kamar untuk mencari remote AC. Ia meraba meja kecil, membuka laci, bahkan mencoba melihat ke kolong ranjang. Tapi nihil.
Remote itu menghilang begitu saja.
“Gila, dia sembunyikan dimana sihh.. remote nya” gerutunya sambil berdiri dengan kedua tangan bertumpu di pinggang. Tatapannya kini kembali ke arah ranjang, lebih tepatnya ke arah Rehan.
Pria itu masih memejamkan mata, tapi sudut bibirnya yang sedikit tertarik membuat Alya semakin curiga. Ia ingin meneriaki, ingin menyentil, ingin melempar bantal, tapi jam dinding menunjukkan sudah lewat tengah malam. yang ada ia akan membangunkan para penghuni apartemen lain.
Maka mau tak mau, dengan helaan napas berat, Alya melepaskan selimut tebal dari tubuhnya.
“Panas begini, bisa mati kegerahan kalau terus membungkus diri,” gumamnya.
Ia kembali ke ranjang, merebahkan diri dengan hati-hati, mencoba menciptakan jarak aman di antara mereka berdua. Tapi karena ruangannya tidak terlalu besar, sedikit saja ia bergeser, lengannya bisa menyentuh lengan Rehan.
Dan entah kenapa, panas tubuh Rehan justru membuatnya semakin tidak nyaman, sekaligus gugup.
Alya memejamkan mata kuat-kuat.
“Tidur, Al... tidur. Jangan pikirkan dia.”
Tapi Rehan yang dari tadi “tidur” itu, diam-diam membuka matanya sedikit. Matanya melirik ke arah istrinya yang kini sudah terbaring tanpa selimut. Napasnya nyaris tercekat melihat gadis itu mengipasi dirinya pelan dengan tangan. Wajahnya tampak kesal, namun sangat menggemaskan.
Rehan menahan tawa.
Ia merasa menang.
Namun Aksi Reihan tidak sampai di situ saja.
pria itu masih dalam posisi terbaring, tapi matanya terbuka, menatap langit-langit kamar dengan senyum licik yang tak bisa ia sembunyikan.
Alya sudah tertidur lagi.
Tanpa selimut.
Rambutnya sedikit berantakan, napasnya lembut, dan tubuhnya yang kecil tampak menggigil perlahan.
Reihan menoleh, memastikan gadis itu benar-benar terlelap. Setelah yakin, ia bangkit perlahan dari ranjang. Kakinya melangkah dengan sangat hati-hati, nyaris tanpa suara, seperti pencuri yang sedang melancarkan aksinya.
Ia memungut selimut tebal yang tadi sempat dilepas Alya dan kini tergeletak begitu saja di lantai. Dengan penuh kehati-hatian agar tidak membuat suara, Reihan menggulungnya, lalu melangkah menuju kamar mandi.
Setibanya di sana, ia membuka keran bathtub, dan dengan ekspresi puas, ia menjatuhkan selimut itu ke dalam air.
Byur...
Air menyerap cepat, membasahi setiap serat kain. Rehan tersenyum puas melihat selimut besar itu tenggelam dan menjadi berat, basah kuyup tak karuan.
Ia menepuk-nepuk kedua tangannya, seperti seseorang yang baru saja menyelesaikan tugas rahasia.
“Mission accomplished,” gumamnya pelan sambil tertawa kecil.
Setelah mematikan keran, Rehan kembali ke kamar. Ia menyusupkan remote AC dari bawah bantalnya. tempat persembunyian yang sempurna. lalu menyalakannya. Kali ini, suhunya ia atur ke angka yang membuat siapapun pasti menggigil dalam waktu singkat.
17°C.
Dan ia kembali ke ranjang. Membaringkan diri di posisi semula. Ia ingin melihat apakah aksinya ini berhasil.
Waktu berlalu.
Senyum tipis muncul di wajah Rehan saat merasakan sesuatu.
Tubuh kecil Alya mulai bergeser perlahan, mengendap dalam tidurnya.
Pertama, tangan gadis itu menyentuh lengan Rehan.
Lalu, secara perlahan, tubuhnya menempel lebih dekat. Hingga akhirnya, tanpa sadar, Alya menyusup ke pelukan Rehan dan memeluknya erat, seolah mencari kehangatan yang tak ia temukan di mana pun.
Hatinya langsung berdegup cepat. Tapi Rehan menahan diri agar tetap terlihat tenang. Meski dalam hatinya. sudah penuh kembang api.
“Rasakan itu,” batinnya puas.
“pada akhirnya kamu tetap datang padaku.”
Ia memejamkan mata dengan tenang, kali ini benar-benar tidur, sambil membiarkan Alya bersandar erat dalam pelukannya.
...
Sinar matahari pagi menembus tirai kamar yang setengah terbuka. Burung-burung berkicau pelan dari luar, menciptakan suasana damai yang kontras dengan detak jantung Rehan yang kini mulai terbangun.
Ia membuka matanya perlahan. lalu melihatnya.
Alya.
Masih berada dalam pelukannya. Masih memeluk tubuhnya erat, bahkan satu kaki gadis itu melingkar di kakinya. Wajah mereka hanya berjarak satu jengkal, atau mungkin kurang.
Rehan tersenyum kecil.
Tapi ia tetap menutup matanya lagi.
Ia ingin melihat. reaksi gadis itu saat sadar.
Beberapa menit kemudian, tubuh Alya mulai bergerak.
Mula-mula pelan, lalu mendadak.
“Eh...!”
Mata gadis itu membelalak.
Ia membeku. Napasnya tertahan.
Wajahnya. hanya satu inci dari wajah Reihan. Dadanya menempel pada dada pria itu. Tangannya memeluk pinggang Reihan, dan kaki mereka bersilangan. Seolah-olah, mereka pasangan pengantin yang baru saja melewati malam penuh cinta.
Padahal...
“ASTAGA!!” jeritnya tertahan.
Dengan panik, Alya langsung melepaskan diri, tubuhnya meloncat mundur hingga nyaris jatuh dari ranjang. Ia berdiri dengan napas terengah, lalu menatap Rehan yang masih tampak tidur dengan wajah super damai.
Namun hatinya menolak percaya. “Apa yang aku lakukan?!”
Wajahnya seketika memanas. Pipinya merona hebat. Ia segera meraih handuk dan melangkah cepat ke arah kamar mandi. Pintu kamar mandi dibanting cukup keras, tapi tidak sampai menimbulkan kegaduhan besar.
Di dalam kamar mandi, Alya bersandar di balik pintu, menatap langit-langit sambil menutupi wajahnya dengan tangan.
“YA TUHAN... barusan aku peluk dia?!”
Kepalanya menggeleng cepat, berusaha menghapus bayangan tadi dari pikirannya. Tapi sia-sia.
Bayangan wajah Rehan yang sangat dekat. napas hangatnya. dada bidangnya yang terasa begitu nyata.
Dug dug dug dug...
Dadanya berdebar hebat.
“Jangan dipikirin, Alya... jangan pikirin. Mandi aja. Lalu pergi ke sekolah. Anggap semua itu cuma mimpi buruk!”
Ia menarik napas panjang, lalu berjalan ke arah shower.
Tapi bahkan di bawah guyuran air pun, pipinya tetap merah.
Sementara itu di luar, Rehan, yang kini benar-benar terbangun, tersenyum geli sambil menatap langit-langit kamar.
“Drama pagi yang menyenangkan,” bisiknya pelan.
Lalu ia meregangkan tubuhnya, dan berjalan ke arah kamar mandi sambil berseru,
“Sayang, jangan kelamaan mandinya ya. Sarapan udah aku siapin, kalau kamu mau makan bareng aku.”
Tak ada jawaban dari dalam kamar mandi, kecuali suara air yang semakin deras.
Tapi Rehan tahu. Pagi ini, ia berhasil lagi membuat Alya kehilangan kendali.
Dan ini... baru permulaan.