Di tengah hiruk pikuk kota Jakarta, jauh di balik gemerlap gedung pencakar langit dan pusat perbelanjaan, tersimpan sebuah dunia rahasia. Dunia yang dihuni oleh sindikat tersembunyi dan organisasi rahasia yang beroperasi di bawah permukaan masyarakat.
Di antara semua itu, hiduplah Revan Anggara. Seorang pemuda lulusan Universitas Harvard yang menguasai berbagai bahasa asing, mahir dalam seni bela diri, dan memiliki beragam keterampilan praktis lainnya. Namun ia memilih jalan hidup yang tidak biasa, yaitu menjadi penjual sate ayam di jalanan.
Di sisi lain kota, ada Nayla Prameswari. Seorang CEO cantik yang memimpin perusahaan Techno Nusantara, sebuah perusahaan raksasa di bidang teknologi dengan omset miliaran rupiah. Kecantikan dan pembawaannya yang dingin, dikenal luas dan tak tertandingi di kota Jakarta.
Takdir mempertemukan mereka dalam sebuah malam yang penuh dengan alkohol, dan entah bagaimana mereka terikat dalam pernikahan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon J Star, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sebagai Tamu
Karena telah berjanji untuk datang sebagai tamu ke rumah Pak Rahmat, Revan tentu tidak melupakan janjinya. Bagi Revan menepati janji bukan hanya soal sopan santun, tapi juga membentuk karakter seorang pria sejati.
Seperti biasa, Revan cenderung membesar-besarkan hal-hal sederhana. Ia memperlakukan kedatangan ke rumah seseorang layaknya undangan resmi dari seorang raja, atau bahkan pencapaian tertinggi dalam peradaban manusia.
Karena tidak punya uang, dan tidak ingin berlama-lama dengan Nayla gadis cantik yang dingin namun gila itu. Revan memilih pulang dengan berjalan kaki, karena jarak kontrakannya tidak terlalu jauh. Kemampuan fisik Revan yang berada jauh di atas rata-rata kebanyakan orang, perjalanan itu tidak memerlukan banyak tenaga.
Senja mulai menurunkan cahayanya saat Revan tiba di kontrakan. Ia langsung membersihkan diri, membiarkan air membasuh sisa-sisa debu, pikiran, dan kegelisahan dari peristiwa yang baru saja dialami. Setelah selesai mandi, Revan sekali lagi membuka peti kayunya dan memandangi isinya. Ia lalu mengeluarkan kemeja bergaris putih biru dan celana pendek putih polos klasik. Setelah salah mengancingkan beberapa kancing kemejanya, Revan akhirnya melihat bayangannya di cermin retak di dinding. Sekilas, ia tampak sedikit lebih tampan dari biasanya.
Aroma samar melati masih menggantung di udara, jejak lembut yang ditinggalkan Nayla sebelumnya. Revan menarik napas dalam-dalam, memikirkan bagaimana besok harus menikahi wanita yang bahkan belum dikenalnya lebih dari sehari. Sebuah keputusan besar, yang datang begitu cepat dan merasa lucu. Namun begitu ia teringat mata Nayla yang penuh tekad yang membuat hatinya yang beku menjadi panas membara, Revan kemudian merasakan perasaan akrab yang aneh lahir dalam dirinya terhadap wanita yang luar biasa cantik itu.
Apakah ini bentuk penebusan? Atau mungkin karena Nayla memang berbeda dari wanita-wanita lain yang pernah ia temui? Revan tidak tahu, itulah mengapa ia memutuskan untuk menikahinya, dan membiarkan waktu memberinya jawaban tentang perasaan seperti apa yang dimilikinya untuk wanita itu.
Rumah Pak Rahmat sebenarnya tidak terlalu jauh, tetapi tanpa kendaraan Revan tidak punya pilihan selain berjalan kaki. Dengan langkah santai namun mantap, ia menempuh perjalanan selama setengah jam sebelum tiba di tujuan.
Wilayah itu merupakan kawasan permukiman lama di Jakarta Barat, dihuni oleh warga yang secara turun-temurun menetap di sana. Banyak di antara mereka tidak memiliki cukup penghasilan untuk pindah ke rumah yang lebih modern, sehingga suasana kampung tersebut masih kental dengan nuansa tradisional Jawa.
Revan melewati beberapa rumah kecil yang mengeluarkan asap dari cerobong dapurnya, pertanda aktivitas memasak tengah berlangsung. Ia akhirnya berhenti di depan sebuah rumah dengan pintu kayu berwarna merah tua, lalu mengetuk pelan.
Tok! Tok! Tok!
Tidak butuh waktu lama, pintu itu terbuka perlahan. Di baliknya muncul sosok gadis muda dengan wajah cerah dan bersih.
“Mas Revan! Mas sudah sampai,” sapa Naya dengan senyum lebar.
“Naya, lama tidak bertemu,” balas Revan sambil tersenyum tulus. Ia sedikit terkejut, dalam setengah tahun terakhir gadis itu telah banyak berubah. Wajahnya tetap lembut dan anggun seperti dulu, tapi kini ada aura kedewasaan yang mulai tumbuh.
Naya tampil sederhana namun menawan. Wajahnya yang khas Jawa tetap memancarkan keanggunan, dengan bulu mata lentik, hidung mungil, dan bibir tipis yang membentuk senyum alami. Ia mengenakan kaus oblong putih berlengan pendek dan celana jeans ketat pendek berwarna biru, memperlihatkan kaki jenjangnya yang putih bersih.
Melihat mata Revan menyapu ke atas dan ke bawah dengan senyum nakal, Naya merasa malu. Namun pada saat yang sama, diam-diam merasa senang di hatinya.
“Mas Revan, jangan cuma melotot. Ayo masuk,” katanya dengan malu-malu.
Revan tertawa pelan. “Naya sekarang sudah tahu malu ya? Padahal Mas cuma melihat sebentar, jangan-jangan takut pacarnya cemburu?”
“Aduh mas, aku tidak punya pacar,” jawab Naya langsung membantah, alisnya menyatu terlihat sedikit marah.
“Baiklah, baiklah. Mas hanya bercanda kok.” Revan mengangkat tangannya seolah menyerah. Ia tahu benar perasaan Naya, tapi juga sadar diri. Dengan masa lalu kelam yang ia pikul, Revan merasa tidak pantas mendekati gadis sepolos dan semurni itu. Karena itulah ia selalu menjaga jarak dan menegaskan posisinya sebagai sosok abang, bukan sosok kekasih.
Di ruang tamu, Pak Rahmat menyambut Revan dengan senyum hangat.
“Wah, nak Revan! Tadi Naya sedang bantu ibunya di dapur. Tapi begitu dengar ada yang mengetuk pintu, dia langsung lari ke depan seperti kelinci!” ujar Pak Rahmat sambil tertawa lebar.
“Ayah, jangan sembarangan bicara,” sahut Naya sambil tersipu. Ia menyandarkan diri ke lengan ayahnya, berusaha menghentikan omongannya sambil menyembunyikan rasa malunya.
Revan ikut tertawa, lalu duduk bersama mereka. Ruang tamu itu sederhana, penuh kenangan. Perabotannya sudah berumur puluhan tahun, dengan cat merah yang mulai pudar. Namun justru itulah yang memberi kesan hangat dan klasik, menunjukkan gaya hidup yang bersahaja.
Di bawah cahaya temaram, beberapa lalat musim panas beterbangan di dalam rumah. Angin sepoi-sepoi menerpa lorong sempit, membawa kesejukan yang lembut dan menciptakan suasana damai.
Sambil menyeruput teh hangat yang disuguhkan Naya, Revan tiba-tiba merasakan kepuasan yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Pandangannya tertuju ke langit malam yang bertabur bintang, dan untuk sesaat pikirannya melayang jauh.
"Nak Revan, jangan menunjukkan ekspresi seperti itu. Jalan hidup masih panjang dan masa depanmu bisa sangat cerah," ucap Pak Rahmat lembut sambil menyesap teh hijau dari cangkir keramiknya.
Revan tersadar dari lamunannya, lalu tersenyum kecil. "Belakangan ini banyak perempuan suka pria yang terlihat bijaksana, bukankah aku hanya berlatih untuk terlihat bijaksana?"
"Hehe," Pak Rahmat tertawa pelan. “Nak Revan, orang lain mungkin tidak menyadarinya, tapi aku sudah cukup lama mengenalmu. Selama enam bulan ini, aku tahu betul karaktermu. Kamu tidak bisa berpura-pura, nak. Kalau tidak mengalami sesuatu yang berat, mana mungkin kamu memilih berjualan sate ayam di pinggir jalan tanpa alasan?”
Revan hanya tersenyum samar, tidak ingin bicara terlalu banyak. Sosok seperti Pak Rahmat yang telah melewati kerasnya hidup, bisa saja menebak bahwa ada beban besar yang ia simpan rapat di dalam hatinya. Meski begitu, perkiraan Pak Rahmat masih jauh dari kebenaran.
Beberapa orang memang ditakdirkan untuk hidup dalam kesepian, karena tidak ada seorang pun yang benar-benar bisa bergaul dengan mereka.
Malam itu, keluarga Pak Rahmat menyiapkan makan malam yang sangat istimewa. Mereka menyembelih ayam jantan peliharaan, merebusnya menjadi sup yang harum dan menyajikan berbagai hidangan laut seperti ikan dan kepiting. Mengingat kondisi keuangan keluarga itu, jamuan ini terasa lebih mewah daripada pesta tahun baru.
“Nak Revan, makanlah yang banyak. Meskipun sederhana, ini adalah bentuk terima kasih kami yang tulus,” ujar Bu Ida sambil tersenyum, wajahnya yang penuh keriput memancarkan kasih sayang seorang ibu. Ia menatap Revan seolah melihat anak kandungnya sendiri.
Revan tidak banyak bicara dan menyantap makanan itu dengan lahap, suapan demi suapan besar. Karena ia tahu betul, dengan cara inilah pasangan ini bisa benar-benar merasa bahagia dan dihargai.
Sesekali Naya menambahkan makanan ke piring Revan, diam-diam memperhatikannya dengan pandangan penuh rasa. Ketika Revan memuji rasa masakannya, Naya tersenyum malu seolah ada madu yang mengalir di hatinya. Sebab sebagian besar hidangan malam itu adalah hasil tangannya sendiri.
Awalnya Revan tidak berniat menyentuh tuak, namun karena suasana hangat dan juga karena pikirannya sedang kacau akibat urusan pernikahan, ia akhirnya ikut meneguk beberapa gelas tuak bersama Pak Rahmat. Kehangatan yang mengalir di perutnya terasa menenangkan.
“Nak Revan, kalau bukan karena bantuanmu selama enam bulan terakhir, kami pasti sudah kesulitan. Sekarang Naya sudah mendapatkan pekerjaan tetap, di masa depan kamu bisa sering-sering datang berkunjung. Aku juga akan memasakkan makanan enak untukmu," ucap Bu Ida dengan gembira.
Wajah Revan mulai memerah, tetapi kesadarannya masih utuh. Ia tersenyum dan bertanya, “Oh ya, Naya sudah bekerja? Di mana?”
“Aku diterima di SMA Negeri 1 Jakarta, sebagai guru Bahasa Inggris. Karena ada guru yang sedang cuti melahirkan, aku ditunjuk menjadi wali kelas sementara,” jawab Naya tersenyum pelan.
“Guru Bahasa Inggris, sekaligus wali kelas. Hebat juga kamu, Naya,” ujar Revan sambil mengangguk kagum. “Gajinya pasti lumayan. Tapi nanti kalau sudah gajian, jangan lupa traktir mas Revan ya.”
Pak Rahmat dan istrinya tertawa senang, jelas terlihat mereka bangga dengan putri mereka yang kini sudah punya masa depan yang cerah.
Naya dengan wajah malu-malu, menyunggingkan senyum kecil. “Kalau begitu, jika ada waktu luang mas Revan harus mampir ke sekolah. Kalau tidak, bagaimana aku bisa ingat?”
“Baiklah, Mas pasti akan datang. SMA Negeri 1 Jakarta itu sekolah terkenal, Mas belum pernah ke sana,” jawab Revan dengan nada santai, namun tulus.
Setelah makan, Pak Rahmat menarik Revan untuk menemaninya minum teh dan bermain catur Jawa. Meskipun sebenarnya Pak Rahmat tidak terlalu pandai bermain dan Revan bahkan lebih tidak paham lagi, mereka menikmati permainan itu sambil bercanda ringan. Sementara itu, Naya membantu ibunya membereskan meja makan dengan penuh bakti.
Beberapa saat kemudian, setelah kalah dalam permainan catur. Perut Revan terasa sedikit tidak nyaman karena campuran sup, tuak, dan teh. Ia meminta izin untuk ke kamar mandi dan meminta pak Rahmat menunggu. Ia kemudian berlari menuju kamar mandi, berniat untuk mengeluarkan isi perutnya dulu.
Kamar mandi rumah Pak Rahmat berada di belakang, di sebuah bangunan kecil terpisah. Dengan langkah sedikit sempoyongan, Revan berjalan melewati lorong sempit, lalu mendorong pintu kayu kamar mandi.
“AAAHH!!!”
Tiba-tiba terdengar jeritan keras dan panik masuk ke telinga Revan. Seketika itu ia mengangkat kepala dan terkejut.
Di depannya berdiri Naya yang baru saja selesai mandi, tubuhnya masih basah dan belum mengenakan sehelai kain pun. Meskipun di bawah cahaya lampu lima watt yang remang-remang, bayangan lekuk tubuh gadis itu terlihat begitu jelas. Revan juga melihat sebuah area kecil berwarna hitam di tengah pinggangnya.
Naya buru-buru menutupi bukit kembarnya yang montok dengan tangan, namun tidak cukup untuk menyembunyikan karena ukurannya seperti buah melon. Sedikit di bawah bukit kembarnya, ada perut rampingnya yang masih basah. Tangan lainnya berusaha menutupi hutan lebat itu, dibantu dengan paha bulatnya yang rapat menjepit zona sensitifnya. Naya tidak tahu, bahwa tindakan ini secara nyata meningkatkan daya pikatnya.
Revan yang semula merasa pusing akibat tuak dan dorongan hasrat yang tidak terkendali. Kini menatap tubuh Naya yang belum sepenuhnya matang, namun memiliki daya tarik tersendiri. Pandangannya tertahan sesaat, dan tidak bisa menahan diri untuk menelan ludah. Ada bagian tubuhnya perlahan bangkit, mengisi tubuhnya dengan gelombang hasrat yang sulit diredam.