Update tiap hari ~
Follow Instagram: eido_481
untuk melihat visual dari karakter novel.
Setelah begadang selama tujuh hari demi mengejar deadline kerja, seorang pria dewasa akhirnya meregang nyawa bukan karena monster, bukan karena perang, tapi karena… kelelahan. Saat matanya terbuka kembali, ia terbangun di tubuh pemuda 18 tahun yang kurus, lemah, dan berlumur lumpur di dunia asing penuh energi spiritual.
Tak ada keluarga. Tak ada sekutu. Yang ada hanyalah tubuh cacat, meridian yang hancur, akibat pengkhianatan tunangan yang dulu ia percayai.
Dibuang. Dihina. Dianggap sampah yang tak bisa berkultivasi.
Namun, saat keputusasaan mencapai puncaknya...
[Sistem Tak Terukur telah diaktifkan.]
Dengan sistem misterius yang memungkinkannya menciptakan, memperluas, dan mengendalikan wilayah absolut, ruang pribadi tempat hukum dunia bisa dibengkokkan, pemuda ini akan bangkit.
Bukan hanya untuk membalas dendam, tapi untuk mendominasi semua.
Dan menjadi eksistensi tertinggi di antara lang
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eido, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mengikuti Seorang Wanita
Feng Jian berdiri dari bangkunya dengan tatapan gelap yang sulit disembunyikan. Matanya menatap ke arah arena di mana darah bercipratan dan jeritan lemah dari kultivator biasa yang nyaris tak berdaya terdengar pilu. Wasit tetap diam, penonton tertawa, dan sang bangsawan terus menghajar tanpa ampun.
"Menjijikkan…" batinnya. Wajahnya yang biasanya tenang kini mengeras, rahangnya mengatup rapat, dan kilatan dingin di matanya tak bisa dibohongi.
Dengan langkah mantap namun berat, Feng Jian berbalik. Jubah panjangnya berkibar halus ketika ia melangkah keluar dari arena pertarungan yang penuh ketidakadilan itu. Tak satu pun menahannya, dan tak satu pun berani menyeletuk, karena meski mereka tak merasakan auranya, ada hawa tak kasatmata yang membuat orang enggan mendekatinya.
Di sisi lain tribun, sepasang mata kuning terang mengikutinya sejak ia berdiri. Qin Aihan, yang duduk diam dalam kebingungan dan rasa gelisah, melihat sosok itu perlahan menjauh.
"Dia pergi…" gumamnya pelan, nyaris seperti bisikan angin.
Tanpa sadar, tubuhnya pun ikut bergerak. Ia berdiri perlahan, menyibak kerumunan dengan luwes, berusaha agar kepergiannya tidak mencolok. Mata indahnya terus mengawasi sosok Feng Jian yang melangkah menjauh, dan hatinya terasa terikat pada langkah kaki pemuda itu.
Ia menarik kerudung tipis dari jubahnya, menyembunyikan wajah cantiknya dari perhatian sekitar. Lalu, seperti bayangan yang lembut namun pasti, Qin Aihan mulai mengikuti Feng Jian dari kejauhan.
Ia tak tahu mengapa ia melakukannya. Ia tak tahu mengapa jantungnya berdetak lebih cepat setiap Feng Jian bergerak. Tapi satu hal yang ia tahu, ia ingin mengenal pemuda itu lebih dalam. Sesuatu dalam diri Feng Jian memanggil sisi terdalam dari hatinya, sesuatu yang tak bisa ia jelaskan… namun tak bisa ia abaikan.
Langkah kaki Feng Jian perlahan menjauh dari arena pertarungan, meninggalkan hiruk-pikuk dan aroma darah yang masih menggantung di udara. Wajahnya tampak tenang, namun sorot matanya menyiratkan kekecewaan dan amarah yang terpendam. Kota ini, pikirnya, meski penuh kemewahan, menyimpan sisi kelam yang lebih dalam dari yang ia bayangkan.
Tepat saat ia melintasi jalanan yang sepi di belakang arena, sebuah suara lembut bagai embusan angin musim semi memanggil namanya.
"Feng Jian..."
Langkahnya terhenti seketika. Ia menoleh pelan, dan pandangannya langsung bertemu dengan sepasang mata kuning terang yang menatapnya dari balik bayang-bayang bangunan. Seorang gadis cantik berdiri di sana, rambut hitam panjangnya tergerai indah, sebagian tertutup kerudung tipis yang menambah kesan misterius. Jubah yang ia kenakan berwarna biru lembut, dengan simbol kecil huruf "Qin" terukir samar di bagian dada meski Feng Jian tak menyadari maknanya.
Feng Jian mengerutkan dahi, mencoba mengingat. Wajah gadis itu… ya, ia pernah melihatnya keluar dari karavan utama. Gadis itu adalah seorang putri dari keluarga Qin yang membawanya masuk ke kota. Namun, ia belum sempat bertanya secara langsung siapa namanya.
Sementara itu, Qin Aihan menatap pemuda itu dengan jantung yang berdetak tak menentu. Ia memberanikan diri maju satu langkah, memastikan tak ada orang yang memperhatikan mereka. Ia tak bisa membiarkan keberadaannya dilaporkan pada keluarganya terutama jika mereka tahu ia bertemu seorang pria asing, sendirian.
Dengan suara yang masih lembut namun penuh tekad, ia berkata,
"Ikut aku. Ada tempat yang ingin kutunjukkan… tempat yang tak ada orang lain tahu selain aku sendiri."
Feng Jian memandangi gadis itu beberapa saat, menimbang dalam diam. Wajahnya tetap tenang, namun matanya menajam. Ia bisa merasakan bahwa gadis ini tidak membawa niat buruk hanya ada keingintahuan yang tulus dan kegelisahan yang terpendam.
Akhirnya, ia mengangguk perlahan.
"Baiklah. Tunjukkan jalannya."
Senyum tipis terbit di wajah Qin Aihan. Tanpa berkata-kata lagi, ia berbalik, melangkah dengan ringan dan cepat, membawa Feng Jian menuju sebuah lorong sempit yang tersembunyi di antara bangunan tua kota itu, menuju tempat rahasia yang bahkan keluarga Qin sendiri tak tahu keberadaannya.
Langkah kaki Feng Jian bergema lembut di jalanan berbatu, mengikuti di belakang Qin Aihan yang berjalan beberapa langkah di depannya. Cahaya matahari pagi mulai merambat turun, menciptakan bayangan panjang dari dinding bangunan tinggi yang mereka lewati. Lorong demi lorong, gang demi gang, semakin sepi dan sunyi. Tak ada satu pun pejalan kaki, tak terdengar hiruk-pikuk pasar, bahkan suara burung pun menghilang seolah tempat ini telah terputus dari kota.
Feng Jian mulai menyadari, mereka telah menempuh jarak cukup jauh dari arena dan keramaian. Matanya menyapu sekitar. Jalan yang sempit, tembok tinggi, dan pintu-pintu kayu tertutup rapat membuat tempat ini terasa asing. Namun, alih-alih merasa cemas atau curiga, hatinya tetap tenang. Ia tetap melangkah dengan keyakinan, karena sebuah sistem di dalam dirinya yang telah menemaninya sejak ia memasuki dunia ini telah memperingatkan bahwa Qin Aihan tidak membawa bahaya.
Bahkan lebih dari itu tingkat kesukaan gadis itu padanya telah mencapai dua bintang.
Feng Jian mengerutkan dahi, hatinya bergemuruh pelan. Ia mengingat notifikasi yang muncul semalam, saat ia berbaring di penginapan mewah itu. Dua bintang. Itu bukan sekadar ketertarikan biasa. Itu artinya, Qin Aihan menyukainya bukan karena kekuatannya, bukan karena latar belakangnya, tapi karena dirinya sendiri.
“Hanya karena aku tampan dan punya aura berbeda?” pikir Feng Jian, sedikit bingung. Ia menghela napas dalam-dalam. Di Bumi dulu, ia memang cukup populer, tapi karena ia hanya fokus dalam mengejar pekerjaan, akhirnya iya tak pernah berpacaran, apalagi menikah.
Qin Aihan masih terus berjalan, rambut panjangnya bergoyang seiring langkah. Ia tak menoleh sekalipun, namun langkahnya tak menunjukkan keraguan. Seolah ia tahu Feng Jian akan terus mengikutinya, tanpa perlu kata-kata. Feng Jian pun mempercepat sedikit langkahnya, mendekat.
Hati kecilnya terus bertanya-tanya.
“Mengapa gadis seanggun dan sekuat dia… menyukaiku?”
Namun sebelum jawaban itu sempat ia temukan, Qin Aihan berhenti di hadapan sebuah bangunan batu kecil yang tersembunyi di antara reruntuhan taman tua. Ia menoleh perlahan, dan mata mereka kembali bertemu. Kali ini, tak ada yang bisa disembunyikan dalam tatapan itu, keraguan, ketertarikan… dan sesuatu yang lain. Sesuatu yang belum terucap, namun mulai tumbuh perlahan di antara dua jiwa yang baru saja bertemu.
Di bawah sinar matahari pagi yang menyelinap melalui celah-celah dedaunan, Feng Jian dan Qin Aihan berdiri saling berhadapan di halaman sunyi bangunan tua yang telah lama terlupakan oleh waktu. Hening sejenak, hanya suara angin yang membelai lembut rambut mereka. Tatapan mereka bertaut, seolah waktu terhenti sejenak hanya untuk mereka berdua.
Mata kuning terang Qin Aihan menatap dalam ke arah Feng Jian. Ada getaran samar di dadanya, detak jantungnya berdebar cepat seperti genderang perang. Aura pemuda di hadapannya begitu menenangkan, namun tatapannya tajam dan dalam, seakan bisa menembus lapisan hatinya yang terdalam. Ia membuka mulutnya, hendak bicara, namun suaranya sempat tertahan. Ia menarik napas dalam, lalu berkata pelan, “Feng Jian… dari mana asalmu?”
Feng Jian masih menatapnya, alisnya terangkat ringan. Ia menjawab dengan jujur, tanpa basa-basi. “Aku berasal dari kota kecil yang sangat jauh dari sini. Tempat yang bahkan mungkin tak tercatat dalam peta-peta besar kekaisaran ini.”
Jawaban itu membuat Qin Aihan sedikit mengangguk pelan. Tapi sebelum ia sempat berkata sesuatu, Feng Jian melanjutkan, suaranya tenang namun penuh ketegasan.
“Aku datang ke kota ini bukan hanya untuk berdagang, atau memperkuat kultivasi... aku datang untuk mencari seorang istri.”
Qin Aihan membelalakkan mata. Hatinya seolah berhenti berdetak sejenak. Pipinya merona merah, seperti kelopak bunga yang disiram mentari pagi. Ucapan itu datang terlalu cepat, terlalu langsung… namun jujur, dan tak terbungkus kepalsuan apa pun.
Feng Jian menyadari keterkejutan di wajah gadis itu, namun ia tak menarik kata-katanya. Ia tidak bisa menyebutkan alasan sebenarnya tentang sistem yang tertanam di pikirannya, tentang dunia yang ditinggalkannya. Tapi ia bisa memilih untuk jujur sejauh yang mampu ia ungkapkan.
Qin Aihan menggigit bibir bawahnya, napasnya tak beraturan. Ia menundukkan kepala, menyembunyikan rona merah di pipinya yang mulai menjalar hingga telinganya. Tak pernah ada pria yang begitu terang-terangan berkata demikian padanya. Terlebih, pria itu adalah Feng Jian seorang pemuda yang bahkan hanya dengan kehadirannya saja mampu membuatnya kehilangan kendali atas perasaannya.
Di dalam hati, ia merasa seperti badai telah menyerbu relungnya. Namun entah mengapa, ia tidak membenci keberanian dan kejujuran itu. Justru sebaliknya ia merasa hangat, seperti ada sesuatu yang tumbuh tanpa bisa ia kendalikan.
Lalu, untuk pertama kalinya, Qin Aihan membalas tatapan Feng Jian dengan senyum halus lembut, malu, namun jujur. “Kau… pria yang aneh, Feng Jian.”
Feng Jian hanya mengangkat alis, senyum tipis terlukis di sudut bibirnya. “Mungkin. Tapi aku tidak akan berpura-pura menjadi orang lain.”
Dan di bawah langit biru kota perdagangan yang sibuk itu, sepasang pemuda dan pemudi berdiri dalam keheningan yang mulai terisi oleh sesuatu yang lebih dari sekadar percakapan sebuah benih yang perlahan tertanam… dan mungkin, akan tumbuh menjadi sesuatu yang tak bisa dipatahkan oleh waktu atau kekuatan dunia.