Pemuda 18 tahun yang hidup sebatang kara kedua orangtuanya dan adeknya meninggal dunia akibat kecelakaan, hanya dia yang berhasil selamat tapi pemuda itu harus merelakan lengan kanannya yang telah tiada
Di suatu kejadian tiba-tiba dia mempunyai tangan ajaib dari langit, para dewa menyebutnya golden Hands arm sehingga dia mempunyai dua tangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarunai, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
“Selamat siang, Nona Klara. Apa jadi teman nona membeli vila kita?” sapa Pak Dani dengan senyum formal, berdiri dari duduk begitu melihat Klara masuk bersama seorang pemuda.
“Siang juga, Tuan Dani,” jawab Klara ramah. Ia kemudian menoleh pada Han. “Ini teman saya. Perkenalkan, namanya Han Ivanov.”
Seketika ekspresi wajah Pak Dani berubah—meski hanya sepersekian detik. Matanya sempat membelalak kecil saat melihat siapa yang dimaksud Klara. Seorang pemuda dengan penampilan sederhana, bahkan jauh dari kesan kaya atau aristokrat. Namun sebagai staf profesional, ia cepat-cepat mengganti ekspresinya menjadi ramah kembali.
“Ah, Tuan Muda Han. Saya Dani,” ucapnya, berusaha menjaga nada suaranya tetap hormat. “Silakan duduk dulu. Ini katalog properti kami, mungkin ada yang cocok untuk Anda.”
Han menerima brosur tebal berisi daftar vila dan properti elite di kota Tamian. Ia membuka satu per satu halaman dengan teliti, sementara Klara memperhatikannya dari samping, sanpa sadar tersenyum dengan rona merah di pipinya melihat ekspresi serius di wajah Han yang menurutnya sangat tampan.
Beberapa menit berlalu dalam keheningan, sampai akhirnya Han menunjuk salah satu halaman.
“Yang ini… Vila nomor satu di Bukit Loc Frumos.”
Pak Dani mendongak, sejenak terpaku. “Itu… Vila paling eksklusif kami, Tuan Muda. Harga terakhirnya… 200 miliar,” katanya, dengan suara pelan seolah mencoba menahan ekspektasi.
“Baiklah,” ucap Han santai. “Saya pilih yang ini.”
Sejenak ruangan menjadi hening.
Pak Dani menelan ludah. Tangannya yang memegang brosur gemetar ringan. “M-maaf, Tuan Muda… Anda serius? Maksud saya… vila ini termasuk properti premium, bahkan belum pernah ada yang menawar langsung tanpa survei.”
Han menatapnya tanpa emosi. “Saya sudah yakin. Kalau bisa, segera urus dokumennya. Pembayaran hari ini juga.”
Wajah Pak Dani berubah pucat. Meski mencoba tersenyum, tapi raut wajahnya masih menyimpan keterkejutan.
Ia melirik Han dari atas sampai bawah—kaus sederhana, celana lusuh, sendal capit yang seharga 10 ribu dipasar. Sungguh bukan sosok yang biasa datang dan melemparkan dua ratus miliar rupiah tanpa berpikir panjang.
“Tidak perlu menilai dari tampilan luar, Tuan Dani,” kata Klara pelan, seolah bisa membaca isi pikiran pria paruh baya itu.
Pak Dani menunduk, wajahnya sedikit memerah karena malu telah menilai Han dari luarnya saja.
“Maafkan saya, Tuan Muda Han. Kalau begitu, izinkan saya untuk segera memproses semuanya.”
Klara duduk lebih dekat pada Han setelah kepergian Tuan Dani, menyisakan mereka berdua di sofa ruang pertemuan itu. Senyumnya mengembang, penuh rasa lega dan kagum—akhirnya vila Loc Frumos, vila paling megah di bukit itu, terjual juga. Dan yang lebih mengejutkan, pembelinya adalah Han—pemuda misterius yang tiba-tiba muncul dalam hidupnya dengan segunung kejutan.
“Eh, Klara, kamu ada di sini juga?” terdengar suara pria dari arah lift.
Klara dan Han menoleh. Seorang pria paruh baya berjalan mendekat dengan raut wajah ramah—dengan setelan rapi dan aura seorang pengusaha sukses.
“Oh, Ayah! Aku habis nemenin temen aku beli vila yang di bukit Loc Frumos itu, loh!” jawab Klara dengan nada riang.
Mata pria itu sedikit membelalak. “Yang nomor satu itu? Sudah terjual? Siapa yang membelinya?”
Sebelum Klara sempat menjawab, mata pria itu menangkap sosok Han yang duduk di samping putrinya. Seketika ekspresi wajahnya berubah—terkejut, penuh pengenalan, dan rasa haru.
“Nak Han... Beneran kamu?”
Han bangkit berdiri, sedikit kaku. Ia tidak menyangka pria itu adalah orang yang dikenalnya.
“Pak... Jaja?” ucap Han dengan sopan, masih sedikit bingung.
Klara yang menyaksikan itu langsung gelisah, “Loh... Ayah kenal sama Han?”
Pak Jaja menoleh ke Klara, lalu tersenyum hangat. “Tentu saja kenal. Kamu masih ingat waktu ayah ke desa Raman bareng adikmu, kan?”
Klara mengangguk pelan, ia ingat beberapa hari yang lalu ayahnya berkunjung ke desa itu untuk melihat proyek.
“Nah, waktu ayah ingin pulang, tiba-tiba mobil ayah mogok. Karena buru-buru harus ke kota untuk urusan bisnis, ayah sama adikmu akhirnya naik bus. Tapi di tengah jalan... penyakit aneh Ayah kambuh. dan Ayah nyaris pingsan di bangku belakang."
"Hah? Ayah serius… penyakit aneh ayah sudah sembuh?" Klara menatap ayahnya dengan mata membelalak, lalu berpaling ke arah Han, seolah mencari penjelasan tambahan di wajah tenangnya.
"ayah sudah memeriksanya ke dokter dan hasilnya luar biasa jantung ayah sudah baik seperti tidak mempunyai penyakit jantung, padahal sebelumnya para dokter sangat yakin bahwa ayah memiliki riwayat jantung namun setelah Ayah di obati oleh nak Han, penyakit yang mereka anggap bahwa itu riwayat jantung telah sembuh dengan sendirinya"
Pak Jaja memandang Han dengan mata yang mulai berkaca-kaca, penuh syukur dan haru.
"Tuan Jaja terlalu memuji. Saya hanya kebetulan berada di sana… dan saya punya sedikit kemampuan, jadi saya lakukan apa yang bisa saya bantu." Suara Han tenang, merendah. Ia tidak ingin dianggap pahlawan.
"Anak ini... benar-benar berbeda dari pemuda kebanyakan," Batin Ayah Klara, tatapannya tak lepas dari wajah Han yang tenang tapi menyimpan aura luar biasa.
Pak Jaja duduk di seberang Han, kali ini wajahnya terlihat lebih serius dan sorot matanya lebih dalam.
"Masalah penyakitku kemarin… bisakah Nak Han menjelaskan lebih rinci? Apa sebenarnya yang aku derita? Nak Han pasti tahu, seorang kultivator mustahil mengidap penyakit seperti manusia biasa. Setelah meridian dan akar spiritual terbuka, tubuh seharusnya sangat kuat—kecuali jika terkena luka parah dalam pertempuran… atau diracuni."
Han menghela napas. "Sepertinya memang sudah waktunya saya menjelaskan semuanya," katanya pelan, mengingat kembali detik-detik saat ia menolong Pak Jaja.
"Yang Tuan Jaja katakan benar. Penyakit itu bukan penyakit jantung biasa. Saya mendeteksi… racun. Racun lambat yang menyatu dengan energi spiritual Anda, menggerogoti tubuh secara perlahan—khususnya jantung."
Klara menahan napas, wajahnya menegang.
"Gejala yang muncul memang mirip penyakit jantung. Itulah kenapa dokter salah diagnosa. Tapi sebenarnya itu… upaya pembunuhan perlahan."
Pak Jaja sontak terdiam. Klara meremas ujung bajunya, matanya bergetar.
"Racun…? Tapi… siapa yang ingin membunuh Ayah?" tanya Klara dengan suara gemetar. “Ayah… punya musuh?”
Pak Jaja memejamkan mata. Ia mencoba mengingat, mencari jejak dendam masa lalu. Namun yang muncul hanya teka-teki dan kecurigaan.
"Ayah tak yakin… Tapi jika benar ada yang meracuniku… berarti orang itu sudah sangat dekat." Ucapannya pelan, nyaris berbisik, sebelum menarik napas panjang. "Aku akan lebih berhati-hati ke depannya…"
Ia menatap Han dalam-dalam. "Sekali lagi, terima kasih, Nak Han. Kau telah menyelamatkan hidupku. Maka izinkan aku membalasnya. Sebagai bentuk terima kasih… aku ingin memberikan diskon 50 persen untuk vila itu. Tolong, kali ini jangan ditolak."
Han mengangkat tangannya cepat. "Tidak… Saya tahu biaya pembangunan vila ini pasti sangat besar. Saya tidak ingin kemurahan hati Tuan Jaja jadi beban bisnis Anda."
"Kenapa kamu menolaknya?" potong Klara, agak kesal. "Bahkan Ayahku bisa saja memberimu vila itu secara cuma-cuma. Kamu sudah menyelamatkan nyawanya! Tentu saja kami harus membalasnya!"
Han hanya tersenyum, sedikit menggeleng. "Saya ikhlas membantu… bukan untuk balasan."
Pak Jaja tersenyum kecil, lalu berdiri. “Kalau begitu begini saja—kamu bayar 90 persen, aku yang tanggung sisanya. Titik. Kali ini kamu tidak bisa menolak.”
Klara mengangguk setuju. “Deal. Kalau kamu tolak lagi, aku bakal marah.”
Kali ini, Klara menunjukkan sisi lain dari dirinya—sisi yang jarang, bahkan hampir tak pernah terlihat oleh siapa pun. Ia bukan lagi wanita dingin yang dikenal banyak orang; bukan lagi putri dari keluarga terpandang yang sulit didekati dan selalu tenang dalam menghadapi apa pun.
Di hadapan Han, sikapnya runtuh perlahan. Tatapan matanya tak lagi setegas biasanya, bibirnya mengerucut kesal, dan nada suaranya merajuk seperti gadis remaja yang keinginannya tak dipenuhi oleh pasangan.