“Lo cantik banget, sumpah,” bisiknya. “Gue gak bisa berhenti mikirin lo. Pingin banget lakuin ini sama lo. Padahal gue tahu, gue gak seharusnya kayak gini.”
Tangan gue masih main-main di perutnya yang berotot itu. “Kenapa lo merasa gak boleh lakuin itu sama gue?”
Dia kelihatan kayak lagi disiksa batin gara-gara pertanyaan itu. “Kayak yang udah gue bilang ... gue gak ngambil apa yang bukan milik gue.”
Tiba-tiba perutnya bunyi kencang di bawah tangan gue, dan kita berdua ketawa.
“Oke. Kita stop di sini dulu. Itu tadi cuma ciuman. Sekarang gue kasih makan lo, terus lo bisa kasih tahu gue alasan kenapa kita gak boleh ciuman lagi.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dia Berbeda
"Lo kenapa? Ada yang nyakitin lo?" tanya gue sambil ambil HP buat telepon polisi.
"Gue nggak apa-apa. Please, taruh aja HP lo." Suara dia pelan banget, tapi dari nadanya kedengaran kalau dia lagi hancur.
"Kita harus lapor polisi, Ailsa. Tadi gue lihat cowok itu kabur lewat gang." Gue raih tangan dia buat bantuin berdiri.
"Nauru. simpan HP lo. Sekarang!" Suara dia langsung lebih tegas, bikin gue kaget. Tangan dia berdarah, jadi gue taruh HP di meja dan buru-buru cari tisu.
"Tangan lo berdarah, cafe lo baru aja dirampok. Kenapa lo nggak mau kita lapor polisi, sih?" Gue pegang pergelangan tangan dia, bawa ke wastafel, menyalakan air, terus gue guyur ke telapak tangan dia sambil cek lukanya pakai jempol.
"Cuma kena pecahan kaca doang. Nggak ada yang nyakitin gue."
Apa sih sebenarnya yang terjadi sama dia?
Cewek ini baru saja dirampok, tapi dia nggak kelihatan panik atau takut. Maksud gue, dari cara dia bersikap, malah lebih kelihatan kayak hatinya yang sakit, bukan karena Ketakutannya. Aneh banget reaksinya. Harusnya, kan kaget, gemeteran, atau minimal marah, lah.
Gue matikan air, keringkan lukanya, terus gue pegang tangannya dekat-dekat buat cabut pecahan kaca dari telapaknya. Yang bikin gue kaget, dia nggak berkedip sama sekali, apalagi mengeluh.
Gila, waktu gue harus cabut serpihan kayu dari kaki Mohan pas lagi di danau dulu, mulut dia saja heboh banget.
Tapi Ailsa?
Cewek ini kuat, parah, sih.
"Lo punya dua menit buat jelasin kenapa kita nggak telepon polisi, kalau nggak, gue yang bakal telepon," kata gue, sambil melirik ke atas, menemukan kotak P3K di dinding. Gue ambil, buka, semprotkan antiseptik ke luka dia, terus bungkus pakai kain kasa. Gue tatap mata dia sambil naikin satu alis. "Sekarang lo tinggal punya kurang dari semenit."
Dia balas menatap gue. Tatapannya tajam. Gue mulai balik badan buat ambil HP.
"Berhenti. Tolong, jangan telepon polisi. Gue tahu siapa yang Ngelakuin ini."
"Lo tahu siapa yang ngerampok tempat lo?"
"Gue tahu."
"Nah, makin gampang, dong, buat polisi nangkep dia kalau lo kasih tahu siapa orangnya."
Tiba-tiba setetes air mata meluncur dari pipi dia. Dan entah kenapa, dada gue langsung sesek.
Mata dia kelihatan capek banget, dan gue bisa lihat kesedihan di situ. Entah kenapa, itu mengganggu gue.
Gue usap muka, terus ambil tisu dan kasih ke dia.
"Gue nggak bakal bilang siapa yang ngelakuin, jadi nggak usah repot-repot telepon siapa-siapa," kata dia pelan banget.
Gue mulai kesal. Dia berusaha kelihatan santai, sok nggak kenapa-kenapa, tapi gue nggak bisa terima kalau ada brengsek yang seenaknya pecahin jendela dia dan masuk ke tempat ini.
"Lah, alarm lo ke mana? Maksud gue, lo nggak punya alarm? Lo tinggal di atas kafe ini, kan? Serius?"
Dia lihat ke arah gue. "Gue punya alarm, Nauru. Gue matiin. Gue kan udah bilang gue tahu siapa yang ngelakuin, jadi jelas gue nggak takut."
"Lo matiin alarmnya?" Gue ulang kata-kata dia, nada gue sudah males banget.
"Gue kelihatan takut, gitu?" Dia menyikut bahunya ke belakang dan naikin dagunya, seakan gue ini adalah musuhnya.
"Gue nggak ngerti sama ini semua. Gue datang ke sini cuma buat mastiin lo nggak dipukulin atau ... " Gue geleng-geleng kepala, frustasi. "... atau diperkosa dan semacamnya."