Jiang Hao adalah pendekar jenius yang memiliki tangan kanan beracun yang bisa menghancurkan lawan hanya dengan satu sentuhan. Setelah dihianati oleh sektenya sendiri, ia kehilangan segalanya dan dianggap sebagai iblis oleh dunia persilatan. Dalam kejatuhannya, ia bertemu seorang gadis buta yang melihat kebaikan dalam dirinya dan mengajarkan arti belas kasih. Namun, musuh-musuh lamanya tidak akan membiarkannya hidup damai. Jiang Hao pun harus memilih: apakah ia akan menjadi iblis yang menghancurkan dunia persilatan atau pahlawan yang menyelamatkannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dhamar Sewu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 11Bayangan Neraka Melangkah
bab 11Bayangan Neraka Melangkah
Jiang Hao melepaskan cengkeramannya. Tubuh pembunuh terakhir jatuh tak bernyawa.
Ia menatap gadis itu. Walau wajahnya tak melihat, namun Ling’er menatap lebih dalam daripada siapa pun.
“Kau menyelamatkanku … lagi.”
“Karena hatimu belum berubah,” jawabnya tenang. “Meski tanganmu kini milik iblis.”
Jiang Hao menatap tangannya yang berdenyut.
“Aku akan membalas dendam. Tapi … aku tidak ingin kehilangan diriku.”
Ling’er mengangguk. “Karena itu aku di sini. Untuk mengingatkanmu … siapa dirimu sebenarnya.”
---
Di tempat lain, di dalam ruang rahasia Sekte Langit Selatan.
Grandmaster Liu Zhen berdiri di depan peta besar dunia persilatan. Seorang lelaki berjubah hitam membungkuk di hadapannya.
“Kirim unit Bayangan Neraka. Jika para pembunuh biasa gagal, kita butuh yang tidak kenal belas kasihan.”
“Ya, Grandmaster.”
Liu Zhen bergumam, “Jiang Hao … tanganmu mungkin iblis … tapi hatimu yang masih manusia, itu yang akan menghancurkanmu.”
Hening malam itu seperti diikat dengan napas kematian. Di puncak Gunung Batu Hitam, tempat yang hanya dikenal dalam bisik-bisik dunia persilatan, lima sosok berjubah kelam berdiri menghadap bulan. Wajah mereka tersembunyi oleh topeng besi berukir simbol iblis, dan setiap gerakan mereka seperti tak menyentuh tanah—seolah mereka bagian dari kegelapan itu sendiri.
Mereka adalah Bayangan Neraka.
Pasukan rahasia milik Sekte Langit Selatan, dilatih untuk membunuh tanpa suara, tanpa sisa. Nama mereka tak tercatat dalam gulungan sejarah. Mereka tak dikenal oleh sekutu maupun musuh. Tapi mereka ada. Dan kini, mereka mendapat satu perintah: bunuh Jiang Hao.
---
Di Lembah Jiwa Sunyi, Jiang Hao duduk bersila di tepi jurang, tubuhnya diselimuti aura hitam pekat. Ia tengah menenangkan diri, menyalurkan racun dari tangan iblisnya ke tanah, mencoba menyeimbangkan kekuatan yang makin liar di dalam tubuhnya.
Ling’er duduk tak jauh darinya, mendengarkan detak jantung lelaki itu seperti mendengarkan lagu yang perlahan berubah nadanya.
“Hatimu bergetar,” ucapnya pelan. “Ada amarah yang tak bisa kau padamkan.”
“Amarah itu yang membuatku tetap hidup,” jawab Jiang Hao. “Tanpanya, aku sudah mati saat mereka menghianatiku.”
“Tapi amarah juga yang akan menghancurkan jiwamu.”
Jiang Hao terdiam. Ia tahu gadis itu benar, tapi ia juga tahu bahwa dunia ini tidak memberi ruang untuk belas kasih. Setidaknya, tidak pada dirinya yang telah dicap sebagai iblis.
---
Di tengah malam, kabut mendadak mengental. Kabut itu aneh, dinginnya menembus tulang, dan tidak berembus seperti kabut biasa. Ling’er berdiri perlahan. Jemarinya meraba udara.
“Mereka datang,” katanya.
Jiang Hao membuka matanya. Aura hitam dari tubuhnya memancar seperti nyala api gelap.
“Siapa?”
“Bayangan tanpa suara. Lima. Tapi mereka bukan manusia biasa. Kau harus berhati-hati.”
Seketika suara siulan terdengar… panjang, dalam, dan menggetarkan.
Kabut berputar. Dari balik tirai putih itu, lima sosok muncul perlahan.
“Jiang Hao.”
Salah satu dari mereka berbicara. Suaranya seperti besi yang diseret di atas batu.
“Atas nama dunia persilatan, dan atas titah Grandmaster Liu Zhen, kau akan dihapus malam ini.”
“Titah?” Jiang Hao tertawa kecil. “Menarik. Mereka yang mengkhianati, sekarang menganggap diri mereka benar.”
Kelima sosok itu tidak menjawab.
Mereka bergerak serentak.
---
Pertarungan pun pecah.
Bayangan Neraka menyerang tanpa suara. Setiap gerakan mereka adalah hasil ribuan kali latihan—tanpa emosi, tanpa ragu. Jiang Hao harus melawan dengan kekuatan penuh. Tangannya yang beracun menyambar, dan satu dari mereka terlempar ke dinding batu, tubuhnya meleleh oleh sentuhan racun iblis.
Tapi keempat sisanya tak berhenti.
Dua dari mereka menyerang dari atas, satu dari bawah, dan yang terakhir menyusup lewat bayangan sendiri, muncul di belakang Jiang Hao seperti hantu.
Tebasan nyaris mengenai tengkuknya. Jiang Hao berbalik, menahan dengan lengan kiri.
DAR!
Ledakan racun meledak dari kulitnya, membuat dua dari mereka terpental. Tapi seorang Bayangan Neraka berhasil menusukkan jarum racun ke bahu Jiang Hao.
“Ugh!”
Racun itu bukan racun biasa. Bukan untuk membunuh. Tapi untuk melemahkan kekuatan tangan iblisnya.
Tubuh Jiang Hao melemas seketika.
---
“Jiang Hao!” seru Ling’er.
Ia berdiri, lalu membuka tasbih kayunya—kali ini bukan untuk pertahanan. Ia mengucap mantra perlahan, dan tanah di sekitarnya bergetar. Suara lonceng terdengar, meski tak ada lonceng yang terlihat.
Bayangan Neraka yang menyerang Jiang Hao terhenti. Matanya membelalak.
“Teknik … penjaga langit? Mustahil .…”
Cahaya putih meledak dari dada Ling’er.
Ia bukan hanya gadis buta. Ia adalah murid terakhir dari Sekolah Roh Terang, aliran spiritual yang telah punah dua puluh tahun lalu dalam pembersihan oleh sekte-sekte besar.
Jiang Hao melihatnya dengan mata penuh luka dan rasa syukur.
“Ling’er ... siapa sebenarnya dirimu?”
Ling’er tak menjawab. Ia terus membaca mantra. Empat Bayangan Neraka kini terhimpit antara dua kekuatan: racun iblis dan cahaya spiritual. Mereka tak pernah dilatih untuk melawan kekuatan seperti ini—kebaikan dan keburukan yang berpadu dalam satu medan.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya dalam sejarah mereka—Bayangan Neraka mundur.
---
Namun pertempuran belum berakhir.
Salah satu Bayangan Neraka melirik Ling’er sebelum pergi.
“Dia. Gadis itu. Bahaya lebih besar dari Jiang Hao.”
“Laporkan pada Grandmaster,” ujar yang lain. “Dunia persilatan akan berubah arah karena dua orang ini.”
Dan bayangan mereka pun menghilang dalam kabut.
---
Jiang Hao terduduk, napasnya berat. Tangannya berdarah. Tapi ia tersenyum untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama.
“Sepertinya … kita berdua bukan orang biasa, ya?”
Ling’er menoleh ke arahnya dengan lembut.
“Kau punya tangan iblis. Aku punya cahaya malaikat. Mungkin dunia memang perlu keduanya.”
____
Hening pagi menyelimuti Lembah Jiwa Sunyi. Udara masih mengandung sisa kabut dari malam pertempuran, namun kini terasa lebih berat—seolah menyimpan ancaman yang belum selesai.
Jiang Hao duduk bersandar pada batu, matanya menatap langit kelabu, dan bahunya masih terasa nyeri dari racun jarum yang tertancap semalam. Tangan iblisnya tetap berdenyut, tapi tak sekuat biasanya.
“Racun mereka tak biasa,” gumamnya.
Ling’er duduk tak jauh darinya, membalut luka di lengannya sendiri. Meski tubuhnya lelah karena memanggil kekuatan Roh Terang, wajahnya tetap tenang.
“Tubuhmu belum siap melawan semuanya, Jiang Hao. Kita harus pergi dari sini. Tempat ini tak lagi aman.”
Jiang Hao mengangguk. “Aku tahu. Tapi sebelum itu … aku ingin tahu satu hal.”
Ling’er menoleh.
“Siapa kau sebenarnya?”
Ling’er terdiam sejenak. Lalu perlahan, ia membuka gulungan kecil dari balik jubahnya. Di dalamnya, tersimpan simbol perak berbentuk matahari bersayap.
“Namaku Ling’er … adalah nama yang diberikan oleh guruku. Tapi aku terlahir sebagai Yao Lan, keturunan terakhir dari Sekolah Roh Terang. Saat sekte kami dimusnahkan oleh Grandmaster Liu Zhen, aku satu-satunya anak kecil yang berhasil melarikan diri.”
Jiang Hao menggertakkan gigi.
“Liu Zhen lagi .…”
To be continued ✍️
nyala lampu sedikit mmenerangi di dalam gua gunung berkabut.novel apa puisi.hhhhh