NovelToon NovelToon
ISTRI DADAKAN MAS SANTRI

ISTRI DADAKAN MAS SANTRI

Status: sedang berlangsung
Genre:Dosen / Nikahmuda / Poligami / Romansa / Dijodohkan Orang Tua / Pernikahan rahasia
Popularitas:705
Nilai: 5
Nama Author: Miss Flou

Arshaka Beyazid Aksara, pemuda taat agama yang harus merelakan hatinya melepas Ning Nadheera Adzillatul Ilma, cinta pertamanya, calon istrinya, putri pimpinan pondok pesantren tempat ia menimba ilmu. Mengikhlaskan hati untuk menerima takdir yang digariskan olehNya. Berkali-kali merestock kesabaran yang luar biasa untuk mendidik Sandra, istri nakalnya tersebut yang kerap kali meminta cerai.
Prinsipnya yang berdiri tegak bahwa pernikahan adalah hal yang sakral, sekeras Sandra meminta cerai, sekeras dia mempertahankan pernikahannya.
Namun bagaimana jika Sandra sengaja menyeleweng dengan lelaki lain hanya untuk bercerai dengan Arshaka?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Flou, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

KUCING-KUCINGAN

"Insyaa Allah, Abah. Saya tidak bisa janji bisa memenuhi permintaan Abah buat memimpin acara Haflah Akhirussanah, karena terus terang saat ini saya sedang memegang tanggung jawab yang tidak bisa dibilang kecil."

Di ruang tengah ndalem Kyai Yaseer, Arshaka duduk bersila di atas karpet. Saat berbicara, matanya tidak berani menatap langsung kepada Kyai Yaseer. Hanya sesekali melihat kemudian menundukkan kepalanya lagi dengan rasa tak enak di dalam hati.

"Setelah cuti kuliah berakhir, saya ditunjuk dosen buat menjadi asisten untuk proyek penelitian di Pusat Studi Kebencanaan Regional. Proyek ini harus saya dampingi secara intensif, bahkan harus ikut ke lokasi pengamatan. Kontrak proyek saya berjalan dua bulan, Abah. Dan itu tepat mencakup periode persiapan Haflah sampai hari-H," jelas Arshaka, suaranya terdengar tercekat oleh rasa bersalah.

Ia mengangkat wajahnya sekilas, melihat raut wajah Kyai Yaseer yang tampak tenang, namun ada sorot kekecewaan yang tak bisa disembunyikan. Arshaka segera menunduk lagi.

"Saya tidak bermaksud menolak khidmah, Abah. Demi Allah, hati saya ingin segera kembali dan membantu. Tapi, tanggung jawab ini melibatkan banyak pihak di luar, bahkan ada dana dari pemerintah yang dipertaruhkan. Jika saya tinggalkan sekarang, proyek itu akan kacau. Reputasi dosen dan kampus juga ikut terdampak," lanjut Arshaka, berusaha menjelaskan posisi sulitnya.

Kyai Yaseer diam sejenak, mengamati Arshaka. Beliau menghela napas. "Jadi, kamu lebih memilih tanggung jawab di luar sana, Nak? Tanggung jawab duniawi, di atas khidmahmu kepada pondokmu sendiri?"

Tidak ada tuduhan atas pertanyaan tersebut. Sejatinya Kyai Yaseer hanya ingin memastikan.

Arshaka sontak mengangkat kepalanya. Ia menggeleng dengan segera.

"Bukan begitu, Abah. Sama sekali bukan. Justru, Abah yang mengajarkan saya untuk selalu menjaga amanah, sekecil apa pun. Dan ini bukan amanah kecil, Abah. Tapi ...." Arshaka terdiam sejenak, mencari kata-kata yang tepat.

"Tapi, saya akan coba carikan jalan. Beri saya waktu, Abah. Saya akan coba bicara dengan dosen pembimbing. Mungkin, ada cara agar saya bisa meluangkan waktu setidaknya untuk memimpin briefing dan koordinasi penting dari jarak jauh, dan datang seminggu sebelum hari-H untuk eksekusi final."

Arshaka menatap Kyai Yaseer dengan mata memohon. "Jika dosen mengizinkan dan proyek bisa diatur, saya janji akan segera memutus kontrak dan kembali secepatnya. Mohon, Abah, berikan saya waktu untuk mencoba mencari solusi terbaik, agar amanah di luar tetap tertunaikan, dan khidmah di pondok juga tidak saya tinggalkan."

Kyai Yaseer tersenyum tipis. Beliau melihat ketulusan dan tanggung jawab yang besar di mata santri kesayangannya itu. Beliau mengangguk pelan.

"Baik, Nak. Abah mengerti posisimu. Abah percaya, kamu tidak akan pernah lupa pada rumahmu ini. Abah tunggu kabarmu. Sekarang, Nak, minum tehmu dulu. Besok pagi, Abah ingin kamu bertemu dengan panitia yang ada. Setidaknya, berikanlah arahan awal untuk mereka, meski kamu masih harus bolak-balik. Itu sudah sangat berarti bagi Abah."

Dengan begitu, senyum di bibir Arshaka lekas terukir. Hatinya lebih lega mengetahui bahwa Kyai Yaseer tidak kecewa kepadanya.

"Alhamdulillah. Baik, Insyaa Allah, Abah. Insyaa Allah besok saya akan bicara dengan panitia yang sudah ada. Tapi sebelum itu, saya minta laporan lengkap mengenai struktur kepanitiaan yang sudah terbentuk dan progres awal yang sudah dicapai, Abah."

Kyai Yaseer tertawa kecil. "Dasar kamu ini. Sudah seperti komandan sungguhan saja. Tentu, Nak. Nanti Abah minta sekretaris pondok menyiapkan semua laporannya untuk kamu pelajari malam ini. Kamu tidak perlu terburu-buru. Lakukan pelan-pelan, sambil kamu mengatur urusan proyekmu itu."

Arshaka mengangguk, mengambil cangkir teh di hadapannya. Aroma melati dari teh hangat itu seketika menenangkan pikirannya yang sejak tadi dipenuhi rasa cemas.

"Terima kasih banyak, Abah. Terima kasih sudah mau mengerti. Saya janji akan usahakan yang terbaik."

"Sama-sama, Nak. Tugas seorang guru itu memang mengarahkan, bukan memaksa," ujar Kyai Yaseer lembut. Beliau kemudian mengambil cangkir tehnya juga. "Minumlah. Setelah ini, temui Ummi-mu di dapur. Dia sudah membuatkan makanan kesukaanmu. Katanya, sudah lama sekali tidak melihatmu makan dengan lahap."

Senyum Arshaka makin lebar. Rasa bersalah yang sempat mencekiknya kini sudah banyak berkurang, tergantikan kehangatan rumah yang ia rindukan.

"Siap, Abah. Setelah ini saya akan langsung ke dapur."

Sementara itu di ruang pengurus, Nadheera terlihat jemu. Berkali-kali mengecek ponsel, menunggu kabar dari abdi ndalem, tetapi tak kunjung ia dapatkan.

"Kenapa toh, Ning? Gelisah banget mukamu," celetuk Hesti baru saja datang dengan setumpuk lembaran kertas tipis di tangannya.

Nadheera menoleh, kemudian mendengus pelan. Menghempaskan punggungnya ke sofa, lantas ia menjawab lirih, "Mau ke dalem."

"Lah? Ya tinggal ke ndalem, wong itu rumah Abah sama ummi-mu kok. Masa mau balik aja bingung, Ning?"

"Ck, ada dia, Hes!"

Hesti sedang merapikan map tersebut di atas meja. Gerakan tangannya seketika terhenti. Ia yang sebelumnya menggoda Nadheera dengan kehadiran Arshaka, sempat lupa sebab tanggung jawabnya barusan. Dan sekarang, Ning-nya itu mengingatkan kembali. Lantas, secercah senyum jahil terbit di bibirnya.

"Apa? Apa kenapa senyum kamu kayak begitu?" Nadheera menatap Hesti dengan tatapan curiga.

"Nervous ya?" goda Hesti mendekat, mencondongkan tubuh, hingga wajahnya cukup dekat dengan wajah Nadheera.

Nadheera sontak mendorong wajah Hesti dengan telapak tangannya, meski hanya pelan. Rautnya langsung berubah masam dan sedikit memerah. "Apa sih, Hesti! Tidak, ya! Siapa yang nervous? Saya cuma malas ketemu dia."

"Ah, yang bener aja! Sejak dia datang sore tadi, kamu tuh bolak-balik ke jendela, pura-pura lihat tanaman, padahal matamu pasti ngintip ke arah ndalem, kan? Sudah tahunan lho kalian begini, Ning. Masa iya, mau terus main kucing-kucingan gini? Hukuman itu juga kan udah berakhir."

Nadheera menghela napas panjang, menatap langit-langit ruang pengurus yang agak kusam. Ia tidak bisa menyangkal. Kehadiran Arshaka, santri kesayangan Abah yang kini telah menjelma menjadi sosok pemuda berprestasi dengan aura tanggung jawab yang kuat, selalu berhasil mengacaukan ketenangannya. Apalagi, ia tahu persis betapa kuatnya perasaan yang tersembunyi di mata pemuda itu, perasaan yang ia balas dengan rasa yang sama besarnya, namun tak pernah terucap.

"Sudahlah." Nadheera mengibaskan tangan. "Saya cuma takut kebablasan, Hes. Saya trauma. Itu saja. Lagipula Mas Ahmad masih belum merestui kami."

Gegas Hesti duduk di samping Nadheera. Meraih dan menggenggam tangan Ning-nya dan menatapnya lekat. "Ning, aku rasa ya, Gus Ahmad bukan nggak merestui kalo Ning dipinang Kang Arshaka. Cuma Gus Ahmad pengen dia jadi laki-laki yang lebih matang lagi, yang punya kemapanan dan visi yang jelas, sebelum berani melamarmu. Dan lihat sekarang, Ning! Dia lagi membuktikannya, kan? Dia sudah jadi asisten dosen, dia memimpin proyek penelitian besar, kabar itu lagi rame dibahas di grup santri. Itu artinya dia sudah selangkah di depan dari yang Gus Ahmad inginkan!"

Nadheera menarik napas, mencoba mencerna kata-kata Hesti. Memang, memang Gus Ahmad adalah satu-satunya penghalang yang paling ia takuti. Bukan karena Gus Ahmad membenci Arshaka, tapi karena dulu, jauh sebelum Arshaka lulus—ada kejadian besar yang membuat Nadheera harus diasingkan dari tanah kelahirannya.

"Buktikan bahwa kamu pantas. Jangan pernah sentuh hati Nadheera lagi, sebelum kamu kembali sebagai seseorang yang memiliki masa depan dan mampu memimpin, bukan hanya seorang santri yang sedang mencari ilmu."

Kata-kata itu terpatri kuat di benak Arshaka, dan juga Nadheera. Mereka berdua menjauh, fokus pada jalan masing-masing.

Nadheera tidak tahu, bahwa dalam masa penantiannya, bahwa dalam waktu yang selalu ia semogakan ini cepat berlalu—pemuda yang selalu namanya terucap dalam doa, telah menjadi suami atas perempuan lain.

Nadheera tidak tahu apa yang Arshaka sembunyikan.

Nadheera tidak tahu apa yang belum siap Arshaka katakan.

Nadheera tidak tahu bahwa hidupnya sedang berdiri di ambang sesuatu yang akan mengubah segalanya. Sekali lagi. Sama seperti tahun-tahun silam ketika air mata dan darah menjadi saksi bisu atas perasaan keduanya.

1
Marlina Selian
haha lucu banget
Marlina Selian
lanjut thoor tetap semagat 🥰🥰🥰🥰
Marlina Selian
ikutan hayut dalam cerita ya hati ku teriris jugak
윤기 :3
Gila aja nih cerita, bikin gue baper dan seneng banget!
Miss Flou: Hallo, terima kasih sudah mampir, Kak. Semoga betah ya di sini sampe ending🥰
total 1 replies
Miss Flou
Annyeong, selamat datang😍
Ini novel pertama saya, semoga kalian suka ya. Jangan lupa tinggalkan jejak di kolom komentar, Sayangku🥰
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!