Membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk pengobatan orang yang sangat ia sayangi, membuat seorang Fiorella harus merelakan sebagian kebebasan dalam kehidupannya.
"Pekerjaannya hanya menjadi pengasuh serta menyiapkan semua kebutuhan dari anaknya nyonya ditempat itu, kamu tenang saja. Gajinya sangat cukup untuk kehidupan kamu."
"Pengasuh? Apakah bisa, dengan pendidikan yang aku miliki ini dapat bekerja disana bi?."
"Mereka tidak mempermasalahkan latar belakang pendidikan Dio, yang mereka lihat adalah kenerja nyata kita."
Akhirnya, Fio menyetujui ajakan dari bibi nya bekerja. Awalnya, Dio mengira jika yang akan ia asuh adalah anak-anak usia balita ataupun pra sekolah. Namun ternyata, kenyataan pahit yang harus Fio terima.
Seorang pria dewasa, dalam keadaan lumpuh sebagian dari tubuhnya dan memiliki sikap yang begitu tempramental bahkan terkesan arogan. Membuat Fio harus mendapatkan berbagai hinaan serta serangan fisik dari orang yang ia asuh.
Akankah Fio bertahan dengan pekerjaannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Era Pratiwi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PCC. 11.
Seperti biasanya, Fio bekerja dan pada malam sebelumnya. Dimana sepulang dari bekerja, ia langsung menuju ke rumah sakit. Melihat kondisi sang adik yang masih sama dengan sebelumnya, air mata itu mengalir tanpa ia sadari.
Rasa sesak di dada Fio terasa sangat menyakitkan, namun ia tidak boleh menyerah. Aurelia menguatkan Fio, jika saya ini. Arsen benar-benar harus mendapatkan penanganan yang lebih baik, jika saja mereka mengabaikannya lagi. Maka, sudah dapat dipastikan Arsen tidak akan bertahan.
Sehabis memastikan kondisi Arsen, Fio pun pulang untuk mengistirahatkan tubuhnya yang bagitu lelah. Lalu, ia tidak lupa akan tugasnya merapikan tugas akhirnya untuk mendapatkan predikat sarjana.
Karena kelelahan, saat paginya. Fio kembali mendapatkan ponselnya berdering dengan sangat keras dan terus berulang, dan itu berhasil membuatnya terjaga dari tidurnya.
"Iya, halo." Dengan kedua mata yang masih tertutup, Fio menerima panggilan telfon itu.
"Kerja!"
"Hah?!" Fio benar-benar kaget.
Sambungan telepon itu berhenti, karena sang penelpon itu yang membutuhkannya. Saat Fio melihat nama yang sudah menghubunginya, dan juga jam di ponselnya menunjukkan pukul delapan.
"Ya!"
Bergegas membersihkan tubuhnya, dan bersiap. Pagi itu, Fio seperti anak kecil yang sedang mengikuti lomba lari. Berburu dengan kendaraan yang ada dan juga peluh membasahi tubuhnya.
"Pagi bi, pagi Sela." Sapa Fio saat ia tiba di mansion.
"Kenapa terlambat, nak?" Rosi pun khawatir pada Fio.
"Maaf bi, ketiduran." Fio menyiapkan sarapan untuk tuannya dan bersiap membawanya.
"Tunggu Fi, jangan dibawa. Tuan muda sudah sarapan tadi, kamu kesana saja cepat. Nanti tanduknya bercabang, sana."
Sela yang tidak ingin Fio dimarahi, memberitahukan apa saja yang sudah dilakukan oleh Elio. Jika Fio mengulanginya lagi, yang ada hanyalah umpatan yang sangat pedas Fio dapatkan.
"Ya Tuhan, huh. Semoga saja tidak mengomel." Fio menghela nafasnya.
" Kamu langsung kesana saja nak, tetap semangat." Rosi menyemangati keponakannya agar tidak menyerah.
"Bener tu, ayo Fio. Semangat." Sela juga memberikan dukungannya.
Senyuman manis yang sangat dipaksakan, itulah yang kini Fio perlihatkan. Langkah kaki itu dengan perlahan menuju kamar Elio, dimana Fio mempersiapkan dirinya untuk hukuman apa yang akan ia dapatkan nanti.
Sementara itu, didalam kamarnya. Elio sedang berdebat dengan kedua orangtuanya.
"Kamu ini, kapan sih mau move on dari wanita itu? Pokoknya, mama nggak akan pernah menyetujui apapun yang bersangkutan dengan wanita itu, titik." Suara Angelina bergema.
"Aku masih mencintainya, ma. Mungkin saja, kemarin itu ia sedang ingin fokus dengan karirnya." Elio membela orang yang sedang dibicarakan.
"Karir? Kamu masih bilang karir? G*la kamu, kalau memang dia mencintai kamu. Dia akan mengorbankan apa yang ada, dan dia mengatakan orang yang dia cintai. Bukannya malah pergi dan asik dengan pria lain. Pokoknya, mama nggak suka." Benar-benar membuat Angelina kehabisan kesabaran menghadapi puteranya itu.
"Ma! Terserah mama, jangan pernah coba mengancam dia." Elio memberikan ketegasannya yang terkesan terdengar seperti membentak.
Perdebatan itu berlanjut, bahkan diantara keduanya terdengar saling terus beradu argumen.
"Diam!!"
Seketika suasana menjadi senyap, karena suara itu berasal dari pria yang menjadi papa Elio dan suami dari Angelina.
"Berhenti berdebat, dan kamu. Kembali ke perusahaan, jangan jadikan kondisi ini sebagai alasan untuk kamu mengabaikan perusahaan. Mama, jangan ikut campur lagi untuk masalah jodohnya Elio. Biarkan saja, dia mau kembali dengan wanitanya atau apapun itu. Yang papa inginkan hanya ketenangan, bukan perdebatan." Malik menghela nafasnya yang cukup berat.
Mendengar suara langkah kaki, membuat Fio menyembunyikan dirinya agar tidak terlihat oleh kedua majikannya itu.
"Huh, hampir saja."
Disaat kondisi sudah aman, Fio baru menampakkan dirinya.
"Tuan." Sapa Fio.
Atas sapaan itu, membuat Elio tersadar dari lamunannya. Ia melihat sosok wanita berpakaian pelayan yang berjalan menghampiri dirinya, namun tatapan yang semula sendu kini berubah menjadi menakutkan.
"Maaf tuan, saya kesiangan." Fio menundukkan wajahnya, ia takut jika pria dihadapannya itu akan marah.
"Jika tidak kuat untuk bekerja, lebih baik berhenti saja." Elio memalingkan wajahnya.
"Maafkan saya tuan, saya benar-benar minta maaf. Saya berjanji, tidak akan mengulanginya lagi." Rasa takut itu memenuhi kepala Fio.
Terbayangkan jika dirinya berhenti dari pekerjaan itu, harus kemana lagi ia mencari pendapatan untuk membiayai pengobatan adiknya. Fio tidak ingin harapannya untuk menyembuhkan Arsen, hilang.
"Keluarlah." Ucapan itu masih bernada datar.
"Tapi tuan."
"Keluar!" Teriakan terdengar, membuat Fio kaget dan terdiam.
Suasana hati Elio tidak bisa di ajak bersahabat, akan tetapi. Jika semuanya mengikuti kemauan pria itu, yang ada semuanya akan menjadi serba salah. Apalagi, Fio mengingat akan keinginan dan harapan dari Angelina dan suaminya. Semuanya itu membuat Fio dilema, namun ini semua adalah resiko dari pekerjaan yang saat ini ia pilih.
Seakan mengabaikan apa yang diteriakan oleh Elio, Fio tetap melaksanakan tugas dari pekerjaannya. Pria itu merasa kesal, mendapati Fio yang mengabaikannya.
"Aaaaa." Teriakan Fio atas apa yang ia dapatkan.
"Apa yang kamu mau, hah?! Aku bilang, keluar. Keluar!!" Elio menghampiri Fio dengan kursi rodanya, lalu pria itu mencengkram dengan kuat lengan Fio.
"Tuan, sakit. Lepaskan, tuan." Fio meringis menahan rasa sakit.
"Apa mau mu, hah?! Aku bilang, keluar! Keluar!!" Bentakan kembali yang Elio berikan.
"Saya hanya menjalankan tugas saya, tuan. Karena saya, bertanggung jawab untuk mengurusi tuan." Fio menahan sakit yang luar biasa dari cengkraman tangan itu.
"Katakan, kamu butuh berapa? Akan aku berikan, namun dengan satu syarat. Kamu berhenti dari pekerjaan sialan ini." Cengkraman tangan itu terlepas, lalu tubuh Fio tersungkur dengan dorongan dari pemilik tangan tersebut.
Air mata itu mengalir, menahan rasa sakit fisik dan mental secara bersamaan. Membuat Fio tidak habis pikir dengan apa yang sedang ia hadapi saat ini.
"Kenapa? Atau kamu punya maksud lain dibalik pekerjaan ini? Iya?!"
Kini, Fio menatap pria yang sedang meluapkan segala emosi yang ada didalam dirinya. Hanya saja, ia terhalang dengan kedua kakinya yang tidak bisa apa-apa.
"Ingin menggodaku? Ingin menguras hartaku? Dasar kalian wanita licik, ja**ng tetaplah ja**ng. Arkh!" Umpat Elio yang berakhir dengan air mata mengalir dari kedua matanya.
Ya, pria keras kepala, dingin dan juga arogan itu menangis. Terlihat pergerakan dari bahu yang menyatakan jika, sang pemiliknya sedang bersedih. Dan hal itu, disadari oleh Fio.
"Tuan, tuan baik-baik saja?" Dengan rasa penasaran, Fio memastikan apakah benar pria itu menangis.
Wajah itu tertunduk, dengan jemari yang mengusap air mata disana. Berusaha menutupi jika dirinya menangis.
"Apa, hah?!" Elio memberikan tatapan yang cukup tajam, dengan kedua mata yang memerah.
"Tuan, menangis?"