Luna harus memilih antara karir atau kehidupan rumah tangganya. Pencapaiannya sebagai seorang koki profesional harus dipertaruhkan karena keegoisan sang suami, bernama David. Pria yang sudah 10 tahun menjadi suaminya itu merasa tertekan dan tidak bisa menerima kesuksesan istrinya sendiri. Pernikahan yang telah dikaruniai oleh 2 orang putri cantik itu tidak menjamin kebahagiaan keduanya. Luna berpikir jika semua masalah bisa terselesaikan jika keluarganya tercukupi dalam hal materi, sedangkan David lebih mengutamakan waktu dan kasih sayang bagi keluarga.
Hingga sebuah keputusan yang berakhir dengan kesalahan cukup fatal, mengubah jalan hidup keduanya di kemudian hari.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SAFIRANH, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
Pagi ini, Kumala tampak baru saja selesai membersihkan diri. Tangannya membuka lemari pakaian, lalu meraih setelan seragam guru yang sudah ia setrika sejak semalam. Setelah selesai memakai pakaiannya, Kumala kini merapikan rambut hitam panjangnya, mengikatnya dengan rapi.
Ia lalu kembali duduk di atas ranjang. Sebelah tangannya memegang cermin kecil, sedangkan tangan yang lain tengah sibuk mengoleskan lipstik warna nude di bibir cantiknya.
Tidak ada yang istimewa atau berlebihan. Kumala selalu mengusahakan agar dirinya tetap tampil rapi dan sederhana, ciri khas seorang pendidik pada umumnya.
Namun tiba-tiba saja tatapan matanya tertuju begitu saja ke arah cermin, memperhatikan begitu seksama pada wajahnya sendiri. Usianya baru menginjak 27 tahun, ia juga masih terlihat sangat cantik juga menawan, maklum masih lajang. Sedangkan wanita dengan usia diatas 30 tahun seperti Luna, masih bisa terlihat cantik dan begitu segar di usianya yang sudah tak muda lagi.
“Ini memang aneh, dia sama sekali tak terlihat seperti wanita yang telah berusia 30-an tahun,” ucap Kumala. Tangannya meletakkan cermin di atas ranjang karena kesal. “Pasti dia memang sengaja memalsukan usia aslinya.”
Dan lagi, Kumala baru ingat jika Luna adalah seorang chef utama di restoran mewah. Gajinya pasti sangatlah banyak, dan dari gaji itulah dia menghamburkan semuanya untuk perawatan kecantikan yang mahal. Begitulah penilaian Kumala pada Luna.
Saat dirinya tersadar, Kumala melenguh pelan. Tidak seharusnya ia berpikiran sampai sejauh itu, tapi anehnya akhir-akhir ini pikirannya memang sering mengarah pada David. Sosok pria itu terlalu sering muncul dalam benaknya, meski Kumala tahu betul jika David adalah seorang pria beristri dan memiliki 2 orang anak.
Kumala segera mengenyahkan pikiran buruk itu dengan cara menggeleng cepat. Berharap bisa menyapu bersih angan itu dari dalam pikirannya.
Saat tatapannya jatuh pada jam yang menggantung di dinding kamarnya, Kumala sadar jika jarum jam telah menunjukkan pukul 06.00 pagi, sudah waktunya ia bersiap sarapan dan segera berangkat menuju sekolah.
Saat telah sampai di meja makan, Kumala melihat jika sang Ibu yaitu Bu Sarti baru saja menyiapkan sarapan pagi untuknya. Ada nasi goreng, dan beberapa lauk sederhana, seperti tempe goreng dan telur dadar sebagai pelengkap.
Bu Sarti, janda berusia 50 tahun itu menyambut putrinya dengan senyuman yang hangat.
“Makanlah, Nak,” ucap Bu Sarti pada Kumala.
“Terima kasih, Bu. Ayo, kita makan sama-sama,” ajak Kumala sangat senang.
Keduanya mulai sarapan pagi bersama, Kumala tampak menoleh ke arah Ibunya setelah menyendok beberapa suap dari atas piring. “Bagaimana dengan kaki Ibu? Masih sakit?” tanyanya khawatir.
“Sudah mendingan, Nak. Kemarin Ibu pergi ke rumahnya Mbok Inem, setelah diurut rasanya lebih baik. Hanya masih terasa ngilu saat berjalan.”
“Ya sudah, Ibu tidak usah ke ladang dulu dan istirahat saja dirumah. Nanti aku akan mampir ke rumahnya mandor Doni untuk memberitahunya.”
Bu Sarti mengangguk pelan, “Kamu itu selalu saja perhatian banget sama Ibu. Padahal, sebentar lagi kaki ini juga akan sembuh.”
“Bagaimana tidak perhatian,” Kumala meletakkan sendok makannya, lalu memegang tangan Bu Sarti. “Ibu itu satu-satunya keluarga yang aku punya sekarang. Bapak sudah tidak ada, berarti sudah menjadi tugasku untuk menjaga Ibu.”
“Iya, Nak. Kamu juga selalu sehat dan sukses ya. Ibu bangga mempunyai putri sehebat Kumala.”
Keduanya saling tersenyum satu sama lain, penuh rasa kasih sayang dan kehangatan sebuah keluarga.
Setelah menyelesaikan sarapan, Kumala langsung berpamitan pada Ibunya. Ia mengatakan akan berangkat lebih pagi karena harus mampir dulu ke rumah mandor di ladang Ibunya itu.
Kumala berpamitan terlebih dahulu pada Bu sarti, lalu menyalakan motor bebek kesayangannya. Suara knalpot motor menggema pelan di halaman kecil rumahnya. Ia mengendarai motor tersebut dengan pelan di jalanan yang masih sepi. Udara segar, ditambah embun pagi yang belum sepenuhnya menguap dari dedaunan, memang benar-benar suasana yang menenangkan.
Beberapa saat kemudian, motornya berhenti tepat di samping halaman rumah milik keluarga Pak Helmi. Dengan langkah pelan Kumala memasuki pekarangan yang banyak ditumbuhi oleh pohon buah seperti mangga dan rambutan.
“Permisi,” ucap Kumala dari arah halaman depan.
Tak ada jawaban sama sekali. Atau mungkin memang suaranya yang kurang keras, saat Kumala hendak kembali bersuara, tiba-tiba ada sebuah suara yang cukup mengejutkannya. Suara itu berasal dari samping rumah, membuat Kumala mulai melangkah untuk memeriksanya.
“Oh, Bu Kumala. Ada apa pagi-pagi begini sudah mampir?” tanya Pak Helmi yang masih berdiri di tangga yang menempel pada dinding samping rumahnya.
“Selamat pagi Pak,” sapa Kumala dengan sangat ramah. “Saya datang untuk bertemu dengan Pak mandor, apakah beliau ada di rumah?”
“Doni? Dia sedang memeriksa kolam ikan di belakang rumah. Ada keperluan apa, ya?”
“Begini Pak, saya—” ucapan Kumala seketika terhenti saat melihat David yang baru saja muncul dari arah atap rumah. Ia mengatakan pada Ayahnya untuk mengambilkan paku lagi. Pria itu sepertinya tengah membetulkan atap bersama dengan Ayahnya.
Seketika itu pula Kumala terdiam membatu melihat penampilan David kali ini. Pria itu hanya mengenakan celana panjang dengan kaos putih polos biasa. Rambutnya basah karena keringat, dengan tampilan otot lengannya yang membuat Kumala sangat terpana.
Padahal Kumala sudah bertekad untuk menghapus semua pikiran anehnya untuk David. Tapi, melihat tampilan seperti saat ini, membuat rasa ingin memiliki itu kembali berkobar dalam hatinya.
‘Kenapa…pria itu terlihat sangat tampan?’
Batin Kumala dalam hati. Dunia seakan berhenti berputar, ia bahkan sudah lupa apa itu arti buruk dari seorang wanita yang memiliki hasrat ingin memiliki suami orang. Semua tertutup dengan keinginan pribadinya saja.
“Bu Kumala?”
Sebuah suara kembali terdengar tepat di samping Kumala, membuat wanita itu terkejut dan kini bersikap salah tingkah.
“Pak…Pak Doni,” ucap Kumala, suaranya terbata karena terkejut.
“Ada sesuatu yang penting?” Doni langsung bertanya dengan sikap formal, mengingat jika beberapa orang warga yang bekerja dengannya, biasanya datang ke rumah karena memiliki keperluan yang penting menyangkut urusan ladang.
“Begini…saya datang karena ingin mengatakan, jika Ibu saya belum bisa bekerja di ladang seperti biasanya. Kakinya masih terasa sakit.”
“Lalu, bagaimana dengan keadaannya sekarang?” tanya Doni lagi karena khawatir.
“Ibu sudah baik-baik saja. Hanya perlu istirahat.”
“Syukurlah,” jawab Doni merasa lega.
“Jika malam hari, urut bagian kaki dengan parutan kencur dicampur sedikit minyak. Paginya pasti merasa lebih ringan dan tidak kaku lagi,” timpal Pak Helmi, memberikan saran kepada Kumala.
Sedangkan David tampak hanya diam, meski tadi pria itu sempat memberikan salam dengan mengangguk sopan pada Kumala. Itupun, sepertinya hanya sebuah formalitas semata, karena Kumala adalah seorang guru di sekolah kedua putrinya.
“Kalau begitu, saya permisi. Terima kasih atas sarannya Pak Helmi,” Kumala membungkuk, sebelum wanita itu pergi berlalu dari halaman rumah tersebut.
“Nak Kumala itu orangnya baik dan sopan, kenapa sampai sekarang belum menikah, ya?” tanya Pak Helmi dengan kekehan saat menggulung kabel di tangannya.
“Mungkin belum ada yang cocok, Ayah,” jawab David yang juga ikut terkekeh bersama Pak Helmi.
Dan saat itu pula, Doni memberikan tatapan tajamnya ke arah David. Entah apa yang terjadi, tapi sepertinya ia menyadari akan sesuatu. Jika tatapan Kumala pada sang adik, tampak berbeda.
Dugaan itu memang sangat tidak masuk akal, dan juga…tidak mungkin.
BERSAMBUNG