Update tiap hari ~
Follow Instagram: eido_481
untuk melihat visual dari karakter novel.
Setelah begadang selama tujuh hari demi mengejar deadline kerja, seorang pria dewasa akhirnya meregang nyawa bukan karena monster, bukan karena perang, tapi karena… kelelahan. Saat matanya terbuka kembali, ia terbangun di tubuh pemuda 18 tahun yang kurus, lemah, dan berlumur lumpur di dunia asing penuh energi spiritual.
Tak ada keluarga. Tak ada sekutu. Yang ada hanyalah tubuh cacat, meridian yang hancur, akibat pengkhianatan tunangan yang dulu ia percayai.
Dibuang. Dihina. Dianggap sampah yang tak bisa berkultivasi.
Namun, saat keputusasaan mencapai puncaknya...
[Sistem Tak Terukur telah diaktifkan.]
Dengan sistem misterius yang memungkinkannya menciptakan, memperluas, dan mengendalikan wilayah absolut, ruang pribadi tempat hukum dunia bisa dibengkokkan, pemuda ini akan bangkit.
Bukan hanya untuk membalas dendam, tapi untuk mendominasi semua.
Dan menjadi eksistensi tertinggi di antara lang
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eido, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertarungan
Di tengah udara yang tegang, ketika tekanan spiritual dari pertarungan memekat seperti kabut malam, Bibi Mei melangkah maju. Wajahnya tenang, namun di matanya berkobar api kemarahan dan kehormatan. Tangan kirinya terulur, menarik pedang ramping dari sarungnya dengan kilatan dingin. Udara seketika berdesir tajam itulah Keterampilan Pedang keluarga Qin. Tarian Pedang, Gerakan Pertama, Kilauan Bulan.
Wooosh!
Dengan satu gerakan ringan dan cepat seperti bayangan bulan yang menari di atas air, tubuh Bibi Mei melesat menuju Duo Ming Laomo. Tebasan pedangnya menyapu angin, menggores pipi kiri pria itu hingga meneteskan darah merah segar. Luka itu kecil, nyaris tak berarti bagi seorang kultivator Alam Inti Emas, namun bagi kehormatan Duo Ming Laomo, itu adalah penghinaan yang menyala-nyala.
Mata Duo Ming Laomo menyipit, dan aura pembunuhnya meluap seperti gelombang badai. “Beraninya kau melukai wajahku?!” gumamnya penuh amarah.
Tubuhnya menggeliat, dan dengan suara ledakan yang berat, ia menghentakkan tanah dengan langkah kakinya. Kedua tinjunya terangkat tinggi, membentuk formasi teknik. Tinju Penghancur Besi, jurus khas Sekte Tulang Merah, menggetarkan udara dan melesat menuju Bibi Mei sebuah pukulan yang dapat meremukkan batu, apalagi tubuh seorang wanita tua.
Bibi Mei tak sempat menghindar. Dalam hitungan detik yang panjang seperti seabad, ia hanya bisa menyaksikan semburan kekuatan itu mendekat, dan menyadari dengan jantung yang membeku bahwa hidupnya hampir berakhir.
Namun...
Boom!
Tiba-tiba, tepat di hadapannya, muncul sosok tegak berdiri. Jubah putih bersulam pola naga berkibar ringan, dan ikat kepala berbentuk kepala naga bersinar halus tertimpa cahaya siang. Feng Jian. Ia tak bergerak. Tak mengangkat tangan. Tak membentuk segel pelindung. Ia hanya berdiri... dan membiarkan tinju itu menghantam tubuhnya.
Dan tinju itu menghilang. Seolah menabrak kehampaan.
Bibi Mei menganga. Bahkan Duo Ming Laomo terdiam sesaat, menatap dengan dahi berkerut dan bibir menyeringai penuh kebingungan.
Feng Jian membuka mata perlahan, lalu menoleh ke arah lawannya. Suaranya datar namun membawa tekanan. "Kau ingin merampokku, ingin membunuh semua keluarga ku, kau juga menginginkan istri ku..."
Jubah putih dan ikat kepala naga itu ternyata bukan sembarang pakaian. Itu adalah perlengkapan pelindung warisan sistem artefak tingkat rendah yang mampu menahan serangan apa pun di bawah Alam Penyatuan Tubuh.
Kini, giliran udara yang mencekam itu berubah. Para penjaga Qin yang sebelumnya gentar, kini memandang Feng Jian dengan mata berbinar. Duo Ming Laomo menyadari dia bukan hanya menghadapi karavan biasa. Tapi seekor naga yang menyembunyikan taringnya.
Di tengah kabut debu dan tekanan spiritual yang berat, suara teriakan memecah keheningan suara yang penuh kepanikan dan ketakutan.
“Feng Jian!”
Qin Aihan berdiri beberapa langkah di belakang Bibi Mei, tubuhnya menegang, tangan gemetar mencengkeram sisi jendela karavan. Matanya membelalak saat melihat serangan brutal dari Duo Ming Laomo menghantam pria yang dicintainya. Jantungnya seolah diremas, napas tercekat di tenggorokannya. Dalam pikirannya hanya ada satu kemungkinan Feng Jian… terbunuh.
Namun, menit demi menit berlalu.
Feng Jian masih berdiri.
Tak ada luka. Tak ada darah.
Hanya sosok pria itu yang tetap tegak, bagai gunung tak tergoyahkan, dengan jubah putih berdesain naga yang berkibar pelan tertiup angin, seperti lambang keanggunan sekaligus kekuatan mutlak.
Qin Aihan terisak, bahunya bergetar hebat. Ia menunduk, menutupi wajahnya dengan tangan. Napasnya bergetar, lalu menghela napas panjang penuh kelegaan. Bila Feng Jian benar-benar mati, ia sudah bersumpah dalam hati akan menyusulnya… Lebih baik mati daripada menjadi mainan orang-orang jahat itu.
Namun pria itu... suaminya... masih hidup.
Feng Jian melangkah pelan ke depan, wajahnya seakan diukir dari batu es, dingin dan tak berperasaan. Tatapan matanya menusuk tajam ke arah Duo Ming Laomo mata pemburu yang telah menetapkan buruannya.
Di sisi lain, Duo Ming Laomo pun menatap balik, namun sorot membunuh di matanya kini bercampur dengan kegusaran dan keraguan. Ia mulai menyadari, pria di hadapannya ini bukan target yang mudah dikalahkan. Aura mereka bertubrukan, seakan membelah udara di antara mereka, membuat napas para penjaga tercekat.
Tak ada kata. Tak ada ancaman. Hanya keheningan yang menegangkan.
Dan dalam satu momen, keduanya bergerak.
Wooosh!
Feng Jian seketika menghilang dari pandangan, tubuhnya melesat seperti bayangan halus tertiup badai [Langkah Angin Bayangan], teknik gerakan cepat yang membuatnya seakan menyatu dengan angin. Duo Ming Laomo, dengan geram, juga bergerak menggunakan teknik geraknya sendiri. Dalam sekejap, dua tubuh kuat itu saling berhadapan di tengah jalan yang terbuka.
Feng Jian menyalurkan energi spiritual ke tinjunya. Angin di sekitarnya berputar, berdesir tajam membentuk pusaran kekuatan. “Tinju Naga Pemutus Langit!”
Sementara Duo Ming Laomo mengerahkan tenaga penuh, membentuk kembali teknik pamungkasnya, “Tinju Penghancur Besi!”
Boom!!
Kedua serangan bertabrakan di udara, menghasilkan ledakan energi yang mengguncang tanah. Debu mengepul, angin menjerit, dan getaran menjalar hingga ke kaki para penjaga.
Namun hasilnya hanya satu.
“Ugh!”
Tubuh besar Duo Ming Laomo terpental ke belakang, seperti karung berat yang dilempar oleh raksasa. Beberapa meter ia terlempar, menghantam tanah keras dengan suara dentuman yang menggema di sepanjang jalur.
Tubuh Duo Ming Laomo terhempas keras ke tanah, debu dan kerikil beterbangan ke segala arah. Suara benturan itu masih bergema ketika ia mengerang pelan, lalu terdengar suara kraak! samar dari dalam dadanya.
“Ugh…!”
Semburan darah segar meluncur dari mulutnya, mewarnai jubahnya yang kusut dengan warna merah gelap. Matanya membelalak tak percaya, napasnya tersengal. Ia terduduk, tangan gemetar menopang tubuhnya, seolah tak sanggup menerima kenyataan yang baru saja terjadi.
"A-Alam Pembuka Qi Tahap Tengah…?" gumamnya dalam hati, tubuhnya nyaris membeku.
Duo Ming Laomo bisa merasakannya dengan jelas Feng Jian… hanya berada di Alam Pembuka Qi Tahap Tengah. Namun... mengapa serangannya bisa membelah kekuatan Tinju Penghancur Besi-nya yang telah diasah bertahun-tahun? Kekuatan itu seharusnya tak tertandingi oleh kultivasi serendah itu!
“Uhuk!”
Lagi, darah kembali keluar dari tenggorokannya, menyembur deras. Dada kirinya seperti dihantam palu raksasa berdenyut sakit dan menyesakkan. Rasanya seolah batu besar menindih dadanya, menghancurkan lapisan energi dalamnya.
Namun dengan seluruh sisa tenaganya, ia memaksa dirinya berdiri.
Tubuhnya goyah, lutut bergetar, namun mata Duo Ming Laomo tak pernah lepas dari sosok Feng Jian. Sorotnya kini berubah bukan hanya amarah, tetapi juga ketakutan yang mulai merayap dalam diam.
Urat-urat di dahi dan lehernya mencuat, berdenyut seperti hendak meledak. Wajahnya memerah, dibalut darah dan debu. Kepalan tangannya gemetar, bukan karena marah… tetapi karena malu. Dirinya, seorang ahli Alam Inti Emas Tahap Tengah, dipermalukan di depan anak buahnya, di depan seorang pria muda yang belum menyentuh ranah kultivasi sejajar dengannya.
Sementara itu, Feng Jian hanya berdiri diam. Matanya tenang, penuh tekanan tak kasat mata. Tidak ada senyum sombong, tidak pula ejekan. Justru itulah yang paling menusuk bagi Duo Ming Laomo diperlakukan seperti ancaman kecil yang tak layak diperhatikan.
Suasana menjadi berat, seakan udara pun enggan bergerak.
Dan bagi Duo Ming Laomo... harga dirinya telah tercabik.