Berawal dari ketidaksengajaan lalu berujung pada pernikahan yang tidak direncanakan. Nadia yang mencoba bertahan hidup dengan menggantungkan harapannya pada pernikahan yang hanya dijadikan sebagai hubungan sebatas ranjang saja, tak mengira hidupnya akan berubah setelah ia memberi Yudha seorang anak yang diidam-idamkan.
“Jangan berharap lebih dari pernikahan ini. Aku menikahimu bukan karena cinta, tapi karena kita sama-sama saling membutuhkan,” kata Yudha.
“Tapi bagaimana jika kamu yang lebih dulu jatuh cinta padaku?” tanya Nadia.
“Tidak akan mungkin itu terjadi,” sarkas Yudha.
Lantas bagaimanakah kelanjutan hubungan pernikahan Nadia dan Yudha yang hanya sebatas ranjang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fhatt Trah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10. Merasa Bersalah
Merasa Bersalah
“Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau sedang berada di luar jangkauan ...”
Beberapa kali menghubungi, beberapa kali juga kalimat itu yang terdengar. Bu Nana sampai meniupkan napasnya resah. Padahal Yudha meminta ia menghubungi kembali Nadia untuk memberinya kesempatan sekali lagi bekerja di King and Queen Hotel. Tetapi sayangnya ponsel Nadia tidak bisa dihubungi.
Ada apa dengan Nadia?
“Maaf, Pak. Nadia tidak bisa dihubungi. Nomornya tidak aktif,” kata Bu Nana sembari menggeleng pelan.
“Coba sekali lagi. Siapa tahu ada kesalahan jaringan.” Entah mengapa sejak melihat Nadia mengamen di jalanan, perasaan ibanya muncul begitu saja. Yudha tak bisa membayangkan seperti apa kesulitan yang dialami Nadia sejak ia pecat dari pekerjaannya.
Perasaan iba Yudha itu muncul bersamaan dengan perasaan khawatir dengan keselamatan hidup gadis itu. Apalagi seperti kata Bu Nana bahwa gadis itu adalah seorang yatim piatu. Hidup yang dijalani gadis itu pasti tidak mudah.
“Tidak bisa dihubungi, Pak. Nomornya masih tidak aktif,” ujar Bu Nana usai mencoba menghubungi Nadia sekali lagi seperti perintah atasannya. Tetapi hasilnya tetap saja nihil.
Yudha menghela napas. Ia tampak sedang berpikir sejenak. Beberapa menit kemudian ia lantas berkata, “Bu Nana tahu alamat tempat tinggalnya?”
“Dia sudah tidak punya tempat tinggal lagi, Pak. Dia sudah diusir dari rumahnya ...” Akhirnya Bu Nana menceritakan apa yang terjadi pada Nadia seperti yang ia ketahui dari Nadia sendiri. Rumah orang tua Nadia yang menjadi satu-satunya tempat berteduh gadis itu sudah digadaikan beberapa tahun lalu. Karena tidak sanggup melunasi hutang yang ditinggalkan mendiang kedua orangtuanya, rumah itu pun kemudian disita.
Yudha menyandarkan punggung bersamaan dengan helaan napas pelannya. Teringat ketika malam kemarin ia tak sengaja bertemu Nadia, rupanya malam itu Nadia terlunta di jalanan karena tidak punya tempat untuk berteduh. Kemungkinan besar gadis manis itu juga tidak punya uang yang cukup untuk menyewa tempat tinggal. Jika seperti itu keadaannya, lalu di mana gadis itu tidur kemarin malam?
Diam-diam ada perasaan bersalah menyelinap masuk ke dalam sanubari Yudha. Ia teringat kembali bagaimana gadis itu memohon untuk tidak dipecat. Padahal gadis itu sedang sangat membutuhkan pekerjaan, tetapi dia rela kehilangan pekerjaannya karena tidak ingin orang lain kesusahan karena ulahnya.
Bukan hanya Nadia, Yudha juga teringat kembali bagaimana keputusan yang diambilnya terlalu cepat ketika ada karyawan yang melakukan kesalahan. Mungkin saja kesulitan yang mereka hadapi sama persis seperti Nadia.
“Bu Nana, saya mau bertanya sesuatu. Tolong jawab saya dengan jujur,” kata Yudha kemudian. Membuat Bu Nana sedikit terkejut.
“Pak Yudha mau bertanya soal apa? Kalau saya melakukan kesalahan lagi, tolong maafkan saya, Pak.” Walaupun Yudha sudah memberinya kesempatan, namun perasaan khawatir masih ia rasakan. Sebab Yudha merupakan sosok yang dikenal berhati dingin dan tak kenal ampun.
“Bukan, bukan tentang itu, Bu Nana. Saya hanya ingin mendengar pendapat Bu Nana tentang saya.”
“Maksud Pak Yudha? Saya kurang mengerti.”
“Sikap yang saya ambil dengan memecat karyawan yang melakukan kesalahan tanpa memberi mereka kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya itu, apakah sudah benar?”
Bu Nana menelan ludah. Terus terang saja ia tidak berani jujur dengan sikap atasannya itu. Kepemimpinan Yudha sungguh jauh berbeda dengan Tuan Malik, ayahnya.
Tuan Malik dikenal baik hati dan bijaksana. Satu kesalahan yang dilakukan karyawan tidak lantas membuat beliau cepat mengambil keputusan untuk memecat mereka. Sikap yang beliau ambil adalah memberi mereka kesempatan. Apalagi jika karyawan itu sudah berkeluarga. Sebab beliau tahu seperti apa beban hidup yang mereka tanggung.
“P-Pak Yudha sudah melakukan hal yang benar. Itu sudah menjadi resiko atas kesalahan yang mereka perbuat. Pak Yudha sudah melakukan tindakan yang benar,” ujar Bu Nana sedikit terbata, sebab kalimat yang keluar dari mulutnya itu tidak sesuai dengan isi hatinya.
“Saya ingin jawaban yang jujur, Bu Nana. Bu Nana tidak perlu menyembunyikan apapun dari saya. Tidak apa-apa, katakan saja. Saya mungkin akan mengkaji ulang keputusan-keputusan yang pernah saya ambil sebelumnya.”
Baru kali ini Yudha merasa sudah jahat sekali sebagai manusia. Mungkin karena sikapnya inilah yang membuat hidupnya nelangsa. Siapa yang tahu, sakit hati dari banyak karyawan yang sudah ia pecat dulu itu berimbas buruk pada hidupnya. Mungkin itu sebabnya juga ia tidak bisa menjadi seorang ayah. Sebab ada sakit hati seorang ayah yang lain ketika pegangan hidup mereka ia patahkan.
Beberapa dari karyawan yang pernah ia pecat dulu adalah laki-laki yang sudah berkeluarga. Laki-laki yang menjadi tulang punggung bagi keluarganya namun kebahagiaannya ia rampas.
Yudha merasa berdosa. Sikapnya itu sudah menyengsarakan hidup orang lain. Sehingga balasan dari apa yang pernah ia lakukan dulu itu pun kini sudah ia rasakan. Tuhan tidak memberinya kesempatan untuk merasakan kebahagiaan dengan menjadi seorang ayah.
****
“Silahkan dihitung kembali,” kata seorang penjaga toko ponsel, tempat Nadia menjual ponselnya.
Uang hasil mengamen pagi tadi tidak cukup untuk Nadia menyewa sebuah kamar kost. Uang itu hanya cukup untuk makan saja. Sehingga terpaksa ia menjual ponselnya, satu-satunya harta yang ia punya.
“Sudah pas. Terima kasih,” kata Nadia seusai menghitung uang yang diberikan.
Setelah mendapatkan uang dari hasil menjual ponsel, Nadia kemudian menyewa sebuah kamar kost sederhana dan terjangkau. Rencananya sebagian uangnya akan ia gunakan sebagai modal untuk menjual kue.
Selesai merapikan kamar kost, Nadia kemudian pergi ke swalayan terdekat untuk berbelanja bahan-bahan kue.
Sementara di lain tempat, di sebuah rumah sakit terbesar di kota itu, Maura sedang duduk di depan meja kerja seorang dokter tampan. Wanita itu duduk dengan menopang dagu sembari matanya awas memandangi wajah tampan sang dokter yang tengah sibuk memeriksa sebuah berkas.
Dia Dokter Rizal, dokter spesialis kanker yang merawat Maura, sekaligus sahabat terdekat Maura dan Yudha. Sahabat sejak dari bangku perguruan tinggi sampai sekarang.
Dokter berparas tampan yang masih betah melajang itu kemudian menutup berkas, lalu mengangkat wajahnya, menatap Maura yang tak henti memandanginya sedari tadi.
“Berhenti menatapku seperti itu,” kata Rizal. Ia merasa risih terus-terusan dipandangi saat ia sedang bekerja. Padahal ada banyak tumpukan majalah di meja tamu yang bisa digunakan Maura untuk mengusir rasa bosan, bukan malah memperhatikannya seperti ini.
Maura menggeleng, disertai dengan senyuman.
“Kalau aku berhenti, nanti mataku bisa sakit,” dalih Maura melupakan siapa dirinya.
“Justru matamu nanti sakit kalau kamu terus-terusan menatapku seperti itu, Maura. Jujur aku merasa risih. Aku jadi tidak nyaman bekerja.”
Bukannya berhenti menatap Rizal, Maura malah mengulurkan tangannya, melepas kacamata yang bertengger di hidung lancip dokter itu.
“Rasanya sudah lama aku tidak melihat wajahmu tanpa kacamata ini.” Maura melipat kacamata itu lalu menyimpannya ke dalam tasnya.
“Ra, kembalikan.”
“Kamu tahu tidak, kamu jauh lebih tampan tanpa kacamata.”
Rizal menarik sudut bibirnya. “Omong kosong. Bukankah suamimu jauh lebih tampan? Dia juga jauh lebih mapan. Apakah itu sebabnya kamu memilih dia?”
“Tidak juga. Kamu keliru kalau menilaiku seperti itu. Aku memilih dia karena aku merasa kecewa pada seseorang. Dan kekecewaan itu sekarang berubah menjadi perasaan bersalah. Aku merasa bersalah dengan pilihanku.”
-To Be Continued-
ngomong rindu tp giliran diladeni ngomong capek ngantuk, kan pengin /Hammer//Hammer//Hammer/
suami mulai ada tanda tanda dengan bawahnya....klop deh