Kenyataan menghempaskan Dion ke jurang kekecewaan terdalam. Baru saja memutuskan untuk merangkak dan bertahan pada harapan hampa, ia justru dihadapkan pada kehadiran sosok wanita misterius yang tiba-tiba menjadi bagian dari hidupnya; mimpi dan realitas.
Akankah ia tetap berpegang pada pengharapan? Apakah kekecewaan akan mengubah persepsi dan membuatnya berlutut pada keangkuhan dunia? Seberapa jauh kenyataan akan mentransformasi Dion? Apakah cintanya yang agung akhirnya akan ternoda?
Apapun pilihannya, hidup pasti terus berjalan. Mengantarkan Dion pada kenyataan baru yang terselubung ketidakniscayaan; tentang dirinya dan keluarga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon K. Hariara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Yuna
Dion semakin dekat dengan Melati yang hampir setiap malam bercengkerama dengannya melalui mimpi. Wanita cantik dan jangkung itu menjadi tempat Dion mencurahkan uneg-uneg dan bercerita mengenai kegiatan sehari-hari.
Dion beberapa kali mengeluhkan sikap para wanita di sekitaran kos yang terlalu ramah dan kian agresif mendekatinya. Tapi sikap dingin Dion mendapat teguran dari Melati.
“Memangnya di antara mereka tidak ada yang memikat hati?” tanya Melati.
“Pikat apanya, Kak? Aku ingin fokus dengan kuliah dan pekerjaan dulu. Nggak ada waktu buat cinta-cintaan!” jawab Dion serius dengan mengangkat tangan terkepal, lebih mirip mahasiswa yang melakukan orasi di depan gedung dewan.
“Tak ada waktu atau masih belum melupakan mantan?” goda Melati yang geli melihat keseriusan Dion mengucapkan kata-kata tadi.
“Iya, ditambah itu juga,” sahut Dion yang lalu tertawa malu-malu. “Suatu saat nanti, tapi tidak sekarang. Waktunya serba tidak tepat makanya aku tak mau berpikiran ke arah itu,” lanjutnya.
“Tapi jangan sampai terlalu cuek juga. Bersikap dingin terus-terusan bisa membuat hatimu ikut membeku.”
Bukan tanpa alasan Melati berkata begitu. Ia khawatir akan perubahan pada Dion. Apalagi Dion selalu berusaha menyibukkan diri dan terkesan menghindari perempuan dan kehidupan sosial.
Ia lalu mengamati Dion dari ujung kepala hingga ujung kaki, tertawa kecil. “Tak cuma sikap, gayamu juga kelewat dingin. Kau lebih mirip tukang pukul atau gangster daripada mahasiswa.”
“Bratva, Kak,” sahut Dion singkat.
Melati mengernyit. “Apa tuh?”
“Mafia Rusia. Aku pernah baca tentang mereka dan suka dengan sifat mereka yang dingin dan tak kenal takut,” jelas Dion datar.
Melati langsung melotot. “Astaga! Tidak boleh! Kenapa malah meniru kriminal?” serunya sambil memukul lengan Dion.
“Tenang, Kak! Kan cuma gaya saja,” Dion terkekeh.
“Ya tetap saja! Coba ganti penampilanmu. Lebih ramah, lebih sering tersenyum mungkin?”
Dion mengangkat bahu. “Dari dulu aku memang begini.”
“Tuh rambut panjangin dikit, napa? Kau kelihatan seperti pemuda stres yang gagal masuk akademi militer,” ledek Melati, membuat Dion tertawa lagi.
***
Januari, 2002.
Tak terasa enam bulan sudah sejak kepindahan Dion ke kos barunya.
Di kantornya, Dion sudah melewati masa training. Kini menjabat sebagai pelaksana tugas manajer produksi dan tentu saja dengan gaji yang lebih besar.
Dion juga sedang bersiap menghadapi Ujian Akhir Semester Ganjil. Ia optimis, hanya akan menyisakan tugas proyek akhir pada semester genap nanti.
Pagi itu, seperti biasa, Dion berlari mengelilingi lapangan olahraga dekat kosnya. Suasana lebih ramai dari beberapa hari sebelumnya, mungkin karena liburan akhir tahun telah usai.
Setelah menyelesaikan sprint, ia berhenti sejenak untuk mengatur napas.
“Bang! Abang Dion, kan?” suara feminin berseru ceria.
Seorang gadis tiba-tiba berhenti tepat di hadapannya, napasnya masih tersengal setelah berlari mengejar Dion tadi. Dua gadis lain menyusul tak lama kemudian. Dion mengerutkan kening, matanya mencoba mengenali wajah gadis yang memanggilnya itu. Sekilas tampak familiar, tapi ingatannya tak cukup kuat untuk mengingat siapa dia.
“Bang, sudah lupa, ya? Aku Yuna! Sekampung dengan Abang!” tambahnya dengan senyum lebar.
Dion terbelalak. “Yuna? Yuna Serenauli? Kaukah itu, Dik?”
Dion menatap gadis di depannya lebih saksama. Wajahnya memang masih memiliki jejak masa kecil yang ia ingat, tetapi gadis itu kini telah tumbuh menjadi perempuan dewasa yang menawan. Pagi itu Yuna mengenakan t-shirt ketat yang menonjolkan lekuk tubuh sementara bagian bawah dibalut celana training ketat seksi.
“Iya! Abang sombong sekali,” sahut Yuna, masih tersenyum manis.
“Aih, kau sudah besar sekarang. Cantik sekali! Apa kabarmu?” tanya Dion yang merasa senang menemukan seseorang dari masa kecilnya lalu menyalami gadis itu.
“Baik, Bang. Sudah beberapa kali aku coba menyapa tapi abang tak pernah balas,” keluh Yuna pura-pura cemberut dan kini berdiri dekat sekali dengan Dion.
Sementara kedua teman Yuna dan beberapa wanita yang sedang melakukan lari pagi sejenak heran karena Dion yang selama ini misterius untuk pertama kalinya terlihat berbicara dan tersenyum begitu ramah.
“Dik Yuna kuliah di sini juga?” tanya Dion.
“Iya Bang. Ambil sekretaris, ilmu komunikasi,” jawab Yuna.
“Cocok kali lah. Yuna cantik begini. Kamu masih SD waktu Abang meninggalkan kampung untuk merantau ke sini,” ujar Dion membuat gadis itu sedikit malu tapi juga bangga karena mendapat pujian.
Meskipun bukan teman sepermainan karena tidak sepantaran, Dion sering bercengkerama dengan Yuna ketika mereka masih kecil. Dion sering menerima pekerjaan dari keluarga Yuna seperti memanjat pohon kelapa atau membersihkan kapal nelayan milik keluarga gadis itu yang berlabuh.
Keluarga Yuna sangat terpandang di kampung Dion. Selain memiliki kebun kelapa dan kelapa sawit luas, orang tua Yuna juga adalah juragan kapal nelayan. Yuna sendiri adalah anak bungsu dari 3 bersaudara yang kesemuanya perempuan.
Keduanya kemudian terlibat obrolan akrab. Apalagi Dion yang sebenarnya merindukan kampung halaman menjadi antusias melontarkan pertanyaan-pertanyaan. Dion pun mengajak Yuna dan dua orang temannya untuk sarapan bersama di sebuah warung yang berada di sekitar lapangan itu.
“Abang sih tidak pernah pulang,” ujar Yuna yang kewalahan menjawab pertanyaan-pertanyaan Dion mengenai kampung halaman mereka.
“Mau pulang ke mana? Ke rumahmu? Abang kan tak punya rumah di kampung,” sahut Dion.
“Boleh saja, Bang! Tapi abang panjat pohon kelapa dulu, ya,” ledek Yuna teringat masa kecil mereka membuat Dion juga ikut tertawa.
Dalam beberapa hari, Dion dan Yuna yang kian akrab membuat penggemar Dion yang mayoritas juga adalah penghuni kos menjadi iri. Tapi mereka tidak bisa berbuat banyak mengingat Yuna adalah seorang gadis rupawan yang berasal dari keluarga berada dan selalu mengendarai mobil.
Yuna sendiri tampaknya salah mengartikan keramahan Dion. Dia merasa pemuda itu juga memiliki ketertarikan padanya sehingga tak segan-segan bersikap manja.
Mulanya Dion tak berkeberatan dengan sikap Yuna yang ia anggap seperti saudara mengingat sudah mengenalnya sedari kecil dan berasal dari kampung halaman yang sama. Tapi Dion mulai merasa terganggu karena Yuna selalu saja mendominasi waktu luangnya sampai-sampai muncul rumor bahwa mereka sudah berpacaran.
Rumor itu segera berubah menjadi konflik ketika Dion terang-terangan menolak cinta Yuna. Puncaknya terjadi di sebuah pesta ulang tahun di kafe.
Sebenarnya, petang itu Dion enggan keluar dari kosnya. Tapi, bujukan dan desakan Yuna meluluhkan keengganannya. Tanpa ia sadari, Yuna telah merancang sesuatu. Ia ingin menjadikan pesta itu sebagai ajang pamer dan pernyataan resmi bahwa Dion adalah pacar barunya.
Namun skenario itu hancur.
Di hadapan banyak orang, Yuna mencoba mencium Dion, tetapi pemuda itu menghindar. Penolakan itu bagai tamparan keras bagi harga diri Yuna. Wajahnya memerah, bukan hanya karena marah, tetapi juga malu. Tanpa berkata-kata, ia berlari meninggalkan pesta, menuju parkiran.
Dion yang tak ingin meninggalkan masalah menggantung segera menyusulnya. Ia menemukan Yuna berdiri di samping mobilnya, bahunya bergetar, kedua telapak tangan menutupi wajahnya yang berlinang air mata.
“Mengapa kau bersikap seperti ini? Kau tak boleh sembarangan mencium seorang pria,” kata Dion dengan nada datar.
Yuna menurunkan tangannya, matanya merah dan penuh amarah. “Abang telah mempermalukan Yuna di depan semua temanku!”
Kening Dion mengernyit. “Mempermalukan? Bagaimana caranya?”
Yuna menghela napas tajam, matanya menatap Dion penuh luka. “Mereka semua tahu bahwa kita pacaran.”
Dion terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata itu. “Apa?” tanyanya, nyaris tertawa karena terkejut. “Pacaran? Yuna, kapan aku pernah jadi pacarmu?”
“Abang serius?” Yuna menatapnya tak percaya. “Yuna nggak main-main, Bang. Yuna menganggap Abang sebagai pacar!”
Dion memandangi gadis sekampungnya itu. Ia tak habis pikir bagaimana seorang gadis dari keluarga terpandang dan berparas cantik seperti Yuna bisa merendahkan dirinya seperti sekarang ini.
“Yuna sudah salah sangka. Aku menganggapmu sebagai saudara bukan pacar atau kekasih,” tegas Dion yang mulai kesal membuat Yuna tersentak dan terdiam sejenak.
“Tapi Yuna sudah bilang pada semua orang kita sudah pacaran,” ujar Yuna lagi dengan suara perlahan.
“Tapi aku bukan pacarmu. Kamu harus menghentikan ini. Aku tidak suka,” ketus Dion lalu meninggalkan Yuna yang terbengong tak percaya mendapat penolakan tegas dari Dion. Tadinya dia terlalu yakin Dion akan senang memiliki kekasih seperti dirinya.
Setelah kejadian di kafe itu, Yuna bukannya mundur. Ia malah terus-terusan mendekati Dion. Mulai dari subuh ketika Dion ingin melakukan joging, Yuna sering sekali sudah memarkirkan mobilnya di depan kamar Dion.
Terkadang Yuna juga menunggui Dion pulang kantor lewat tengah malam dengan alasan untuk memberikan makanan kecil pada pemuda itu.
Meskipun mendapat perhatian seperti itu, Dion tetap tak bergeming alias tak berubah pikiran.
Sikap Yuna mendadak berubah ketika suatu malam, ia—bersama beberapa temannya menunggui Dion pulang dari kantor di depan kamar kos pemuda itu.
Hujan lebat petang tadi membuat angin berembus dingin, langit kelam tanpa bintang.
Di tengah-tengah obrolan bersama beberapa temannya yang duduk melantai di teras kecil kamar Dion, Yuna terdiam penasaran. Dari sudut matanya, ia menangkap sesosok perempuan di dalam kamar Dion. Berdiri di balik jendela, menatap lurus ke arahnya.
Darah Yuna berdesir.
“Ada wanita di kamar Dion!” bisiknya panik.
Teman-temannya spontan menoleh ke arah yang dimaksud Yuna. Mereka lalu ikut coba mengintip melalui jendela. Tapi tak ada siapa-siapa. Hanya tirai yang bergerak pelan tertiup angin.
Yuna mengerjap. Mungkin merasa pemandangan tadi hanya ilusi. Namun saat ia kembali menempelkan wajahnya ke kaca, sesuatu terjadi.
Dari dalam kamar, seseorang juga melakukan hal sama, menempelkan wajahnya.
Seorang perempuan.
Matanya membeliak. Pucat. Pandangannya kosong, tapi menusuk tajam.
Jerit Yuna membelah malam.
Kos mendadak gempar. Para penghuni berhamburan keluar, penjaga kos datang tergopoh-gopoh.
“Hantu! Ada hantu di kamar Dion!” seru Yuna, wajahnya pasi menjawab pertanyaan-pertanyaan mengapa ia tiba-tiba menjerit.
Orang-orang berkerumun, mencoba mengintip ke dalam. Tak ada apa-apa di sana. Kamar itu gelap, sunyi.
Tak lama kemudian Dion tiba dari kantor. Ia mengerutkan dahi melihat kekacauan di depan kamarnya. “Ada apa ini?” tanyanya.
“Yuna mengaku melihat hantu di kamarmu,” sahut Anto penjaga kos sambil mendekat pada Dion.
Dion tertawa kecil. “Hantu? Kalian bercanda?”
Sambil menghela napas, ia mengeluarkan kunci dan menatap mereka dengan senyum menantang, “Ada yang mau ikut masuk?”
Tak ada yang menjawab. Bahkan penjaga kos menelan ludah, enggan melangkah.
“Baiklah, kalian boleh periksa sendiri kalau masih tak percaya.”
Ia membuka pintu, menyalakan lampu. Kamar itu tampak biasa saja, tak ada yang aneh. Seisi kos terdiam.
“Silakan masuk lihat hantu!” seru Dion dengan nada menyindir lalu duduk di kursi meja komputernya.
Setelah memeriksa kamar Dion dan tidak menemukan hal mencurigakan, sang penjaga akhirnya meminta maaf telah mengganggu Dion dan memerintahkan para penghuni kos untuk kembali ke kamar masing-masing.
Dion tak menghiraukan Yuna yang bersikeras melihat setan di kamarnya. Gadis sekampungnya itu pun akhirnya meninggalkan kos setelah bujukan para penghuni.
Dalam mimpinya, Dion membahas kejadian itu dengan Melati. “Mungkin kejadian seperti dulu terulang lagi. Beberapa orang mampu melihatku dari dunia nyata,” jelas Melati.
“Tapi kenapa aku tidak bisa?” tanya Dion.
“Aku juga tidak mengerti. Aku tak bermaksud menakutinya walaupun terus terang aku mulai tidak menyukai gadis itu,” jawab Melati.
...***...
Kasak kusuk keberadaan hantu di kamar Dion kemudian menyebar di antara penghuni kos. Beberapa orang mengaku melihat sosok wanita jangkung ada di dalam kamar walaupun hanya sekilas. Anehnya, setiap ingin memastikan keberadaan sosok itu dengan coba melihat melalui jendela, mereka tidak menemukan siapapun di sana.
Beberapa penghuni kos wanita bahkan coba mengintai kamar Dion di malam hari.
“Sumpah, tadi siang aku melihat tempat tidurnya berantakan. Lihat sekarang sudah terlihat rapi seperti ada yang membereskan, padahal Dion belum kembali seharian ini,” kata seorang gadis penghuni kos kepada beberapa temannya sambil mengarahkan senternya ke dalam kamar yang gelap.
Ketika akhirnya mereka melangkah meninggalkan kamar Dion, seorang gadis kembali menoleh ke kamar Dion dengan rasa penasaran. Tapi pemandangan yang ia saksikan membuat ia terpaku di tempat ia berdiri sambil gemetaran dan keringat dingin.
“A… Aku… Aku melihat wanita berbaju putih berdiri di depan pintu,” katanya dengan suara bergetar karena ketakutan.
Suara dan sikap itu membuat keempat gadis lainnya kecut. Sontak mereka lalu berlari meninggalkan si gadis yang masih terpaku di tempatnya. Merasa ditinggalkan, gadis itu kian panik lalu menjerit membuat suasana kembali heboh.
Isu meluas. Kini Dion dituduh memelihara makhluk halus di kamarnya meskipun banyak juga yang tidak percaya, terutama mahasiswa pria. Selama beberapa malam mereka mengintai kamar Dion, tapi tidak pernah menemui hal yang ganjil.
Dion tak memedulikan isu-isu miring pada dirinya. Apalagi ia sedang disibukkan oleh tugas akhir kuliah yakni membangun modul-modul pemrograman berbasis ‘Java’. Ia sangat bersemangat karena merupakan satu-satunya mahasiswa yang memilih bahasa itu pada tugas akhir di kampusnya.
Meskipun modul program itu terbilang sederhana, aplet-aplet yang ia bangun memungkinkan pengguna menampilkan summary dari suatu basis data melalui halaman web tanpa mengakses database secara manual.
(Sebagai catatan, modul-modul atau ‘aplet’ itu kemudian dibeli dan dilisensikan oleh Sun Microsystem yang lalu membebaskan penggunaannya secara komersial. Setelah beberapa tahun, aplet versi yang disempurnakan diintegrasikan ke dalam platform Java itu sendiri secara ‘default’. Modifikasi dan adaptasi program itu masih digunakan secara luas hingga hari ini. Banyak yang menggunakannya untuk menampilkan informasi sebuah perangkat, misalnya suhu, jam, maupun status lainnya. Ada pula yang diintegrasikan pada sebuah sistem yang lebih kompleks misalnya secara otomatis menampilkan dan mencetak tagihan, menampilkan informasi pasien, karyawan pelanggan, dan banyak penggunaan lainnya.)
Para mahasiswa justru merasa senang dengan Dion yang beberapa kali mentraktir mereka dengan membelikan minuman sambil ngobrol menghabiskan malam di gazebo indekos. Para mahasiswa memang sering mengadakan pesta kecil dengan menyanyi sepanjang malam ditemani petikan gitar.
Penghuni kos tercengang dan terpikat oleh suara merdu Dion yang sangat maskulin mengalunkan lagu-lagu diiringi gitar.
Para mahasiswi yang tadinya takut dengan isu-isu makhluk halus tak bisa menyembunyikan rasa kagumnya pada suara Dion.
Pemuda itu berbeda dengan para mahasiswa di tempat itu. Selain dengan ketampanan dan fisik maskulin, Dion juga adalah pria mandiri, bekerja sambil kuliah. Apalagi setelah mengetahui bahwa Dion adalah seorang manajer di sebuah kantor berita membuat para mahasiswi kembali berani mendekati Dion.
Setelah beberapa kali berkumpul dan bercengkerama dengan Dion, mereka kaget dan girang mendapati bahwa Dion sebenarnya adalah seorang pemuda ramah yang suka bercanda dan rendah hati sekaligus jauh lebih dewasa. Hanya saja, padatnya jadwal membatasi waktu pemuda itu untuk bersosialisasi dengan sesama penghuni.
Untuk membatasi pergaulan dan kedekatan para mahasiswi, Dion sengaja mengaku sudah mempunyai kekasih yang sedang menempuh pendidikan di ibukota.
Keakraban Dion dengan beberapa penghuni kos ternyata tak selalu memberi hal positif. Yuna yang merasa pernah dipermalukan dan dicampakkan oleh Dion menjadi sakit hati.
Beberapa kali ia dan kelompoknya menghembuskan isu negatif mengenai Dion. Mulanya hanya isu murahan seperti Dion sudah beristri atau Dion adalah mantan narapidana. Bahkan Dion juga diisukan sebagai gigolo dan merupakan simpanan para janda kaya.
Tapi semuanya hanyalah isu. Mayoritas penghuni kos merasa tak melihat kebenaran dari isu tersebut. Dion juga tak mau ambil pusing dengan sikap Yuna yang menurutnya tidak masuk akal.