Xavier, dokter obgyn yang dingin, dan Luna, pelukis dengan sifat cerianya. Terjebak dalam hubungan sahabat dengan kesepakatan tanpa ikatan. Namun, ketika batas-batas itu mulai memudar, keduanya harus menghadapi pertanyaan besar: apakah mereka akan tetap nyaman dalam zona abu-abu atau berani melangkah ke arah yang penuh risiko?
Tinggal dibawah atap yang sama, keduanya tak punya batasan dalam segala hal. Bagi Xavier, Luna adalah tempat untuk dia pulang. Lalu, sampai kapan Xavier bisa menyembunyikan hubungan persahabatannya yang tak wajar dari kekasihnya, Zora!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Lestary, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11 : Between Us
Pagi itu, langit gelap diselimuti awan pekat. Guntur bergemuruh memecah kesunyian, diiringi hujan deras yang menciptakan simfoni di luar jendela apartemen. Namun, aroma kopi hangat dan roti panggang menyeruak, menciptakan kontras dengan hawa dingin yang menggigit. Di tengah kehangatan itu, Luna terlonjak dari tidurnya, napasnya tersengal saat kesadaran menghantamnya. Ada sesuatu yang mendesak.
Tanpa membuang waktu, ia bangkit dari tempat tidur, rambutnya masih berantakan, dan segera mencari keberadaan Xavier. Kakinya melangkah cepat ke ruang dapur, tempat aroma kopi semakin kuat. Di sana, ia melihat Xavier berdiri dengan tenang, memunggunginya, berbicara serius di telepon.
“Xavier, apa kau—” kalimat Luna terputus ketika Xavier mengangkat tangan, meminta ia untuk diam.
“Sstttt...” Xavier memberi isyarat dengan jemarinya, fokus pada percakapannya. Suaranya rendah namun terdengar mantap, memberikan perintah singkat pada orang di ujung telepon. Setelah beberapa detik, ia menutup telepon dan meletakkannya di atas meja kitchen set. Matanya yang dalam menatap Luna sambil menuangkan kopi ke dalam cangkir.
“Apa yang begitu mendesak, Luna?” tanyanya santai, sembari menyeruput kopi panasnya.
Luna berdiri terpaku, mengatur napasnya sebelum akhirnya berkata dengan nada penuh tuntutan, “Kau sengaja melakukannya?”
Xavier mengangkat alis, wajahnya menampilkan kebingungan yang tulus. “Tentang apa?”
Luna menyipitkan matanya, tatapannya tajam. “Pengamannya! Apa kau sengaja tidak memakainya semalam?” katanya dengan nada yang mulai meninggi.
Xavier menghentikan gerakannya sejenak. Alih-alih menunjukkan penyesalan, pria itu justru menyeruput kopinya dengan tenang. Matanya tetap menatap Luna, bibirnya melengkung tipis. “Kenapa kau baru bahas ini sekarang? Aku pikir kau sudah tahu dari semalam.” Nada bicaranya begitu santai, seperti sedang membahas hal sepele.
Wajah Luna memerah, bukan karena malu, tetapi karena frustrasi, suaranya bergetar antara marah dan bingung. “Apa kau tidak peduli? Bagaimana jika aku—”
Xavier tidak memberinya kesempatan untuk menyelesaikan kalimatnya. “Aku akan tanggung jawab,” potongnya cepat, nadanya tetap tenang, namun penuh keyakinan.
“Tidak semudah itu, Xavier.” Luna menggeleng kecil, matanya mulai memerah. Tangannya menepuk dada Xavier dengan sedikit tenaga, seolah ingin menyalurkan emosinya. “Kau selalu membuat semuanya terlihat mudah. Tapi ini, ini bukan permainan!”
Xavier menatap Luna dalam diam, ekspresinya sulit dibaca. Ada kilatan serius di matanya, namun ia tetap berdiri tegak di tempatnya. Ketika Luna akhirnya memalingkan tubuh dan melangkah pergi, suara lembutnya memecah keheningan.
“Luna.” panggil Xavier.
Luna tak berhenti, ia terus berjalan menuju kamarnya.
“Apa pun yang terjadi, aku tidak pernah bermain-main denganmu.”
Luna tidak menjawab, langkah kakinya menggema di apartemen yang sunyi, meninggalkan Xavier sendirian di dapur. Hujan di luar masih mengguyur deras, seolah mencerminkan kekacauan yang mulai menyelimuti pikiran mereka berdua.
*
Luna mengaduk minumannya dengan gerakan lambat, tatapannya kosong, seolah pikirannya melayang ke tempat lain. Ia hampir tidak menyadari kedatangan Claire yang baru saja masuk ke kafe itu, membawa serta aroma lembut parfum yang biasa digunakannya.
"Luna, kenapa melamun?" tanya Claire sambil meletakkan tas tangannya di kursi sebelah dan duduk di depannya.
Luna tersentak, membenarkan posisi duduknya dan memaksakan senyum. "Kau sudah sampai, Claire."
"Tentu saja. Kau yang mengundangku ke sini, ingat?" Claire tertawa kecil sambil melepaskan syal dari lehernya. Ia menatap Luna dengan pandangan penuh tanya. "Ada apa sebenarnya? Kau kelihatan tidak seperti biasanya."
Luna menghela napas pelan, kedua tangannya melingkari cangkir kopi yang mulai dingin. Tatapannya lurus menatap meja kayu di depannya, sementara rasa bersalah terus bergelayut di benaknya. Ia mengangkat wajah, menatap Claire dengan mata yang dipenuhi rasa sesal.
"Aku ingin minta maaf, Claire. Aku merasa telah mengecewakanmu." Suaranya terdengar lirih, hampir tak terdengar di tengah gemericik suara barista dan obrolan di kafe itu.
Claire mengerutkan kening, mencoba memahami maksud ucapan Luna. "Maksudmu, ini tentang Xavier?" tanyanya dengan nada lembut.
Luna mengangguk kecil, menundukkan wajahnya seolah tak sanggup menatap Claire. "Aku benar-benar tidak tahu... kalau Xavier kembali dekat dengan mantannya." Kalimat itu meluncur dengan penuh penyesalan.
Claire menghela napas panjang, menyandarkan tubuhnya pada kursi. Ia memandangi Luna, yang jelas terlihat dihantui rasa bersalah. Dengan senyum kecil, Claire mencoba mencairkan suasana.
"It's okay, Luna. Lagi pula, wajar saja. Xavier setampan itu, mana mungkin mantannya melepaskannya begitu saja." Ia mencoba menenangkan Luna, meskipun hatinya sendiri terasa sedikit sesak mengingat situasi yang terjadi.
Luna mengangkat wajah, menatap Claire dengan sorot mata tak percaya. "Kau benar-benar tidak marah padaku?" tanyanya hati-hati.
Claire tersenyum tipis, kali ini tatapannya terasa lebih tulus. "Aku tidak marah, Luna. Aku tahu kau tidak tahu apa-apa soal ini. Lagi pula, bukan salahmu kalau mantan Xavier muncul kembali."
"Tapi... aku merasa bertanggung jawab untuk makan malam yang berantakan tempo hari. Aku seharusnya memastikannya terlebih dulu dengan Xavier sebelum memutuskan untuk mempertemukan kalian." Luna memainkan sendok kecil di tangannya, tatapannya kembali menunduk.
"Luna," Claire menyela lembut, "kita tidak bisa mengontrol masa lalu atau siapa yang datang kembali dalam hidup seseorang. Xavier sudah dewasa, dan dia tahu apa yang dia mau."
Luna menghela napas panjang, masih merasa berat dengan situasi itu. "Kau benar Claire, dia sudah dewasa, dan dia lebih tahu apa yang terbaik untuknya." kalimat itu terdengar lebih seperti bisikan, bisikan Luna pada dirinya sendiri.
Setelah berbincang cukup lama, Luna dan Claire akhirnya memutuskan untuk mengakhiri pertemuan mereka. Meski percakapan itu sempat membuat Luna merasa lebih baik, perasaan tidak nyaman masih membayangi dirinya.
"Terima kasih sudah meluangkan waktu, Claire," ucap Luna sambil memeluk sahabatnya sebelum berpisah di depan kafe.
Claire tersenyum hangat. "Jangan terlalu dipikirkan, Luna. Semuanya akan baik-baik saja."
Luna mengangguk, mencoba menyerap optimisme Claire. Namun, sesaat setelah Claire menghilang di keramaian jalan, pikirannya kembali dipenuhi oleh kegelisahan. Ia melirik jam tangannya dan mengingat satu janji lagi yang harus ia penuhi hari itu.
Pertemuannya dengan Zora.
Hujan masih mengguyur deras, membasahi setiap sudut kota yang seakan dibungkus oleh selimut kelabu. Luna menarik napas panjang begitu ia masuk ke dalam mobil, mencoba menenangkan dirinya dari udara dingin di luar. Tiba-tiba, ponselnya berbunyi, layar menyala memperlihatkan pesan dari Xavier.
"Di mana kau sekarang?"
Luna menatap pesan itu sebentar sebelum mengetik balasan singkat. "Aku sedang di luar, ada janji bertemu dengan Zora."
Ia meletakkan ponsel di atas dashboard, lalu menyalakan mesin mobil. Suara hujan yang menghantam kaca depan menjadi irama monoton yang mengiringi perjalanan. Ketika mobil mulai melaju, ponselnya kembali bergetar, tetapi Luna tidak menghiraukannya. Fokusnya tertuju pada jalanan licin di depannya, bukan pesan atau panggilan dari Xavier.
Setelah beberapa menit perjalanan di bawah guyuran hujan, Luna tiba di kantor Zora. Gedung modern itu berdiri megah, dengan dinding kaca yang memantulkan kilatan cahaya lampu jalanan. Luna memarkirkan mobilnya dan segera berlari kecil menuju lobi, melindungi dirinya dengan mantel panjang dari serangan hujan.
Di lobi, Zora sudah menunggunya. Wanita itu berdiri anggun dengan blazer krem yang membuatnya terlihat profesional, tetapi tetap santai. Rambutnya tergerai sempurna, memberikan kesan yang memikat siapa saja yang melihatnya.
"Luna," sapa Zora dengan senyuman hangat, menghampiri.
"Hai, Zora," balas Luna sambil membenarkan letak tas di pundaknya. "Maaf kalau aku membuatmu menunggu."
"Ah, tidak apa-apa. Aku juga baru saja sampai," jawab Zora dengan nada bersahabat. "Ayo, kita langsung ke ruang meeting."
Ruangan meeting tempat mereka masuk terasa nyaman dan modern. Jendela besar yang menghadap ke kota memberikan pemandangan menakjubkan, meskipun saat itu hanya dihiasi oleh hujan yang terus menerpa. Meja kayu besar di tengah ruangan dikelilingi kursi-kursi empuk, dan beberapa berkas sudah tertata rapi di atas meja.
Mereka duduk berseberangan, Zora memulai pembicaraan dengan menjelaskan detail proyek mereka yang akan datang. Luna mendengarkan dengan saksama, mencatat beberapa hal penting di notepadnya.
Setelah pameran kali ini selesai, mereka akan langsung menyambung kontrak untuk pameran berikutnya. Waktunya yang berdekatan membuat Zora memutuskan untuk langsung mengkompromikan semua ide baru dengan Luna.
"Aku yakin, jika kita bisa eksekusi ide-ide ini dengan baik, proyek berikutnya akan jauh lebih sukses," ujar Zora.
Proyek baru yang diusulkan Zora cukup unik, bahkan menantang: tema rumah sakit. Bu Sarah, seorang tokoh senior di bidang seni, yang memiliki koneksi kuat dengan pihak rumah sakit mungkin akan membantu ide Zora kali ini. Tidak hanya itu, pameran juga akan diadakan langsung di salah satu rumah sakit ternama.
"Kenapa memilih tema rumah sakit?" tanya Luna sambil memeriksa kembali catatannya.
Zora tersenyum tipis. "Karena aku ingin proyek ini punya makna lebih. Rumah sakit adalah tempat di mana orang-orang sering merasa rapuh, tetapi juga tempat di mana harapan selalu hadir. Aku ingin seni kita membawa kehangatan dan harapan ke tempat seperti itu."
Luna mengangguk, sedikit terpesona dengan pemikiran Zora. "Ide ini memang tidak biasa. Tapi, kita harus memastikan eksekusinya bisa menyentuh hati semua orang, bukan hanya pasien atau staf rumah sakit."
"Itulah mengapa aku membutuhkanmu, Luna," kata Zora sambil menatapnya serius. "Kau selalu punya cara untuk membuat ide-ideku terasa hidup."
Mereka mulai membahas detail proyek, dari instalasi seni interaktif hingga seni mural yang akan menghiasi beberapa bagian rumah sakit. Bu Sarah, yang dijadwalkan hadir sore itu, akan membantu memastikan semua rencana mereka berjalan sesuai dengan standar tinggi yang diharapkan.
Sore harinya, Luna dan Zora menyambut kedatangan Bu Sarah di ruang meeting galeri. Wanita paruh baya itu membawa aura tenang namun penuh wibawa, dengan senyuman hangat yang membuat siapa pun merasa nyaman.
"Jadi, kalian ingin mengadakan pameran di rumah sakit?" tanya Bu Sarah sambil membuka salah satu map yang dibawanya.
"Betul, Bu Sarah," jawab Zora dengan antusias. "Kami ingin menciptakan ruang yang tidak hanya estetis, tetapi juga memberikan dampak positif bagi para pasien, keluarga mereka, dan bahkan staf medis."
Luna menambahkan, "Kami juga berpikir untuk melibatkan pasien dalam proses kreatifnya. Mungkin mereka bisa ikut dalam pembuatan beberapa karya seni."
Bu Sarah mengangguk pelan, matanya berbinar tanda setuju. "Ini ide yang sangat mulia. Aku akan berbicara dengan pihak rumah sakit, dan aku yakin mereka akan senang bekerja sama. Namun, kita perlu memastikan bahwa semua instalasi aman untuk lingkungan rumah sakit."
Percakapan mereka mengalir lancar, membahas segala detail dari anggaran hingga logistik. Semakin lama diskusi berlangsung, semakin yakin Luna bahwa proyek ini akan menjadi sesuatu yang istimewa. Larut dalam pekerjaan seakan membuat Luna melupakan kegundahan hatinya, tentang kemungkinan yang bisa saja terjadi karena keteledoran ia dan Xavier.
To Be Continued>>>