para mahasiswa dari Institut Seni Indonesia tengah melakukan projek pembuatan filem dokumenter ke sebuah desa terpencil. Namun hal tak terduga terjadi saat salah satu dari mereka hilang di bawa mahluk ghoib.
Demi menyelamatkan teman mereka, mereka harus melintasi batas antara dunia nyata dan alam ghoib. Mereka harus menghadapi rintangan yang tidak terduga, teror yang menakutkan, dan bahaya yang mengancam jiwa. Nyawa mereka menjadi taruhan dalam misi penyelamatan ini.
Tapi, apakah mereka sanggup membawa kembali teman mereka dari cengkeraman kekuatan ghoib? Atau apakah mereka akan terjebak selamanya di alam ghoib yang menakutkan? Misi penyelamatan ini menjadi sebuah perjalanan yang penuh dengan misteri, dan bahaya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Uswatun Kh@, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 09
Mobil tua berwarna hijau tua, jenis jeep Willys, meninggalkan halaman rumah. Untuk pertama kalinya sejak kedatangan mereka, mereka melihat desa itu di siang hari. Namun, tatapan warga desa begitu aneh, membuat mereka penasaran. Di desa kecil dengan hanya 50 kepala keluarga itu, setiap pandangan terasa menusuk, seakan-akan mereka adalah orang asing yang tak diinginkan.
Beberapa warga bahkan tampak ketakutan saat mobil jeep tua itu lewat. Ada yang langsung berlari masuk rumah, menutup pintu rapat-rapat. Suara derit pintu kayu tua menambah kesan mencekam suasana.
"Pak, kenapa semua orang terlihat takut begitu kita lewat?" tanya Queen.
Pak Parno melirik ke luar jendela sebentar, lalu berkata dengan nada santai, "Ah, mana? Mereka biasa saja kok..."
Namun, raut wajahnya tak sepenuhnya meyakinkan.
Tapi Queen kembali melihat ke luar. Kali ini, tatapan warga lebih intens, mengintimidasi. Bukan sekadar takut, tapi ada sesuatu yang lebih dalam di balik sorot mata mereka. Jeep tua itu terasa semakin lambat, seakan-akan terbebani oleh tatapan-tatapan itu.
"Aneh sekali," gumam Queen dalam hati, bulu kuduknya sedikit merinding.
Perjalanan menuju Curuk menuntut mereka meninggalkan desa. Perjalanan tak terlalu jauh, mungkin hanya setengah jam, meski jalannya berbatu dan berkelok. Jeep Willys itu berguncang pelan melewati jalanan yang tidak rata.
Sepanjang perjalanan, hamparan kebun jagung terbentang luas, sejauh mata memandang. Mereka baru bisa melihat keindahannya dengan jelas di siang hari, karena saat tiba, hari telah gelap.
Ribuan batang jagung berdiri tegak, diselingi ladang tebu yang tak kalah luasnya. Pemandangan hijau membentang tanpa henti, membuat perjalanan terasa singkat dan menyenangkan. Keindahan alam pedesaan itu sedikit menghapus rasa tidak nyaman yang sempat mereka rasakan di desa. Angin sepoi-sepoi menerpa wajah mereka, membawa aroma jagung dan tebu yang manis.
Mobil jeep tua itu berhenti di tepi tebing yang sedikit curam, menawarkan pemandangan yang menakjubkan. Di bawah, air terjun Curuk menanti. Mereka segera turun, perjalanan menuju air terjun menuntut kehati-hatian. Penurunan yang cukup terjal menanti mereka.
"Semuanya pelan-pelan, jalannya sedikit licin karena lumut. " kata Pak Parno.
Mereka menuruni tangga bambu yang tampak rapuh, langkah demi langkah dengan hati-hati. Para lelaki membantu para wanita, tangan mereka saling bertaut, menawarkan rasa aman di antara bebatuan yang licin.
Arjuna bergegas menghampiri Wati, namun Wati sudah lebih dulu turun, tangannya tergenggam erat oleh Daffa. Arjuna mengerutkan dahi, sebuah rasa cemburu yang tak terucap tergambar di wajahnya. Ia pun menuruni tangga dengan langkah yang lebih cepat, kesal bercampur dengan rasa ingin cepat sampai di bawah.
Setelah sampai di dasar, Arjuna, Queen, dan Wati langsung berlari riang menuju air terjun yang memesona. Suara air terjun yang jatuh deras membahana, menciptakan simfoni alam yang menenangkan.
"Woooeee.." teriak Arin, suaranya memecah kesunyian.
"Kita ke sini bukan untuk rekreasi, ya! Reading aja gak bener! Jangan cuma main-main aja ,kalian ini tidak becus!" suaranya terdengar tegas, menghentikan kegembiraan Arjuna, Queen, dan Wati.
Arjuna menghentikan langkahnya, senyumnya memudar. Ia berjalan lebih pelan, mendengar omelan Arin. Namun, sesaat kemudian, ia kembali larut dalam kebahagiaan bersama Wati dan Queen, mengabaikan omelan Arin yang hanya bisa menggelengkan kepala dengan kesal. Keindahan Curuk terlalu menggoda untuk dilewatkan.
Sinar matahari pagi menyinari lembah hijau tempat air terjun itu jatuh dengan deras. Fahri, dengan teliti, mengeluarkan peralatannya: tiga kamera DSLR dengan lensa beragam, dan sebuah kamera film tua yang terawat baik. Ia memeriksa baterai dan kartu memori, memastikan semuanya siap merekam keindahan alam yang akan mereka abadikan. Asistennya, Valo, membantu menyiapkan tripod dan reflektor. Suasana kerja sama yang kompak tercipta di antara mereka.
Arjuna dan Wati, pasangan model yang telah diseleksi Fahri, sudah siap berpose. Wati mengenakan gaun panjang berwarna biru muda yang berkibar lembut tertiup angin, sementara Arjuna, dengan kemeja putih dan celana jeans, tampak gagah berdiri di sampingnya. Air terjun yang megah menjadi latar belakang yang sempurna. Fahri memberikan arahan singkat, lalu jepretan demi jepretan diambil, menangkap berbagai ekspresi dan pose yang memukau.
Di tengah kesibukan itu, Queen, yang bertugas mengurus kebutuhan logistik, tampak gelisah. Ia berdiri di balik sebatang pohon, wajahnya pucat dan tangannya memegang perut. Dahi terlihat berkeringat. Ia menggigit bibir menahan rasa sakit.
Baskoro, yang memperhatikan Queen dari kejauhan, mendekat dengan hati-hati.
"Queen, lu kenapa? Dari tadi gue perhatiin lu kayak kesakitan,lagi gak enak badan,ya?
Queen menghela napas panjang. "Gue lagi datang bulan, Baskoro. Perutku kram ," jawabnya .
Baskoro segera membantu Queen duduk di kursi panjang dari bambu yang telah disiapkan. Ia melepas jaketnya dan memberikannya kepada Queen untuk menghangatkan tubuh.
"Sebaiknya lu istirahat dulu, Queen. Jangan dipaksakan,"
Daffa memperhatikan mereka sekilas, rasa penasaran terpancar dari sorot matanya. Sementara itu, Basah melepas jaketnya dan dengan lembut menutupi kaki Queen, sebuah tindakan perhatian yang sederhana namun tulus.
"Lain kali, kalau merasa tidak nyaman dengan celana itu, lebih baik jangan dipaksa. Gue lihat lu sangat gak nyaman," kata Baskoro.
"Ya bagaimana lagi? Masa gue gak pakai celana? Lagian, celana gue kan terkena noda darah," jelas Queen, sedikit malu.
"Kenapa tidak bilang dari awal? Lu bisa aja istirahat di rumah dan tidak perlu ikut," ujar Baskoro.
"Tidak apa-apa kok, sekarang sudah lebih baik," jawab Queen, tersenyum tipis.
Tiba-tiba, Arin memanggil, "Baskoro, cepat ke sini!"
Baskoro merapikan jaket yang menutupi Queen, lalu berlari menuju lokasi Arin.
BERSAMBUNG....