Samantha tidak mampu mengingat apa yang terjadi, dia hanya ingat malam itu dia minum segelas anggur, dan dia mulai mengantuk...kantuk yang tidak biasa. Dan saat terbangun dia berada dalam satu ranjang dengan pria yang bahkan tidak ia kenal.
Malam yang kelam itu akhirnya menjadi sebuah petaka untuk Samantha, lelaki asing yang ingin memiliki seutuhnya atas diri Samantha, dan Samantha yang tidak ingin menyerah dengan pernikahannya.
Mampukah Samantha dan Leonard menjadi pasangan abadi? Ataukah hati wanita itu bergeser menyukai pria dari kesalahan kelamnya?
PERINGATAN KONTEN(CONTENT WARNING)
Kisah ini memuat luka, cinta yang kelam, dan batas antar cinta dan kepasrahan. Tidak disarankan untuk pembaca dibawah usia 18 tahun kebawah atau yang rentan terhadap konten tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon wiedha saldi sutrisno, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 11 : Tumpukan Surat Diatas Meja
Hujan rintik menyambut langkah Samantha di luar gedung apartemen. Malam telah larut, dan kota sudah mulai sunyi. Di tangannya, ia membawa tas kerja yang tampak lebih berat dari biasanya, bukan karena isinya, tapi karena beban rasa bersalah yang terus menggerogoti hatinya.
Pintu apartemen terbuka pelan. Tidak ada suara. Hanya cahaya temaram dari lampu sudut ruangan yang menyala, dan samar bau alkohol yang menyeruak pelan-pelan.
Samantha menggantung mantel basahnya, melepas sepatunya tanpa suara. Langkahnya ringan menuju ruang tamu… lalu matanya menemukan sosok Leonard.
Lelaki itu duduk membungkuk di kursi bar mini mereka. Kemeja kusut, dasi masih menggantung longgar, rambut sedikit berantakan, dan di tangannya segelas bourbon yang sudah separuh habis.
Tiga botol kosong berdiri berjajar seperti prajurit gagal yang menyaksikan kekalahan tuannya.
"Leonard…" suara Samantha pelan, hampir seperti bisikan.
Lelaki itu menoleh. Matanya merah, setengah sayu, senyum tipis muncul, pahit.
"Oh, kamu pulang," katanya ringan, seolah itu adalah hal paling biasa di dunia. "Aku hampir mengira kamu nginap di kantor. Atau di tempat yang lebih nyaman."
Samantha menelan ludah. "Jangan mulai, Leon."
Leonard mengangkat gelasnya. "Tenang. Aku nggak akan bertanya apa-apa. Nggak akan menuduh. Aku cuma… butuh sedikit bourbon untuk membuat semuanya terasa normal lagi."
Ia tertawa pelan, suara tawa yang lebih mirip luka terbuka. "Kamu tahu apa yang lucu, Sam? Hari ini aku kehilangan tumpuan terakhir yang kubangun untuk karirku."
Samantha diam, menunggu dengan sabar hingga akhirnya Leonard kembali berbicara.
"Investor dari Singapura batal. Mereka mundur. Nggak ada penjelasan, nggak ada negosiasi. Hanya... hilang. Seolah ada bayangan besar yang mengintimidasi mereka dari belakang," lanjut Leonard. "Dan sekarang? Aku punya hutang. Aku kehilangan dua proyek. Beberapa klien menarik diri. Aku... tersungkur."
Ia menatap Samantha, mata yang biasanya teduh, malam ini penuh luka.
"Tapi kamu tahu apa yang paling menyakitkan?" tanyanya lirih. "Bukan kehilangan uang. Bukan bisnis yang goyah. Tapi rasanya... aku juga sedang kehilangan kamu."
Samantha berdiri terpaku. Ingin mendekat, ingin memeluknya. Tapi kaki dan hatinya saling menarik ke arah berbeda.
"Aku di sini," katanya pelan, nyaris tak terdengar.
Leonard menggeleng, matanya berkaca. "Tidak, Sam. Kamu sudah jauh. Bahkan ketika kamu berada tepat di depanku."
Hening. Hanya suara hujan di luar jendela dan desah napas yang nyaris habis.
Samantha berdiri di ambang pilihan. Antara mengaku dan menghancurkan segalanya, atau tetap berbohong dan perlahan melihat cinta itu mati.
Dan untuk pertama kalinya… ia tak tahu mana yang lebih menyakitkan.
...****************...
Pagi itu, udara terasa berat.
Cahaya matahari menembus tipis tirai jendela, menguar hangat ke dalam apartemen yang masih sunyi. Samantha berdiri di dapur, sendirian. Tangannya sibuk memanaskan air dan menyiapkan dua cangkir kopi. Ia tak bisa tidur semalam, kepalanya penuh dengan suara-suara, suara Leonard yang terluka, suara hatinya yang dipenuhi kebimbangan, dan... bayangan Nathaniel yang tak juga pergi dari pikirannya.
Saat aroma kopi mulai menguar, suara langkah berat terdengar dari lorong. Leonard muncul dengan mata sembab, rambut berantakan, dan kaos lusuh yang tidak sempat ia ganti sejak tadi malam. Ia tidak bicara. Hanya berjalan pelan menuju meja makan dan duduk dengan wajah kosong.
Samantha menyodorkan secangkir kopi ke hadapannya.
"Pagi," ucapnya pelan, mencoba tersenyum meski hati terasa berat.
Leonard hanya mengangguk kecil.
Keheningan mengisi ruangan selama beberapa saat. Lalu, dengan suara lirih, Samantha mulai bicara.
"Aku tahu kamu kecewa… Aku tahu kamu lelah. Aku juga…"
Leonard menatapnya, ada luka dalam sorot matanya. "Sampai kapan kamu akan terus sembunyi di balik alasan pekerjaan, Sam?"
Samantha terdiam. Tak ada jawaban yang bisa memuaskan.
Leonard mengusap wajahnya. "Kau pikir aku tidak melihat? Bahwa kamu makin jauh. Bukan cuma fisik, tapi juga jiwamu, hatimu…" Suaranya gemetar, menahan amarah dan sedih yang bertumpuk.
"Apa aku sudah tak cukup, Sam?" tanyanya akhirnya. "Kau tidak lagi menyentuhku seperti dulu. Tidak bicara seperti dulu. Apa itu artinya aku sudah bukan bagian dari dirimu?"
Samantha menunduk, tak mampu menatapnya. "Bukan begitu…"
"Lalu bagaimana?" Leonard membalas cepat. "Beri aku sesuatu. Penjelasan. Apa kamu mencintai orang lain?"
Pertanyaan itu menampar seperti cambuk. Samantha ingin berbohong, ingin berkata tidak. Tapi bibirnya terlalu kelu untuk melakukannya. Ia hanya diam, dan dalam diam itu, Leonard menemukan jawaban yang tak ingin ia dengar.
Ia berdiri, menarik napas panjang seakan mencoba menenangkan badai di dadanya.
"Aku akan keluar sebentar," katanya tanpa emosi. "Aku butuh waktu untuk berpikir."
Samantha hanya bisa mengangguk, matanya mulai basah.
Ketika pintu tertutup pelan di belakang Leonard, apartemen itu kembali sunyi. Tapi bukan sunyi yang tenang, melainkan sunyi yang menggema, menyisakan retak-retak yang mulai nyata.
Dan untuk pertama kalinya, Samantha merasa bahwa semuanya mungkin benar-benar akan runtuh.
...****************...
Sudah dua hari sejak Leonard terakhir kali terlihat di apartemen mereka. Dua hari sejak pagi itu, saat Samantha bergegas pergi dengan setelan kerjanya, menyisakan sup hangat dan senyuman kosong untuk seorang lelaki yang hatinya retak di meja makan.
Sekarang, keheningan menyelimuti apartemen seperti kabut tebal yang tak mau menguap. Tirai masih tertutup, sisa-sisa kopi pagi yang basi di wastafel belum disentuh, dan ruang tamu terasa terlalu lapang… terlalu kosong tanpa suara Leonard yang biasa memanggil namanya pelan di sela waktu.
Samantha duduk di tepi sofa, tubuhnya membungkuk, tangan menopang keningnya yang berat oleh rasa gelisah. Sekilas matanya menatap meja depan, sebuah tumpukan amplop dan surat-surat kini bertambah tinggi.
Satu per satu ia buka. Tagihan listrik. Telepon. Kartu kredit. Semuanya sudah lewat tanggal jatuh tempo.
Jantungnya mencelos ketika membaca surat dari penyedia jasa keuangan. Ada peringatan, peringatan kedua, dengan huruf tebal merah yang mencolok: Segera lunasi untuk menghindari tindakan hukum.
Samantha menutup mata, menahan napas. Rasanya dunia mulai runtuh pelan-pelan. Dan Leonard… ke mana Leonard pergi?
Ia mencoba menelepon, tapi hanya terdengar nada sambung yang dingin dan panjang, hingga akhirnya masuk ke pesan suara. Ia mengirim pesan, namun tak pernah dibalas. Bahkan keluarga Leonard pun tak tahu di mana lelaki itu berada. Seolah menghilang begitu saja ke dalam kabut kehancuran yang telah diam-diam mengintainya selama ini.
Dan yang paling menusuk hati Samantha bukan hanya rasa bersalah… tapi ketakutan. Ketakutan akan kehilangan satu-satunya orang yang dulu ia percaya bisa mencintainya, bahkan saat ia sendiri sudah berhenti mencintai dirinya sendiri.
Malam mulai jatuh. Kota kembali menyala dengan lampu-lampu jalan yang temaram.
Tapi di dalam hati Samantha, hanya ada satu pertanyaan yang bergema pelan tapi memekakkan: Apakah ini semua salahku?