Siang hari, Aditya Wiranagara adalah definisi kesempurnaan: Dosen sejarah yang karismatik, pewaris konglomerat triliunan rupiah, dan idola kampus.
Tapi malam hari? Dia hanyalah samsak tinju bagi monster-monster kuno.
Di balik jas mahalnya, tubuh Adit penuh memar dan bau minyak urut. Dia adalah SENJA GARDA. Penjaga terakhir yang berdiri di ambang batas antara dunia modern dan dunia mistis Nusantara.
Bersenjatakan keris berteknologi tinggi dan bantuan adiknya yang jenius (tapi menyebalkan), Adit harus berpacu melawan waktu.
Ketika Topeng Batara Kala dicuri, Adit harus memilih: Menyelamatkan Nusantara dari kiamat supranatural, atau datang tepat waktu untuk mengajar kelas pagi.
“Menjadi pahlawan itu mudah. Menjadi dosen saat tulang rusukmu retak? Itu baru neraka.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Daniel Wijaya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SARAPAN YANG DINGIN
Waktu: Selasa, 16 April 2019. Pukul 07.00 WIB.
Lokasi: Penthouse Wiranagara, Menteng, Jakarta Pusat.
*Cahaya matahari pagi Jakarta yang kejam menerobos masuk melalui jendela kaca floor-to-ceiling* di kamar utama penthouse lantai 45 itu. Bagi warga Jakarta biasa, cahaya itu menandakan dimulainya hari baru penuh harapan. Bagi Aditya Wiranagara, cahaya itu terasa seperti lampu interogasi polisi yang memaksanya bangun dari mimpi buruk.
Aditya mengerang pelan. Dia mencoba berguling ke sisi kanan kasurnya, namun tubuhnya segera mengirimkan sinyal penolakan keras.
Rasa sakit yang tajam meledak di rusuk kanannya, menjalar naik ke bahu. Rasanya seolah-olah Makhluk Batu dari Merapi yang ia lawan lima jam lalu masih ada di sini, sedang menggunakan tubuh Aditya sebagai alas kaki.
"Oke," bisik Aditya pada langit-langit kamar. "Jangan bergerak tiba-tiba. Bernapas saja sakit."
Dia memaksakan diri untuk duduk, lalu menatap kedua tangannya yang gemetar.
Di KTP-nya, dia hanyalah Aditya Wiranagara, seorang miliuner muda yang beruntung. Tapi di dalam darahnya, mengalir sumpah yang jauh lebih tua dari gedung pencakar langit mana pun di kota ini.
Dia adalah Senja Garda.
Sebuah gelar yang diwariskan turun-temurun dalam keluarga Wiranagara, meski dunia tidak pernah tahu. Tugasnya sederhana namun mematikan: Berdiri di ambang batas. Menjadi tembok pemisah antara "Siang" (Dunia manusia yang logis dan modern) dan "Malam" (Dunia mistis, artefak kuno, dan entitas yang seharusnya tetap terkubur).
Tugas Senja Garda bukan untuk menaklukkan dunia, tapi untuk memastikan masa lalu tidak bangkit dan memakan masa depan.
"Tugas yang mulia," gumamnya sarkas. "Sayang sekali bayarannya cuma sakit pinggang."
Aditya menyeret kakinya menuju cermin besar. Di balik cermin itu, berdiri seorang pemuda berusia 23 tahun yang tampak seperti karya seni yang dirusak.
Wajahnya memiliki struktur yang tegas—rahang yang kuat dan hidung mancung—warisan genetika unggul keluarga Wiranagara. Namun, ketampanan itu tertutup oleh kelelahan yang kronis. Kulitnya yang kuning langsat tampak pucat pasi, kontras dengan rambut hitamnya yang agak gondrong dan berantakan artistik, basah oleh keringat dingin sisa tidur.
Matanya adalah bagian yang paling menceritakan kisah hidupnya. Mata itu hitam legam, tajam, dan observant, namun di bawahnya terdapat lingkaran hitam tebal—"mata panda" permanen yang menjadi saksi bisu betapa jarangnya ia tidur nyenyak. Tatapannya kosong, jenis tatapan orang yang sudah melihat terlalu banyak hal yang seharusnya tidak dilihat manusia biasa.
Aditya menurunkan pandangannya ke tubuhnya. Fisiknya bukan tipe binaragawan yang bulky hasil gym mahal. Tubuhnya lean muscular—otot kering dan padat, dibentuk oleh latihan silat bertahun-tahun dan keharusan untuk bergerak cepat menghindari kematian. Namun, torso atletis itu kini penuh dengan memar ungu, biru, dan goresan merah. Sebuah peta penderitaan yang ia sembunyikan dari dunia.
"Kau terlihat menyedihkan, Pelindung Nusantara," ejeknya pada diri sendiri.
Dia mengambil kemeja linen putih lengan panjang untuk menutupi perban di tubuhnya. Dia mengenakan kemeja itu perlahan, menahan napas setiap kali mengangkat tangan, lalu menyemprotkan parfum Tom Ford sebanyak mungkin ke leher dan pergelangan tangan.
*Hasilnya? Wangi Oud Wood* mewah bercampur kunyit pasar. Baunya sekarang seperti dukun yang baru pulang dari Paris Fashion Week.
"Cukup bagus," putusnya.
Dia harus terlihat rapi. Dia harus terlihat normal. Karena musuh berikutnya yang harus dia hadapi bukanlah monster, melainkan kakaknya sendiri.
Ruang makan penthouse Wiranagara didesain untuk mengintimidasi, bukan untuk kenyamanan keluarga. Meja marmer hitam sepanjang tiga meter mendominasi ruangan, dingin dan kaku.
Di ujung meja, duduklah Arya Wiranagara. Sang CEO Wiranagara Group itu adalah definisi dari kesempurnaan yang menakutkan.
Di usia 28 tahun, Arya memiliki aura otoritas yang membuat orang dua kali lipat usianya menunduk hormat. Fisiknya tinggi tegap, posturnya selalu tegak sempurna bahkan saat duduk. Rambutnya dipotong model undercut rapi, disisir klimis ke belakang dengan pomade mahal tanpa ada satu helai pun yang berani keluar jalur.
Wajah Arya mirip dengan Aditya, tapi versi "High Definition" yang lebih terawat dan lebih dingin. Kulitnya bersih tanpa noda, hasil perawatan dermatologi rutin. Matanya dibingkai oleh kacamata frameless tipis yang justru menambah kesan intimidatif dan cerdas. Tidak ada lingkaran hitam di bawah matanya; Arya tidur efisien, makan efisien, dan hidup efisien.
Saat ini, dia mengenakan setelan three-piece suit lengkap dengan rompi navy blue dan dasi sutra, padahal ini baru jam tujuh pagi dan mereka berada di rumah sendiri. Di pergelangan tangannya, jam Patek Philippe berkilau terkena sinar matahari.
Arya sedang membaca berita saham di tablet transparannya, tangan kanannya memegang cangkir espresso dengan anggun.
Aditya menarik kursi di ujung meja yang berlawanan. Dia duduk pelan-pelan, menahan napas agar tidak meringis kesakitan.
"Kau pincang," suara bariton Arya memecah keheningan tanpa mendongak dari tabletnya.
Aditya membeku. "Kakiku kesemutan. Salah posisi tidur."
Arya akhirnya menurunkan tabletnya. Tatapannya dingin, tajam, dan analitis. Dia menatap adiknya, lalu hidungnya berkerut sedikit.
"Dan bau itu..." Arya mengendus udara dengan jijik yang sopan. "Apakah kau baru saja bergulat di pasar rempah tradisional? Atau kau mencoba parfum baru bernama 'Eau de Dukun'?"
"Ini Minyak Boreh Nenek, Mas. Buat relaksasi otot," jawab Aditya datar, mengambil sepotong roti.
"Aku lebih suka relaksasi dengan melihat grafik saham hijau, terima kasih," balas Arya ketus.
Suara denting garpu Aditya menyentuh piring terdengar terlalu keras di ruangan sunyi itu.
"Bicara soal saham," Arya meletakkan tabletnya dengan keras. "Aditya, ada yang ingin kau jelaskan tentang laporan pagi ini?"
Aditya menelan rotinya susah payah. "Laporan apa? Cuaca?"
"Laporan aset," potong Arya. "Satu unit Drone Pengintai Tipe-G senilai lima miliar rupiah dari divisi R&D dilaporkan 'hilang sinyal dan mengalami kegagalan sistem katastropik' di Merapi semalam."
Arya menatap adiknya lurus-lurus.
"Lima. Miliar. Rupiah. Meledak dalam semalam. Kau pikir uang tumbuh di pohon beringin yang kau panjat itu?"
"Itu bukan ledakan sia-sia, Mas," koreksi Aditya pelan. "Drone itu mengorbankan diri demi menahan entitas yang bisa meratakan satu desa."
"Aku tidak peduli dia menyelamatkan desa atau planet," desis Arya. "Yang aku pedulikan adalah neraca perusahaan. Kau tahu saham Wira-Mining turun 0,8% pagi ini karena rumor aktivitas ilegal di area tambang kita?"
Arya memijat pelipisnya.
"Dengar, Adit. Ayah memberimu akses ke Arsip dan Gudang Senjata. Tapi kau tidak punya jabatan operasional di perusahaan ini. Kau hanya pemegang saham pasif. Dividenmu memang besar, tapi bukan berarti kau bisa membakar aset perusahaan sesuka hati."
"Aku akan ganti," potong Aditya. "Potong saja dari dividen bulan depan."
"Bukan soal uangnya!" bentak Arya, nada suaranya meninggi. Di balik kemarahannya, ada gurat kekhawatiran yang samar. "Kau itu aset keluarga. Kalau kau mati konyol di hutan, siapa yang akan meneruskan garis Wiranagara? Aku butuh adik yang hidup, bukan martir."
Interaksi pagi itu kembali dingin. Dua saudara yang duduk di satu meja, tapi dipisahkan oleh tembok tebal. Yang satu menjaga angka, yang satu menjaga nyawa. Dan keduanya sama-sama keras kepala.
👉👉👉
luar biasa!!!
tak kirimi☕semangat💪
💪💪💪thor
jodoh ya thor🤭
makhluk luar angkasa, bukan makhluk halus🤭
💪💪💪adit
tp yakin sg bener tetep menang
was", deg"an, penasaran iki dadi 1
💪💪💪dit
jar, ojo lali kameramu di on ke
💪💪💪 dit