Kisah ini berasal dari tanah Bugis-Sulawesi yang mengisahkan tentang ilmu hitam Parakang.
Dimana para wanita hamil dan juga anak-anak banyak meninggal dengan cara yang mengenaskan. Setiap korbannya akan kehilangan organ tubuh, dan warga mulai resah dengan adanya teror tersebut.
Siapakah pelakunya?
Ikuti Kisah selanjutnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti H, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mata Tajam
Sementara itu, dikediaman rumah Puang terlihat duka yang mendalam. Jasad Upe sudah dimakamkan malam ini juga, sebab tak dapat juga dilamakan, karena kondisi yang sangat miris.
Warga mulai cemas dengan keadaan yang ada. Dimana, saat ini kampung mereka sudah tidak aman lagi, sebab pemilik ilmu hitam Parakang sudah kembali.
"Mungkin bukan parakang, bisa saja dimakan hewan buas, sebab kita temukan dihutan," salah satu warga mencoba menyangkal pendapat warga.
"Hewan buas apa yang ada di Sulawesi? Beruang kuskus, Anoa? Mereka herbivora, tidak makan daging. Sedangkan ular phyton, korban pasti dibelit dan ditelan." salah satu warga menyela.
"Kalau buaya, pasti jasadnya juga sudah didalam perut hewan tersebut, dan tidak juga menghisap darah, sebab buaya bukan drakula, maka hewan-hewan tersebut bukan menjadi pelakunya," ketua adat bernama Wellang menyahut.
"Tapi maaf, Datuk. Di sungai Saddang ini terkenal dengan buaya yang berukuran besar, bisa jadi Upe dimangsa buaya," berbagai pendapat dilontarkan, ada yang pro dan ada yang kontra, tetapi semua memberikan analisanya sendiri.
Seluruh warga semakin cemas. Mereka terlihat semakin gelisah, sebab isu parakang tentu membuat mereka tidak nyaman.
"Bagaimana kita harus melawannya?" warga yang lainnya tampak semakin gelisah.
"Kita adakan ronda malam secara bergiliran, kita harus menjaga kampung ini agar tetap aman," Wellang mengintruksikan kepada warganya.
"Baiklah, kita atur saja bagaimana baiknya," warga setuju dengan usulan sang ketua adat yang mereka anggap harus dipatuhi.
****
Hari terlihat sudah siang. Daeng Cenning keluar dari kamarnya. "Sayang, Iaq' pergi bekerja, ya." pria itu mengecup kening sang istri dengan lembut.
Ia membawa bekal yang dimasak oleh Daeng Cenning, dan kali ini ada sambal hati plus telur.
"Hati-hati ya, Lakkai," ucapnya dengan senyum semanis madu, dan hal itu pula yang membuat Enre tak dapat melepaskan Daeng Cenning, meskipun keluarganya tidak ada yang setuju dengan pernikahan mereka, ditambah lagi sang istri adalah seorang yatim piatu yang tidak tahu asal usul keluarganya.
Pria itu menganggukkan kepalanya, lalu berjalan menuju teras, tempat dimana ia memarkirkan motornya.
Ia akan pergi menambang pasir dan itu adalah pekerjaannya, yang mana mengambil upahan dari sang pemilik usaha, baginya dapat memenuhi kebutuhan hidup Daeng Cening adalah hal yang membahagiakan untuknya.
Setelah Enre pergi meninggalkan rumah, wanita itu menuju keluar teras, lalu menatap jalanan desa yang sangat banyak dilalui oleh warga. Ia sedang menunggu penjaja sayur mayur dan bumbu yang biasanya setiap pagi selalu lewat dari depan rumah.
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Dimana pedagang sayur yang telah lama ditunggunya datang melintas. Namun seorang wanita yang sedang hamil tua dan berada tepat diseberang jalan yang mendiami sebuah rumah mewah memanggilnya.
Mereka tak lain adalah penusaha tambang emas yang menambang sama disungai saddang, bersebelahan dengan tambang pasir tempat Enre bekerja.
Karena merupakan seorang saudagar kaya raya, wanita bernama Ella itu sangat jarang sekali keluar, dan Daeng Cenning juga baru kali ini melihatnya.
Wajahnya sedikit sinis dan tidak begitu mau bergaul, karena menganggap dirinya orang yang harus dihormati dan tidak selevel dengan para emak-emak yang ada disekitarnya, kecuali sesama penambang emas
Daeng Cenning berjalan menyeberang, ia juga ingin membeli sayur dan juga ikan segar.
Ella merasa tidak senang jika tetangga barunya itu harus ikut membeli didepan rumahnya, ia memasang wajah sinis.
"Anja', bbéréka juku tellu banna sibawa kacang tellu banna (Bang, beri setengah kilo ikan dan kacang setengah kilo)," pesan Daeng Cenning pada sang abang penjual sayur.
"Iyye', Dik. aga bumbu laingngé maélo' nabeli? (Iya, Dik. Apa bumbu lain ada yang mau dibeli?" tanya sang penjual sayur dengan sangat ramah.
Daeng Cenning menganggukkan kepalanya. Lalu menarik beberapa kantong kresek yang digantungkan dengan beberapa bumbu dapur yang hampir memenuhi gerobak si penjual.
Sementara itu, Ella semakin kesal karena sang penjual sayur terlalu ramah pada Daeng Cening.
"Hitung punya saya, Anja'" Ella menyodorkan daging ayam yang dibelinya, dan beberapa bumbu lainnya dengan wajah tidak ramah, hal itu yang membuat pedagang sayur membatasi ucapannya pada sang pelanggan, sebab takut ada yang salah.
"Ya," sang pedagang lalu menghitung dengan cepat, dan menyebutkan nominalnya.
"Ini uangnya, Anja'. Tolong segera pergi dari depan pagar rumah saya!" ucap Ella dengan kasar, sembari melirik ke arah Daeng Cenning yang sedang memegang belanjaannya.
Seketika wanita itu merasa sangat tersinggung, sebab itu terlalu kasar.
Sesaat ia melirik ke arah perut Ella dengan tatapan yang tajam, ia tahu, jika disana terdapat sesuatu yang sangat begitu manis, dan tentunya membuat air liur Daeng Cenning seolah akan keluar.
Ella yang ditatap seperti itu membalas dengan tak kalah tajamnya. "Apa tatap saya seperti itu? Kamu orang pendatang jangan belagu dikampung orang!" ucap Elka dengan sangat kasar, lalu mengambil kembalian uangnya dengan cepat, dan bergegas pergi meninggalkan pedagang sayur, lalu mengunci pintu pagar rumahnya dengan sedikit bantingan yang menimbulkan suara berdenting.
Daeng Cenning dan pedagang sayur hanya saling pandang, dan keduanya mempercepat jual beli dan pergi meninggalkan depan rumah Ella yang terkenal.dengan angkuh dan sombong.
Setelah selesai, Daeng Cenning kembali ke rumahnya. Saat bersamaan, ia berpapasan dengan seorang warga desa yang sedang menggiring tujuh ekor sapi untuk dibawa merumput ke lokasi hutan, dan saat sore hari akan ia ambil kembali.
Sapi-sapi tersebut sangat gemuk dan juga segar, membuat Daeng Cenning tak lepas memandanginya hingga sang peternak itu pergi menjauh.
Wanita muda itu tersenyum misterius, lalu bergegas masuk ke dalam rumahnya.
Sementara itu, Enre sudah tiba dilokasi tambang. Ia bekerja dengan seorang penambang kaya raya, dan tugasnya adalah menaikkan pasir ke atas mobil yang sudah menunggunya.
Baginya, seberat apapun pekerjaannya, itu semua tak ia hiraukan, sebab membuat Daeng Cenning tersenyum setiap hari adalah obat yang paling mujarab untuk menghilangkan rasa lelahnya ditambah lagi sang istri yang sangat agresif saat diatas ranjang, hal itu membuat cintanya semakin besar dan bersemangat diatas ranjang.
Setelah selesai satu truk besar, Enre beristirahat sejenak, sembari menunggu mobil lainnya mengantri.
Ia menyulut sebatang rokok untuk menambah tenaganya yang hampir hilang.
Baru saja satu sesapan, tiba-tiba sang mandor datang dengan tatapan yang tak senang.
"Kamu itu Makkareko singkedde, aja' mumammekko! (Kamu itu kalau kerja yang benar, jangan kebanyakan santai!" hardik pria tersebut dengan kasar.
Sontak saja hal itu membuat Enre tersentak kaget. Ia beranjak bangkit, dan memilih untuk menahan emosinya, lalu menuju mobil yang baru saja datang.
Andai saja ia tak membutuhkan pekerjaan, maka sudah dipastikan ia akan menendang sang mandor saat ini juga. Ia memilih bersabar, sembari mencari pekerjaan lainnya.