Zara adalah gambaran istri idaman. Ia menghadapi keseharian dengan sikap tenang, mengurus rumah, dan menunggu kepulangan suaminya, Erick, yang dikenal sibuk dan sangat jarang berada di rumah.
Orang-orang di sekitar Zara kasihan dan menghujat Erick sebagai suami buruk yang tidak berperasaan karena perlakuannya terhadap Zara. Mereka heran mengapa Zara tidak pernah marah atau menuntut perhatian, seakan-akan ia menikmati ketidakpedulian suaminya.
Bahkan, Zara hanya tersenyum menanggapi gosip jika suaminya selingkuh. Ia tetap baik, tenang, dan tidak terusik. Karena dibalik itu, sesungguhnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zenun smith, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Erick Yang Katanya Pulang
Setelah menutup telepon, Zara duduk di kursinya. Mila yang baru saja memarkir motornya dan masuk ke kantor, langsung menghampirinya.
"Tadi yang nelpon suami mu? Gimana tanggapannya?" tanya Mila.
Zara hanya tersenyum simpul, kemudian menyandarkan punggungnya. "Dia menyuruhku resign hari ini juga."
"APA?! Alasannya apa? Kalau alasannya hamil kan ada kebijakan kantor yang mengatur hal itu."
"Selain hamil, ada juga alasan lain. Suamiku bilang barusan aku ngelanggar kesepakatan, karena teleponnya gak keangkat pas di jalan."
Mila menggebrak meja kecil di dekat mereka pelan, berusaha menahan suaranya agar tidak menarik perhatian. "Dia bilang kamu melanggar kesepakatan? Please, Ra! Kamu lagi di jalan, naik motor. Mana ada orang angkat telepon sambil motoran. Posesif banget suami kamu. Terus kamu beneran resign?"
"Iya, aku akan ajukan sekarang juga," jawab Zara sambil meraih tasnya, mencari berkas-berkas penting yang harus dia siapkan. "Aku sudah janji sama dia. Dan aku juga nggak mau ambil risiko pas hamil gini naik motor terus. Lagi pula, dia akan pulang sore ini, kita mau ke dokter bareng."
Senyum Zara kembali mengembang, "Ini kan yang aku tunggu-tunggu, La. Dia pulang, dia khawatir, dia mau kita periksa bareng. Itu artinya dia peduli dan bahagia. Soal kerjaan, itu cuma sampingan. Prioritasku memang Erick dan anak kami."
Mila menggelengkan kepala, namun melihat ketenangan dan keyakinan di mata Zara, ia tahu perdebatan itu akan sia-sia. Ia telah mencoba seperti ini berkali-kali, namun Zara selalu punya cara untuk membenarkan suaminya, selalu punya cara untuk melihat sisi positif dalam setiap batasan yang diberikan Erick. Mila menduga, itu adalah cara Zara untuk melindungi hatinya sendiri. Ia menciptakan kebahagiaannya sendiri dengan menerima kenyataan tanpa perlawanan. Sebagai teman ia hanya bisa mensupport keputusan Zara.
"Baiklah, Ra. Kalau itu yang bikin kamu bahagia. Tapi janji sama aku, kamu harus lebih sering telepon aku, ya. Jangan sampai dia juga larang kamu punya teman ngobrol."
"Tentu, La."
...****...
Hari pun beranjak sore, jam kerja telah selesai dan tibalah karyawan pulang ke rumah masing-masing untuk beristirahat.
Zara pulang bersama dengan Mila, berangkat bareng pulang ya bersama lagi. Mila tak banyak komentar kali ini, dia tidak mampir dulu karena Zara memang ada ketemu dengan suaminya yang katanya pulang sore ini. Tapi tadi saat sampai rumah Zara, tidak ada mobil suaminya nampak. Mila hanya Mendengus, dan bergumam dalam hati, paling ngaret lagi terus bilang gak bisa pulang. Heran sama Zara, gak kepikiran lakinya selingkuh apa ya. Begitu kata hatinya sebelum meninggalkan depan rumah Zara.
Kini Zara yang sudah dijanjikan Erick bahwa laki-laki itu pulang ke rumah hari ini, lantas bergegas berbenah diri maupun rumah. Kondisinya yang hamil tidak membuat dirinya manja, karena memang ia tidak merasakan gejala seperti kebanyakan orang. Mual, lemas, atau apalah itu, Zara belum merasakannya. Mumpung badan masih bisa diajak kompromi, jadilah Zara beraktivitas seperti biasanya, terlebih menyiapkan kenyamanan untuk Erick.
Erick suka rumah yang tertata rapi dan bersih, tentu Zara menyediakan itu. Erick suka dengan masakan sederhana, semacam satu lauk namun dimasak dengan penuh cinta, tentu sekarang Zara ingin menyiapkan itu.
Mengesampingkan lelah, Zara membuat satu menu lauk kesukaan Erick. Erick bilang, jika suami istri terkikis oleh jarak yang yang jauh, bahkan beda negara, ketika pulang yang diarah adalah masakan istri. Itu yang membuat kangen dan selalu ingin pulang. Belajar masak ya Zara, buat aku, biar aku selalu ingat rumah. Begitu perkataan Erick yang sampai saat ini masih diingat baik-baik oleh Zara.
Satu menu sudah siap, asapnya yang mengepul menguarkan aroma yang menggelitik perut. Zara makannya nunggu Erick pulang, biar makannya bareng. Eh ngomong-ngomong pulang, Erick sampai saat ini belum ada tanda-tanda kemunculannya.
Kemana dia? Jangan bilang...
Hp Zara berdering ada panggilan. Dilihat itu rupanya panggilan dari Erick yang Zara namakan My Dear.
"Hallo, Mas. Kok belum sampai juga?"
"Nah itu dia. Aku telpon mau ngabarin kamu kalau aku kayanya gak bisa pulang hari ini. Maaf banget ya sayang."
Memangnya kenapa Mas? itu adalah pertanyaan umum yang dilontarkan ketika suami bilang tidak bisa pulang hari ini. Tapi Zara tidak menanyakan itu, dia sudah tahu jawabannya. Maka yang dia lontarkan adalah situasinya sekarang, mencoba memahami.
"Oh gak jadi balik. Yaudah gapapa, asal kamu bilang, aku gak kepikiran. Aku ke klinik sendiri aja berarti ya, gak usah nunggu kamu. Atau mau gimana?"
"Jangan sendiri juga, Zara. Ajak teman kamu ya, yang perempuan. Pokoknya jangan sendirian."
"Iya Mas. Kamu udah makan belum?"
"Belum. Aku lagi gak nafsu makan. Tapi, gak tau kenapa kepengen makan Bakso Tongseng."
Zara sedikit tertegun mendengar jawaban Erick. Bakso Tongseng? Padahal dia sudah susah payah membuat masakan kesukaan Erick, yang asapnya saja masih mengepul di dapur.
"Bakso Tongseng? Kenapa nggak bilang dari tadi, Mas? Padahal aku udah masak lauk kesukaan kamu lho. Baru matang malah."
Erick tertawa kecil di seberang telepon. Tawanya terdengar aneh, seperti menahan sesuatu.
"Ah, masakan kamu pasti enak banget, Sayang. Tapi entah kenapa lidahku lagi ngidam Bakso Tongseng. Besok ya aku janji makan masakan buatan kamu sampai habis, oke? Udah ya, aku tutup dulu, mau lanjut kerja lagi. Love you, Sayang."
"Oke, Mas. Love you too. Hati-hati ya," balas Zara pelan, sembari menatap sendu lauk yang sudah tersaji di meja makan. Niatnya makan malam berdua harus tertunda lagi.
Baru saja Zara meletakkan ponselnya, ia mendengar suara ketukan pelan di pintu depan. Siapa malam-malam begini? Apakah Mila kembali? Tapi Mila bilang dia langsung pulang.
Saat ia berjalan ke arah pintu, ponselnya kembali berdering. Panggilan dari My Dear.
"Mas, kenapa telepon lagi? Ada yang ketinggalan?" tanya Zara begitu menjawab telepon.
"Zara, coba kamu buka pintu depan sekarang."
Zara mengerutkan kening. Ia sudah berada tepat di depan pintu. Perlahan tangannya meraih kenop dan memutarnya.
Klik.
Pintu terbuka. Dan di sana berdiri Erick dengan senyum lebar dan tatapan mata penuh rasa bersalah, namun juga bahagia. Di tangannya ada bungkusan kecil berisi makanan.
"SURPRISE!" seru Erick, sedikit tertawa melihat ekspresi terkejut Zara yang tidak bisa disembunyikan.
"Mas! Ya ampun! Kamu... kamu ngerjain aku ya!"
Tanpa menunggu lama, Zara menyongsong suaminya. Ia meraih punggung tangan Erick lalu mengecupnya dalam-dalam. Rasa rindunya tidak terpuaskan hanya dengan itu. Ia mendongak, menatap lekat mata suaminya, dan mendaratkan satu kecupan singkat di bibir Erick.
Erick tidak membalas kecupan itu dengan ciuman yang lebih dalam seperti biasanya. Ia hanya menangkup wajah istrinya, dan mencium kening Zara begitu dalam dan sangat lama.
"Aku kangen banget, Sayang," bisik Erick, suaranya sedikit serak.
Saat Erick menarik wajahnya, pandangan Zara jatuh pada tangan kiri suaminya yang ternyata sedikit terbungkus. Di telapak tangannya rupanya ada sedikit goresan luka merah yang tampak baru.
"Mas, tangan kamu luka. Aku obatin dulu ya."
Erick tersenyum tipis. "Terima kasih ya, Sayang. Kamu memang terbaik." Zara tersenyum lebar. Hatinya benar-benar senang jika Erick menerima perhatian darinya. Laki-laki itu selalu mengapresiasi setiap hal kecil yang ia lakukan.
Erick kemudian meletakkan tas dan bungkusan makanan yang ternyata dibawanya. Ia berlutut di depan Zara, sejajar dengan perut istrinya yang masih rata.
"Halo anak Papa, sehat-sehat di perut Mama ya, Nak. Bentar lagi Papa bakal nengokin kamu," ujar Erick sembari mengelus perut Zara dengan penuh kasih sayang.
"Emangnya boleh ya, Mas, ditengokin? Bukannya masih rawan, kan ini trimester pertama?"
Erick bangkit, lalu mencubit hidung Zara gemas.
"Dih, bukan nengok yang itu. Tapi kita mau USG, biar bisa lihat baby kita di layar. Aku sudah atur jadwal besok pagi. Hari ini kita istirahat dulu."
Zara ber Oh ria, tekekeh dan malu sedikit karena salah paham. Dikiranya tengokin yang gimana. Eh rupanya USG.
"Kamu istirahat dulu ya. Aku mau mandi." pamit Erick.
Saat mengucapkan kalimat itu, pandangan mata Erick sempat tersirat tentang sesuatu keadaan, seakan-akan dia merasa masih kotor dan belum pantas untuk menyentuh Zara lebih jauh sebelum membersihkan diri. Ia kemudian bergegas menuju kamar mandi.
Erick selalu merasa kotor ketika dalam keadaan seperti ini. Tapi sesungguhnya...dia tidaklah kotor.
.
.
Bersambung.
Yaaa tapi kan hukum di negeri enih bisa dibeli 😌
jelas bikin perut keram
aku gak punya madu aja sering keram, gara dongkol hati ini 😁😁😁
jadi curhat nih