Hujan tak pernah berhenti di Desa Waringin.
Sudah tiga puluh tahun, langit di atas desa itu selalu kelabu — dan setiap kali petir menyambar, satu orang akan lenyap begitu saja.
Penduduk hidup dalam ketakutan, tapi juga dalam penyangkalan. Mereka menanam bunga di kuburan kosong, berpura-pura tak tahu bahwa tanah di bawah mereka haus darah.
Suatu malam, Rendra, seorang fotografer urban legend, datang ke desa itu mencari adiknya yang terakhir kali mengirim pesan dari sana sebelum hilang.
Namun sejak langkah pertamanya, ia disambut aroma besi dari air hujan, wajah-wajah tanpa ekspresi, dan anak kecil yang berkata lirih:
“Kalau hujannya merah, jangan keluar, Kak.”
Semakin Rendra menggali, semakin ia sadar bahwa hujan di desa itu bukan anugerah — tapi kutukan dari darah ratusan korban ritual pengorbanan yang disembunyikan pemerintah desa dulu.
Dan di balik semua itu, “Yang Basah” menunggu…
Menunggu darah baru untuk menggantikan yang lama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Nuraida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11 — Aroma Besi di Pagi Hari
Rendra tersentak bangun. Bukan karena alarm atau suara. Ia terbangun karena keheningan.
Ia tidak lagi berada di dalam Sumur Tua, tempat ia melompat beberapa jam lalu. Ia berada di kamarnya yang lembap di penginapan, terbaring di atas tikar basah, di balik pintu kayu yang terkunci. Seluruh tubuhnya sakit, dingin, dan kaku.
Rendra duduk, napasnya tersengal. Ia menyentuh kepalanya. Tidak ada luka. Lalu ia melihat sekeliling. Kamar itu gelap, tetapi di luar jendela, cahaya pagi kelabu berusaha masuk, menyaring hujan yang masih turun.
Ia memeriksa tubuhnya. Jaketnya, celananya, semuanya kering. Kameranya tergeletak di sampingnya, juga kering.
Itu hanya mimpi? Ia bertanya pada dirinya sendiri, rasa lega yang tipis namun segera digantikan oleh horor.
Jika itu mimpi, mengapa ia merasakan dinginnya air yang mematikan? Mengapa ia bisa mengingat dengan jelas suara tangisan Laras yang menusuk, dan bisikan Rani yang dingin?
Rendra beranjak, tubuhnya berderak. Ia berjalan ke jendela. Tulisan yang dibuat Rani dengan cairan kemerahan—**“AKU ADIKMU, KAK”—**sudah hilang. Dicuci oleh hujan.
Namun, saat Rendra menyentuh baju yang ia kenakan—baju yang ia yakini kering—ia merasakan sesuatu yang aneh.
Bajunya basah. Basah kuyup. Terutama di bagian punggung.
Dan bukan hanya basah oleh air. Bau itu. Bau yang membuat perutnya mual, bau yang paling ia takuti: aroma besi yang sangat pekat, darah yang telah dingin.
Ia telah ditarik keluar dari Sumur Tua oleh kekuatan tak dikenal, di tengah hujan merah semalam. Dan Yang Basah telah meninggalkannya dengan peringatan.
Rendra membuka pintu kamar dan melangkah keluar.
Desa Waringin lumpuh.
Jalanan yang biasanya sepi, kini benar-benar kosong. Tidak ada suara kokok ayam, obrolan samar, atau bahkan tangisan bayi. Hanya suara hujan monoton yang beradu dengan genangan air merah pekat di mana-mana.
Rendra berjalan menuju Sumur Tua. Batu penutupnya telah kembali ke posisi semula. Tertutup rapat. Tidak ada bekas lumpur atau rantai yang putus. Seolah-olah peristiwa semalam tidak pernah terjadi. Sumur itu tampak hening, dingin, dan mematikan.
Ia melihat ke sekeliling lapangan. Ia mencari bekas-bekas hujan merah.
Di tempat-tempat yang tidak bisa dijangkau oleh air hujan pagi yang lebih encer, ada noda tebal berwarna merah gelap, menempel di dinding kayu dan akar pohon. Di halaman rumah kepala desa, di mana penduduk semalam menangis histeris, ada genangan yang airnya berwarna seperti darah encer.
Rendra melangkah ke area yang lebih terbuka. Di sana, ia melihat pemandangan yang membuat darahnya mengering.
Di teras Balai Desa—tempat lonceng tua berada—seluruh dinding kayunya tertutup coretan. Bukan coretan cat. Itu adalah tulisan yang dibuat dengan cairan kental, yang kini tampak seperti cat minyak berwarna merah kecokelatan yang mengering.
Rendra mendekat. Ia bisa merasakan kehangatan yang aneh dari cairan yang mengering itu.
Tulisan itu berbunyi:
“Tidak ada yang bisa pergi sampai yang terakhir dibayar.”
Di bawah tulisan itu, ia melihat ke tanah. Ada sisa-sisa bulu, dan bangkai ayam jantan. Ayam-ayam di Desa Waringin telah mati, kepala mereka terkulai, tubuh mereka basah oleh air merah.
Yang Basah tidak hanya menuntut darah manusia. Ia menuntut darah dari semua kehidupan di desa itu.
Desa itu dikarantina. Tidak ada yang diizinkan pergi. Mereka semua terperangkap dalam kutukan.
Rendra berlari menuju jalan utama—jalan yang ia gunakan untuk masuk ke Waringin. Setelah berlari selama beberapa menit, ia mendapati dirinya terhalang oleh pemandangan yang mengkonfirmasi ketakutannya.
Jalan tanah yang sempit itu telah ditutup sepenuhnya oleh tanah longsor besar. Tanah basah, pohon-pohon tumbang, dan batu-batu besar menimbun jalan. Tidak ada mobil atau pejalan kaki yang bisa lewat. Itu adalah tembok alamiah yang diciptakan oleh hujan abadi.
Rendra mencoba mencari jejak kaki atau bekas alat berat. Tidak ada. Tanah longsor itu terjadi secara alamiah, atau setidaknya, Yang Basah menggunakan alam untuk mengunci mereka di sini.
Ia kembali ke Balai Desa. Ia harus mencari Kepala Desa, Pak Darmo, atau Nyai Melati. Ia harus tahu apa maksud dari “yang terakhir dibayar.”
Rendra mencoba mengetuk pintu-pintu rumah warga. Tidak ada jawaban. Hanya keheningan yang dingin, dan suara air menetes dari genting. Desa itu benar-benar lumpuh, bersembunyi di balik dinding kayu mereka, menunggu giliran mereka untuk dipanggil oleh lonceng.
Rendra akhirnya mencapai rumah Pak Darmo. Pintu rumah Kepala Desa itu terbuka sedikit, tampak seperti mulut yang menganga. Rendra melangkah masuk.
Di dalam, rumah itu berantakan. Kursi terbalik, tasbih kayu Pak Darmo tergeletak di lantai, dan ada jejak lumpur kemerahan yang kental di lantai kayu.
Rendra mengira Pak Darmo sudah menjadi korban. Tapi ia melihat sebuah surat di atas meja, tertulis dengan tangan Pak Darmo yang gemetar.
[Surat Pak Darmo]
Nak Rendra,
Aku tahu kau berhasil keluar dari sumur. Dia membiarkanmu pergi. Dia ingin kau melakukan sesuatu. Jangan cari aku. Aku lari ke hutan. Aku terlalu takut menghadapi hujan darah itu. Aku takut menghadapi apa yang akan kami lakukan selanjutnya.
Dia (Yang Basah) benar. Kami harus membayar. Tapi kami tidak punya tumbal lagi. Kecuali…
Jangan biarkan dia mengambil Dimas. Dimas adalah anak orang yang menentang kami. Darahnya terlalu suci untuk ritual ini. Darahnya akan membuat Yang Basah semakin marah. Tolong, Nak Rendra, temukan Dimas. Dia ada di suatu tempat di rumahnya. Aku melihatnya semalam. Dia belum sepenuhnya menjadi bagian dari air.
Satu lagi. Sisa-sisa film ayahmu… jangan pernah mencucinya di sini. Dia akan tahu. Dia akan tahu apa yang disembunyikan Ayahmu.
Tolong… aku tidak mau Dimas menjadi tumbal.
P.D.
Rendra meremas surat itu. Pak Darmo telah melarikan diri, meninggalkan desa itu dalam kekacauan dan ketakutan. Dan yang lebih mengganggu: Dimas. Dimas belum sepenuhnya hilang.
Rendra membalik surat itu. Di baliknya, Pak Darmo menulis satu kalimat dengan huruf kapital yang besar:
“SEMUA ADALAH UTANG. DAN KITA AKAN MEMBAYAR DENGAN DARAH KETURUNAN.”
Rendra meninggalkan rumah Pak Darmo. Ia tahu tujuannya. Bukan mencari Pak Darmo yang pengecut, tapi mencari Dimas. Anak yang jiwanya masih berjuang melawan Yang Basah, dan anak yang kemungkinan besar akan menjadi tumbal berikutnya, "yang terakhir dibayar."
Saat Rendra keluar, ia melihat ke langit. Hujan masih merah, meski intensitasnya encer.
Di sudut matanya, ia melihat bayangan. Ia menoleh. Tidak ada siapa-siapa.
Tetapi di genangan air merah pekat di kakinya, Rendra melihat bayangannya sendiri.
Dan di balik bayangannya, berdiri bayangan yang lain. Jauh lebih tinggi, kurus, dan basah kuyup. Bayangan yang menatap langsung ke dirinya.
Yang Basah sedang mengawasinya.
Rendra menarik napas dalam-dalam, mencengkeram tasbih kayu di sakunya. Ia harus menemukan Dimas. Ia harus menggali lebih dalam, meskipun ia tahu, semakin ia menggali, semakin ia akan tenggelam dalam kebenaran yang mengerikan ini.