Berawal dari sebuah gulir tak sengaja di layar ponsel, takdir mempertemukan dua jiwa dari dua dunia yang berbeda. Akbar, seorang pemuda Minang berusia 24 tahun dari Padang, menemukan ketenangan dalam hidupnya yang teratur hingga sebuah senyuman tulus dari foto Erencya, seorang siswi SMA keturunan Tionghoa-Buddha berusia 18 tahun dari Jambi, menghentikan dunianya.
Terpisahkan jarak ratusan kilometer, cinta mereka bersemi di dunia maya. Melalui pesan-pesan larut malam dan panggilan video yang hangat, mereka menemukan belahan jiwa. Sebuah cinta yang murni, polos, dan tak pernah mempersoalkan perbedaan keyakinan yang membentang di antara mereka. Bagi Akbar dan Erencya, cinta adalah bahasa universal yang mereka pahami dengan hati.
Namun, saat cinta itu mulai beranjak ke dunia nyata, mereka dihadapkan pada tembok tertinggi dan terkokoh: restu keluarga. Tradisi dan keyakinan yang telah mengakar kuat menjadi jurang pemisah yang menyakitkan. Keluarga Erencya memberikan sebuah pilihan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sang_Imajinasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
Bulan Januari di Padang terasa panas dan lembap. Bagi kebanyakan mahasiswa tingkat akhir, ini adalah musim neraka. Musim di mana revisi skripsi terasa nggak ada habisnya dan dosen pembimbing mendadak jadi lebih susah ditemui daripada selebgram. Biasanya, Akbar juga bakal ikut stres massal. Tapi tahun ini, ada yang beda.
Rutinitasnya sekarang punya ritme baru. Pagi-pagi, setelah membantu ibunya menyiapkan warung, dia nggak lagi nongkrong nggak jelas atau main game. Dia langsung mandi, pakai kemeja paling rapi yang dia punya (yang nggak rapi-rapi amat juga sih), dan berangkat ke perpustakaan pusat universitasnya.
Perpustakaan yang dulu terasa kayak tempat angker yang bikin ngantuk, sekarang udah jadi markas besar keduanya. Di sinilah medan perjuangannya. Dia akan mencari meja di dekat jendela, mengeluarkan laptop tuanya dan tumpukan buku referensi. Dulu, melihat semua itu bikin dia pengen langsung rebahan aja. Sekarang? Dia melihatnya sebagai tumpukan bata. Setiap buku yang dia baca, setiap paragraf yang dia ketik, adalah satu bata yang ia pasang untuk membangun jembatan menuju Jambi.
"Kamu kok sekarang rajin sekali, Bar? Kesambet apa?" tanya Rian, teman seperjuangannya, saat mereka kebetulan papasan di rak buku.
Akbar cuma nyengir. "Lagi kejar setoran, Yan. Biar bisa cepet wisuda."
"Wisuda buat siapa sih emangnya?" goda Rian.
Akbar nggak menjawab, cuma senyum tipis. Dia nggak bisa cerita soal Erencya. Kisah mereka terlalu berharga untuk jadi bahan gosip di kalangan teman-temannya. Ini adalah rahasia yang memberinya kekuatan.
Tapi di tengah semua kesibukannya itu, ada satu jadwal lain yang nggak kalah penting: menunggu Pak Pos.
Setiap jam 11 siang, jam di mana biasanya petugas pos lewat di gang rumahnya, Akbar akan sengaja pulang dari kampus dengan alasan 'makan siang'. Ibunya sampai heran.
"Tumben kamu sekarang pulang makan siang terus," kata ibunya suatu hari. "Biasanya betah di kampus sampai sore."
"Lagi pengen makan masakan Ibu aja," jawab Akbar, sebuah alasan yang separuh benar.
Dia akan duduk di teras depan, pura-pura baca buku, tapi matanya awas memantau ujung gang. Hari pertama, nggak ada. Hari kedua, nihil. Hari ketiga, masih sama. Dia mulai sedikit cemas. Apa Erencya berubah pikiran? Apa suratnya nggak sampai?
Di hari kelima, saat dia hampir menyerah dan hendak kembali ke kampus, suara motor yang familiar berhenti di depan rumahnya. Seorang petugas pos turun dan memanggil namanya.
"Surat untuk Akbar!"
Jantung Akbar serasa berhenti berdetak. Itu dia. Amplop berwarna peach yang cantik, kontras banget dengan tagihan listrik atau brosur pinjaman online yang biasanya nyasar ke rumahnya. Di sana, tertulis alamatnya dengan tulisan tangan Erencya yang indah.
"Dari siapa, Bar? Pacar ya?" goda ibunya dari dalam warung.
Akbar cuma bisa cengengesan sambil buru-buru masuk ke kamar. Dia menutup pintu, menyandarkan punggungnya, dan menatap amplop itu sejenak. Benda ini udah menempuh perjalanan ratusan kilometer. Di dalamnya, ada kepingan hati Erencya.
Dengan hati-hati, dia membukanya.
Kak Akbar,
Surat pertamamu dari Padang sudah sampai! Aku senang banget sampai lompat-lompat di kamar...
Akbar tersenyum membaca antusiasme Erencya. Dia bisa dengan jelas membayangkan gadis itu kegirangan di kamarnya yang mewah.
...Kamu benar, Kak. Itu bukan beban, itu jembatan kita. Selesaikan jembatan itu, ya. Aku di sini akan sabar menunggu di ujungnya...
Kalimat itu. Sumpah, kalimat itu seperti bensin yang disiramkan ke api semangatnya. Selama ini, dia berjuang dalam diam, kadang bertanya-tanya apa semua ini sepadan. Tapi sekarang dia tahu. Di seberang pulau sana, ada seseorang yang percaya padanya, yang menunggunya, yang melihat perjuangannya sebagai sesuatu yang mulia. Dia tidak sendirian.
Hikmah-nya terasa begitu jelas. Terkadang, dukungan terbesar itu bukan datang dari orang-orang yang ada di sekitarmu setiap hari, tapi justru dari seseorang yang jauh, yang memilih untuk percaya padamu bahkan saat kau sendiri mulai ragu. Kepercayaan Erencya menjadi fondasi baru bagi tekadnya.
Ini pelajaran baru buatnya. Tentang tujuan. Dulu, tujuan skripsinya adalah 'lulus'. Sekarang tujuannya adalah 'Erencya'. Dan tujuan yang didasari oleh cinta ternyata punya kekuatan seribu kali lebih besar.
Malam itu, setelah selesai membaca surat Erencya untuk yang kelima kalinya, Akbar membuka laptopnya. Dia menatap halaman skripsinya. Tapi kali ini, tidak ada lagi rasa malas atau bosan. Yang ada hanya fokus. Jari-jarinya mulai menari di atas keyboard, mengetik dengan kecepatan dan kelancaran yang sudah lama tidak ia rasakan.
Dia menulis sampai larut malam, ditemani secangkir kopi dan bayangan senyum Erencya. Setiap kalimat yang ia selesaikan, setiap sumber yang ia kutip, terasa seperti sebuah kemenangan kecil. Dia sedang membangun jembatannya, bata demi bata, kata demi kata.
Sebelum tidur, dia mengambil selembar kertas baru. Sudah waktunya membalas surat sang supporter nomor satunya.
Erencya,
Suratmu sampai. Dan kamu nggak akan percaya seberapa besar efeknya. Rasanya kayak superhero yang baru dapat kekuatan super. Seharian ini aku ngetik skripsi non-stop, dan nggak terasa capek sama sekali. Kamu beneran supporter nomor satu.
Makasih udah percaya sama aku. Aku janji, aku akan bangun jembatan ini secepat dan sekokoh yang aku bisa.
Aku senang dengar keadaan di rumahmu mulai membaik. Terus jadi kuat ya. Aku tahu kamu bisa melewati ini.
Sekarang, aku harus balik lagi ke medan perjuanganku. Ada puluhan buku yang udah nunggu buat dibaca.
Jaga dirimu di sana.
Selalu,
Akbar.
Dia melipat surat itu, siap untuk dikirim besok pagi. Hubungan jarak jauh mereka kini punya ritme yang indah. Sebuah siklus penantian, kekuatan, dan perjuangan yang saling mengisi. Akbar di Padang, Erencya di Jambi. Terpisah oleh jarak, tapi disatukan oleh tujuan. Dan setiap surat yang mereka kirim adalah janji. Janji bahwa sejauh apa pun jarak memisahkan, hati mereka akan selalu berada di tempat yang sama.