Di balik kacamata tebal, kemeja kusut, dan sepatu bolongnya, Raka Arya Pratama terlihat seperti mahasiswa paling cupu di kampus. Ia dijauhi, dibully, bahkan jadi bahan lelucon setiap hari di Universitas Nasional Jakarta. Tidak ada yang mau berteman dengannya. Tidak ada yang peduli pada dirinya.
Tapi tak ada yang tahu, Raka bukanlah mahasiswa biasa.
Di balik penampilan lusuh itu tersembunyi wajah tampan, otak jenius, dan identitas rahasia: anggota Unit Operasi Khusus Cyber Nusantara,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahmad Taufik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Identitas Hampir Terungkap
Lorong itu pengap. Gelap. Udara basah bercampur bau kabel terbakar dan logam tua. Langkah kaki Raka nyaris tak berbunyi, menyatu dengan suara detak lembut dari alat pernapasan ringan di balik maskernya.
Ia membuka pintu kecil di sisi bawah tanah gedung teknik, pintu yang terkunci rapi di balik panel listrik palsu. Tak ada tanda-tanda bahwa tempat ini pernah digunakan secara resmi. Bahkan dalam denah digital kampus—arsip pemerintah sekalipun—lorong ini tidak terdaftar.
Tapi sinyal aneh yang ia lacak dua hari terakhir berasal dari sini.
> “Kampus... atau markas?” batinnya dingin.
Ia berjalan perlahan, mata memindai sekitar dengan bantuan cahaya tipis dari kacamata taktis yang menyala lembut dalam mode malam. Dinding-dinding beton telanjang dipenuhi kabel tua, sebagian besar terkelupas. Tapi ada satu kabel yang terlihat baru—dilapisi pelindung logam industri.
Ia mengikutinya.
Beberapa menit kemudian, lorong menyempit dan berujung pada pintu baja setinggi dua meter, tanpa pegangan, tanpa lubang kunci. Tapi Raka tahu caranya.
Ia menempelkan alat pemindai elektromagnetik ke sudut kanan pintu.
> [Frekuensi kontrol ditemukan — Membuka kunci.]
Pintu itu terbuka otomatis, meluncur masuk ke dinding. Udara dingin menyergap wajahnya.
Raka melangkah masuk.
Ruangan itu luas dan sepi, diterangi lampu LED putih kebiruan. Di dinding terpajang belasan monitor, sebagian menampilkan sistem lalu lintas kota, sisanya menayangkan peta jaringan komunikasi militer. Semua masih aktif.
Di tengah ruangan ada kursi berputar.
Seseorang duduk di sana, membelakangi Raka.
> Terlalu tenang. Terlalu rapi.
“Siapa kau?” tanya Raka pelan.
Tak ada jawaban.
Dengan gerakan cepat dan tenang, Raka mendekat, menarik pistol kejut dari saku dalamnya, dan menyentuh pundak sosok itu.
Kepalanya miring.
Sudah mati.
Pria paruh baya, berpakaian staf teknis, dengan darah mengering di kerah kemejanya. Tidak ada luka tembak. Tidak ada suara pertarungan. Hanya leher yang terpuntir secara profesional.
> Eksekusi bersih. Pembunuh profesional.
Tangannya masih menggenggam sebuah flashdisk merah. Raka mengambilnya dan segera menyalakan terminal di meja samping.
Namun saat ia menancapkan flashdisk itu—
Semua layar di ruangan mati.
Lalu satu layar besar menyala, menampilkan wajah buram dan suara terdistorsi:
> "Kau datang terlalu cepat, ‘Operator’. Tapi tidak cukup cepat untuk menyelamatkan yang sudah mati.”
Raka memicingkan mata.
> "Kampus ini cuma permukaan. Jakarta sudah jadi papan catur. Kau salah langkah."
> Klik.
Satu ledakan kecil meledak dari bawah meja. Raka langsung meloncat, menubruk tembok dan melindungi kepala. Percikan api membakar sebagian alat elektronik, tapi tidak menghancurkan ruangan. Hanya satu tujuan—menghapus jejak.
Raka berdiri perlahan, napasnya berat.
> “Mereka tahu aku datang. Ini bukan kasus kampus biasa. Ini jaringan besar.”
Ia mematikan semua sistem. Menghapus bekas akses. Dan menyimpan flashdisk merah dalam kompartemen aman di balik jaket dalamnya.
Waktunya pergi.
Pagi hari, kampus Universitas Nasional Jakarta.
Di kelas Mata Kuliah Wajib Nasional, mahasiswa berkumpul dengan wajah malas dan mata masih mengantuk. Suara kipas angin tua di langit-langit bersaing dengan suara dosen yang sedang membaca slide tentang UUD 1945.
Raka duduk di bangku paling belakang. Seperti biasa.
Kacamata tebalnya sedikit miring, rambutnya belum disisir dengan benar, dan ia mengenakan kemeja putih yang sudah agak menguning di kerah. Semua tampak seperti biasa—tapi hanya dia yang tahu, semalam ia nyaris mati.
> "Semua data sudah aman. Flashdisk disimpan. Laporan dikirimkan ke pusat. Sekarang... kembali jadi si bodoh."
Suara cekikikan muncul dari barisan tengah.
“Astaga, Raka, lu gak mandi ya?” suara itu milik Riyan, anak jurusan teknik yang lebih sibuk pamer sepatu daripada nilai. “Bau kayak kardus basah anjir.”
Tawa meledak dari kelompok mereka. Riyan menepuk bahu Raka keras-keras saat lewat.
“Kalau duduk dekat lu bisa nurun IQ, bro. Hati-hati loh, ntar dosen ikut bego.”
Raka hanya mengangkat alis, lalu memindahkan pandangan ke buku catatannya.
Tangannya tetap menulis dengan stabil—padahal sistem internal di kacamatanya sedang menganalisis suhu tubuh dan respons pupil Riyan. Hanya untuk catatan pribadi. Bukan balas dendam.
Belum.
---
Satu jam kemudian, kelas selesai. Raka keluar paling akhir. Ia tahu kalau keluar duluan, pasti kena senggol, kena ludah, atau kena tendang bangku secara "tidak sengaja".
Namun hari ini, bahkan langkahnya yang hati-hati pun tidak menyelamatkannya.
Di depan lorong kelas, dua mahasiswa duduk santai di kursi panjang. Yang satu, Bayu, mantan atlet basket SMA yang kini kerjaannya merokok dan pamer jam tangan. Yang satunya lagi, Alfan, suka rekam orang diam-diam lalu edit jadi meme.
Bayu pura-pura menjulurkan kakinya saat Raka lewat.
Raka tersandung.
Bukunya jatuh. Isinya berserakan. Tawa pecah seperti konser dadakan.
“Wah, hacker jatuh! Hacker jatuh!” seru Alfan sambil tertawa terpingkal-pingkal.
“Jangan-jangan dia lagi nge-hack wifi kantin,” kata Bayu sambil tertawa sinis.
Raka bangkit perlahan, memungut bukunya satu per satu. Wajahnya datar. Tidak marah. Tidak tersenyum.
> "Kalau saja kalian tahu apa yang terjadi tadi malam..."
Ia tidak mengucapkan satu kata pun, dan berjalan pergi.
---
📌 Di tempat lain, jauh dari hiruk-pikuk...
Di dalam ruang server milik otoritas kampus, salah satu teknisi menemukan bahwa salah satu kamera ruang teknis bawah tanah mengalami gangguan sinyal.
Namun sebelum dia melapor, ada email perintah masuk:
> “TIDAK ADA YANG PERLU DILAPORKAN. RUANG ITU DIBEKUKAN SEJAK 2021. ABAIKAN.”
Email itu ditandatangani oleh direktur IT kampus sendiri.
Namun nama pengirimnya... tidak tercatat di sistem.