Yang sudah baca novelku sebelumnya, ini kelanjutan cerita Brayn dan Alina.
Setelah menikah, Brayn baru mengetahui kalau ternyata Alina menderita sebuah penyakit yang cukup serius dan mengancam jiwa.
Akankah mereka mampu melewati ujian berat itu?
Yuk baca kelanjutan ceritanya 😊
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon omen_getih72, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2
Kurang dari 30 menit mereka telah tiba di rumah. Brayn sedang fokus dengan laptopnya saat Pak Vino memasuki kamarnya.
Melihat raut wajah sang papa, Brayn telah menebak apa yang terjadi.
Pak Vino memang tersenyum, tetapi ada raut kecewa yang terlihat jelas dalam tatapan matanya.
"Ditolak," ucap Brayn menghela napas.
Pak Vino duduk di sisi putra sulungnya itu. Menepuk bahunya.
"Terkadang memang ada hal yang tidak sejalan dengan harapan kita. Termasuk jodoh."
Brayn mengangguk pelan. Ia mengulas senyum. "Tidak apa-apa, Pa. Setidaknya sudah mencoba."
"Benar, anakku. Setidaknya kamu sudah menunjukkan keseriusan. Jangan tersinggung dengan penolakan ini. Ayahnya Alina pasti sudah memikirkan semuanya."
"Iya, Pa. Aku ngerti. Aku sudah menebak kalau 90 persen akan ditolak."
Pak Vino terkekeh. "Kalau seyakin itu kenapa masih dicoba?"
"Tidak ada salahnya, kan? Siapa tahu yang jadi kenyataan yang 10 persennya."
Lagi, Pak Vino terkekeh.
"Lagi pula aku sudah tahu Om Bro pasti menolak. Dia suka aku untuk dijadikan teman, bukan untuk jadi menantu." Brayn menutup laptop setelahnya.
Setelah mengobrol sebentar, Pak Vino meninggalkan putranya seorang diri.
Brayn termenung di balkon kamar. Menatap taman rumahnya yang luas dan dihiasi lampu-lampu bercahaya keemasan.
Hingga akhirnya, nada pesan masuk terdengar dan berhasil mengalihkan perhatiannya.
Nama Om Bro muncul pada layar atas membuatnya segera membuka pesan.
"Maaf, Bro," tulis Bagas disertai gambar dua tangan mengatup.
**
**
Di sisi lain, Bagas menutup ponsel setelah mengirim pesan pada Brayn. Rasa bersalah memenuhi hatinya. Ia mungkin telah mematahkan banyak hati.
Pertama, anak yang selama ini telah dianggapnya anak sendiri. Lalu, Pak Vino. Bos sekaligus sahabatnya sendiri.
Berusaha menekan rasa yang kian berkecamuk dalam hati, Bagas menatap pintu kamar putrinya. Memutar gagangnya pelan dan mendorong hingga terbuka setengah.
Alina tampak sedang duduk di kursi sambil menulis sesuatu pada sebuah buku.
Ketika Bagas masuk, ia menoleh dan berhenti. Lalu, memasukkan buku catatannya ke dalam laci.
"Muka Ayah kusut, jelek, tahu. Cintanya Ibu bisa berkurang kalau lihat Ayah manyun," ucap gadis itu tertawa pelan.
Bagas tersenyum dan memilih duduk di sisinya. Ia belai rambut panjang putrinya yang tergerai.
"Mau camping di taman belakang lagi? Berdua saja."
"Boleh, Ayah."
"Oh ya, sesuai permintaan kamu ... Ayah sudah tolak."
Alina mengulas senyum, lalu bersandar di dada sang ayah yang memeluknya.
"Terima kasih, Ayah. Maafkan aku," balasnya, menyembunyikan mata yang mengembun.
**
**
Pagi hari Alina terbangun dengan mata sembab dan wajah pucat. Dengan perasaan lemas, ia duduk bersandar di tempat tidur.
Memandangi pantulan dirinya dari cermin meja rias yang berhadapan dengan tempat tidurnya.
Seingatnya, semalam ia tidur di tenda dengan sang ayah saat berkemah di taman belakang rumah.
Namun, pagi ini ia berada di kamar. Seperti biasa, Bagas akan memindahkan dengan menggendongnya menuju kamar.
Bangkit dari pembaringan, ia beranjak keluar. Melangkah pelan menuruni tangga.
Saat berada di anak tangga terbawah, kakinya berhenti. Dari sana ia bisa mendengar suara ayah dan ibunya sedang berbicara.
Mulanya hanya pembicaraan singkat tentang keseharian mereka. Alina tersenyum dan hendak bergabung.
Memasang wajah paling ceria di dunia. Namun, seketika terhenti saat mendengar pembicaraan selanjutnya.
"Aku jadi tidak enak dengan Mbak Resha dan Mas Vino. Mereka sudah begitu baik pada kita, tapi sekarang kita malah membuat mereka kecewa," ucap Maya yang sedang membuat sarapan.
Sementara Bagas sedang duduk di kursi, menatap istrinya sambil menyeruput secangkir kopi.
"Mau bagaimana lagi. Ini sudah jadi keputusan Alina dan kita tidak bisa memaksa."
"Aku yakin Brayn benar-benar tulus terhadap Alina, tidak memandang dia anak siapa. Padahal ada banyak gadis baik dan sepadan dengan keluarganya. Dia juga seorang dokter, tapi dia mau menerima anak kita yang hanya gadis biasa."
"Siapa orangnya yang tidak mau punya menantu seperti dia? Aku banyak bertemu laki-laki, tapi tidak ada yang seperti Brayn."
Bagas tersenyum sambil meletakkan cangkir kopi ke meja.
"Semoga Brayn dan Alina bisa menemukan jodoh yang baik."
"Tapi, aku harus bagaimana sekarang? Mbak Resha memintaku menemaninya siang ini ke pondok Ustadz Yusuf. Aku tidak punya keberanian untuk memunculkan diri di hadapan mereka setelah kejadian semalam."
"Anggap saja tidak terjadi apa-apa. Lakukan demi Alina saja. Bu Boss tidak akan mempermasalahkan itu."
Maya mengangguk dengan hela napas berat.
Sementara Alina yang masih berdiri di tangga termenung. Melihat kesedihan ayah dan ibunya, mana mungkin ia tega. Namun, ia tak memiliki pilihan lain.
Gadis itu segera kembali ke kamar dan merenung sepanjang pagi. Bahkan ia tak keluar kamar sampai Maya datang dan membawakan sarapan.
"Bu ... kenapa orang tua selalu ingin melihat anaknya menikah?" tanya Alina.
"Karena orang tua tidak akan tenang sebelum memastikan anaknya punya kehidupan yang baik dengan pasangannya. Menikah memang bukan akhir perjalanan, tapi awal perjalanan hidup yang sebenarnya. Kamu akan belajar dewasa, belajar menerima, belajar memberi."
"Seperti perjalanan Ayah dan Ibu?"
"Kurang lebih begitu. Tapi, perjalanan kamu harus lebih baik dari Ibu."
Ia mengulas senyum tipis. "Ibu bahagia sama Ayah?"
"Kalau tidak bahagia mana mungkin bertahan sampai puluhan tahun?"
"Tapi dulu Ibu dan Ayah sering bertengkar kalau Ayah pulang telat."
Maya tertawa kecil. "Kamu sering nguping?"
Alina mengangguk. "Orang suara Ibu terdengar sampai Merauke."
Maya kembali tertawa sambil merangkul putrinya. "Namanya orang berumah tangga pasti ada bertengkarnya, Nak. Itu hal biasa. Tapi, bertengkar itu bukan berarti tidak bahagia, kan?"
"Sesayang apa Ibu ke Ayah?"
"Sayang sekali. Tidak bisa digambarkan."
"Kalau antara aku dan Ayah ... Ibu lebih sayang yang mana? Kalau kehilangan, lebih sakit kehilangan aku atau Ayah?"
"Sama sakitnya. Kalau disuruh pilih, Ibu tidak mau kehilangan dua-duanya."
Alina membenamkan diri ke pelukan hangat sang ibu. Perasaan bimbang mulai memenuhi hatinya.
Setelah menghabiskan sarapan, ia memutuskan untuk pergi ke rumah Pak Vino dengan menumpang ojek online, padahal ia memiliki mobil pemberian Bu Resha di hari ulang tahunnya beberapa waktu lalu.
Niatnya ingin menemui kedua orang tua angkatnya itu untuk memberitahu bahwa dirinya lah yang sudah menolak, bukan ayahnya.
Ia akan memohon agar Pak Vino tidak marah terhadap ayahnya.
Saat memasuki rumah suasana terasa sepi. Dua orang yang dicarinya ternyata sedang menghabiskan waktu di taman. Menikmati pagi ini dengan merawat tanaman hias.
Bu Resha sedang memotong daun yang mengering, sementara Pak Vino menyirami dengan air.
Ada Bastian di sisi mereka yang terbaring di atas stroller bayi.
"Masih sedih, ya?" tanya Bu Resha melihat wajah suaminya masih murung.
"Aku hanya sedih dan kecewa karena Bagas menolak niat baik Brayn. Tapi, tidak aра-apa. Tidak akan ada yang berubah di antara keluarga kita. Aku akan menghormati keputusan Bagas."
"Padahal aku sangat menyayangi Alina dan ingin dia benar-benar jadi anggota keluarga kita." Bu Resha meletakkan gunting setelah memotong daun yang kering.
"Alina akan tetap jadi anak kita," imbuh Pak Vino.
Bu Resha mengangguk pelan.
"Ngomong-ngomong, Brayn ke mana pagi ini?"
"Katanya mau ke makam Oma buyut, lalu ke rumah sakit."
"Oh ya, semalam Brayn bilang padaku ada kemungkinan dia akan dipindah tugaskan sementara di luar kota. Dia masih memikirkannya."
"Tidak apa-apa kalau dia berangkat, Mas. Setidaknya, itu bisa sedikit mengalihkan perhatiannya. Aku melihatnya sedih pagi ini dan tidak biasanya dia begitu."
"Semuanya akan segera membaik." Pak Vino tersenyum sambil membelai puncak kepala Bastian.
***********
***********
up lagi thor