NovelToon NovelToon
Paman CEO Itu Suamiku!

Paman CEO Itu Suamiku!

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Duda / CEO / Nikah Kontrak / Beda Usia / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:1.9k
Nilai: 5
Nama Author: Lee_ya

Nayra Kirana, gadis berusia 22 tahun yang baru lulus kuliah, dihadapkan pada kenyataan pahit, ayahnya sakit keras dan keluarganya berada di ambang kehancuran ekonomi. Ketika semua pintu tertutup, satu-satunya jalan keluar datang dalam bentuk penawaran tak terduga—menikah dengan Arka Pratama, pria terpandang, CEO sukses, sekaligus... paman dari senior sekaligus bos tempatnya magang.

Arka adalah duda berusia 35 tahun, dingin, tertutup, dan menyimpan banyak luka dari masa lalunya. Meski memiliki segalanya, ia hidup sendiri, jauh dari kehangatan keluarga. Sejak pertama kali melihat Nayra saat masih remaja, Arka sudah merasa tertarik—bukan secara fisik semata, melainkan pada keteguhan hati dan ketulusan gadis itu. Ketika Nayra tumbuh dewasa dan kesulitan menghimpit hidupnya, Arka melihat kesempatan untuk menjadikan gadis itu bagian dari hidupnya.

Tanpa cinta, tanpa keromantisan, mereka memulai hidup sebagai suami istri berdasarkan perjanjian: tidak ada kewajiban fisik, tidak ada tuntutan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lee_ya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

“Lo Pilih Dia karena Uang, Nay?”

“Gue serius. Lo nikah? Sama paman gue?”

Nada Farel terdengar nyaris seperti orang mau pingsan. Matanya menatapku seperti aku baru saja mengatakan bahwa aku akan pindah ke planet lain.

Aku mengangguk, mencoba tenang. Tapi tangan di bawah meja ini gemetar luar biasa. “Iya, Rel. Dua minggu lagi.”

Dia menggeser gelas kopi yang belum disentuhnya. “Lo waras?”

Aku menelan ludah. “Gue sadar sepenuhnya waktu bilang iya.”

“Dia paman itu paman gue, Nayra! Jauh lebih tua dari lo. Dan... dia itu orang yang paling dingin yang pernah gue kenal.”

Aku memejamkan mata sebentar. Kalau aku bisa memilih, aku juga nggak ingin duduk di kafe ini, menjelaskan ke teman satu kampus, senior kerja, sekaligus orang yang dulu pernah naksir aku, bahwa aku akan menikahi pamannya.

“Tapi dia juga orang yang menolong keluarga gue waktu semua pintu tertutup,” jawabku perlahan.

Farel tertawa miring. “Oh, jadi lo nikah karena utang budi?”

Aku menatapnya tajam. “Enggak. Gue nikah karena dia menawarkan pilihan ketika nggak ada satu pun orang lain yang datang bantu.”

“Termasuk gue?”

Suaranya merendah. Menyakitkan. Membuat udara di sekitarku ikut terasa pekat.

Aku tercekat. “Rel, lo nggak tahu seberapa buruk keadaan keluargaku. Papa gue...”

“Gue tahu, Nay.” Farel menyela pelan. “Dan justru karena itu, gue lebih kecewa lo nggak cerita. Gue bisa bantu. Setidaknya gue bisa nyoba.”

Aku menunduk. Kalau aku cerita waktu itu... mungkin Farel akan benar-benar membantu. Tapi apakah adil menyeret orang lain dalam kesulitan yang aku sendiri nggak yakin bisa dilewati?

“Dia cinta sama lo?” Farel kembali bicara. “Atau ini cuma... transaksi?”

Aku terdiam.

Pertanyaan itu memukul tempat paling rapuh di hatiku. Karena jawabannya... aku sendiri belum tahu. Yang kutahu, Arka peduli. Tapi cinta? Aku belum bisa memaksa diri untuk menyebut apa yang dia beri sebagai cinta.

“Gue nggak tahu, Farel. Tapi gue tahu dia akan jaga gue.”

Farel bersandar ke kursi, frustrasi. “Dia bukan pria sembarangan, Nay. Banyak yang takut sama dia. Punya kuasa. Kontrol. Lo yakin bisa hidup bareng orang kayak gitu?”

Aku mengangkat wajah. “Lo sendiri kerja buat dia, Rel. Lo tahu betapa dia profesional, bukan orang sembarangan. Dan kalau dia bisa menjalankan perusahaan segede itu dengan kepala dingin, gue percaya dia nggak akan semena-mena sama gue.”

Farel memejamkan mata, lalu berdiri. “Terserah, Nay. Tapi kalau dia nyakitin lo, bahkan cuma secuil, gue nggak akan tinggal diam.”

Aku tersenyum getir. “Makasih.”

Dan saat Farel pergi, aku sadar... bahwa bukan cuma aku yang terluka karena keputusan ini. Tapi entah kenapa, luka itu seperti harga yang harus kubayar agar keluargaku bisa tetap bertahan.

***

Pagi berikutnya, aku mendatangi kantor hukum tempat Arka menunjuk pengacaranya. Sebuah gedung putih elegan dengan kaca bening dan aroma parfum mahal di lobi.

Seorang perempuan berambut pendek, dengan kacamata dan wajah serius menyambutku.

“Saya Rasti, legal konsultan Pak Arka. Ini draf kontrak pernikahan. Silakan dibaca pelan-pelan.”

Aku membuka dokumen setebal dua puluh halaman itu. Ada banyak istilah hukum yang asing. Tapi yang kutangkap, garis besarnya adalah....

Tidak ada kewajiban hubungan fisik antara suami dan istri kecuali atas persetujuan kedua belah pihak.

Tidak ada hak waris selama pernikahan belum mencapai dua tahun.

Pihak istri boleh tetap bekerja atau sekolah.

Semua aset tetap dipisah.

Jika pihak istri ingin bercerai lebih awal, maka pihak suami tetap menanggung biaya kesehatan keluarga istri selama satu tahun.

Aku mengangguk pelan. Ini... terlalu rapi untuk disebut hanya ‘pernikahan’. Ini seperti bisnis. Tapi entah kenapa, aku tidak marah. Karena Arka tidak pernah mengklaim ini sebagai kisah cinta. Ia jujur sejak awal.

Dan mungkin... aku butuh hubungan yang bisa dimulai dari kejujuran, bukan ilusi.

***

Malam itu, Arka menjemputku ke rumah. Untuk pertama kalinya, dia masuk dan duduk bersama Mama dan Papa.

“Izinkan saya menjaga putri Bapak dan Ibu,” ucapnya sambil menatap Papa yang kini jauh lebih lemah dari sebelumnya.

“Saya tidak datang sebagai bos, atau CEO. Tapi sebagai pria yang ingin memberikan rumah, bukan hanya atap, untuk Nayra.”

Mama menangis pelan. Papa menatapnya lama, lalu hanya berkata, “Jaga dia baik-baik.”

Dan aku... hanya bisa menunduk.

Karena sejak malam itu, aku bukan lagi Nayra Kirana gadis biasa. Aku adalah calon istri seorang pria bernama Arka Pratama, sosok yang mungkin bisa membangun istana, tapi aku belum tahu apakah hatinya siap ditempati.

***

“Cincinnya kebesaran sedikit, Kak Nay...”

Suara lembut dari asistennya Arka, seorang wanita paruh baya bernama Bu Nani, terdengar saat ia mencoba menyelipkan cincin berlian mungil ke jari manisku. Jemariku sedikit gemetar. Bukan karena ukuran cincin itu, tapi karena semuanya terasa… terlalu cepat.

Arka, duduk tak jauh dariku, hanya mengangguk. “Ganti ukuran. Kirim yang baru sore ini.”

“Siap, Pak.” Bu Nani tersenyum sopan dan pamit keluar ruangan.

Aku menunduk, menatap jari yang kini dihiasi logam mewah itu. Rasanya seperti melihat tangan orang lain. Nayra Kirana, gadis yang biasa belanja baju diskon dan minum kopi sachet, sekarang mengenakan cincin seharga motor.

“Kamu kelihatan canggung,” komentar Arka tanpa suara keras. Dia mendekat, duduk di kursi seberangku, mengenakan setelan jas biru tua yang selalu terlihat pas di tubuhnya. “Kamu takut?”

“Bukan takut,” jawabku pelan. “Aku cuma... belum sepenuhnya percaya ini nyata.”

Arka tersenyum tipis. “Kalau kamu mau mundur, belum terlambat.”

Aku menatapnya. “Aku bukan anak kecil yang bisa lari begitu saja, Pak Arka.”

Dia tertawa pelan. “Berhenti panggil aku ‘Pak Arka’. Kita akan menikah.”

Aku mengangguk pelan. “Baik... Arka.”

Nama itu terasa asing di lidahku. Tapi juga... hangat, dalam cara yang aneh.

“Besok kita tunangan. Cuma acara kecil. Beberapa kerabat dekat, dan... ya, beberapa wartawan. Sudah terlanjur bocor ke media.”

Aku membeku. “Wartawan?”

Arka mengangguk. “Kabar pernikahan CEO dengan gadis muda selalu menarik buat mereka. Aku nggak bisa sembunyikan terus. Tapi aku pastikan, nama kamu tetap dijaga.”

Aku menghela napas. Berharap bisa menarik kembali waktu.

***

Keesokan harinya, kami berdiri di ruang kaca di sebuah hotel bintang lima. Hanya sekitar dua puluh orang yang hadir. Wartawan dari media bisnis berdiri di belakang pita pembatas, kamera siap di tangan. Arka menggenggam tanganku erat. Aku mengenakan dress biru pastel, sederhana tapi elegan. Wajahku dirias oleh MUA profesional, tapi hatiku? Masih berantakan.

Flash kamera mulai menyala saat Arka mengumumkan,

"Saya akan menikahi Nayra Kirana dalam dua minggu ke depan. Kami harap doa dan dukungan dari semua pihak.”

Tepuk tangan terdengar. Lensa kamera terus menyorot kami. Aku tersenyum, tapi itu bukan senyum bahagia. Itu senyum bertahan hidup.

Setelah acara formal selesai, aku sempat keluar ke balkon untuk menghirup udara. Dan saat itulah, aku melihatnya.

Seorang wanita tinggi, elegan, mengenakan gaun merah darah. Bibirnya merah menyala, dan langkahnya penuh percaya diri. Dia berjalan lurus ke arahku, tanpa ragu sedikit pun.

“Hai.” Suaranya tajam dan dingin.

Aku mengerutkan kening. “Maaf, kenal...?”

“Belum. Tapi aku kenal kamu.” Dia tersenyum tipis, menatap ke arah cincinku. “Jadi ini gadis muda yang akhirnya berhasil menaklukkan Arka Pratama, ya?”

Napas tercekat di tenggorokanku. “Kamu siapa?”

“Aku? Oh, cuma mantan istri.”

Dunia seperti berhenti sesaat.

Aku menelan ludah. “Kamu... mantan istri Arka?”

Dia mengangguk. “Rania. Kami menikah lima tahun lalu. Tapi ya, tidak bertahan lama. Arka bukan tipe pria yang bisa... mencintai dengan utuh.”

Aku tetap diam.

Rania mendekat, matanya bersinar aneh. “Kamu masih muda. Mungkin kamu pikir kamu akan mengubah dia. Tapi percayalah, dia akan tetap jadi orang yang sama. Dingin. Tertutup. Dan hancur di dalam.”

Aku tak tahu harus berkata apa. Tapi satu hal yang kupelajari hari itu: masa lalu Arka... tidak semudah kelihatannya.

Rania menepuk bahuku pelan. “Selamat ya, sayang. Nikmati masa bulan madumu, selama masih ada.”

Dan dia pun pergi. Meninggalkan aroma parfum dan tanya besar di kepalaku.

***

Di dalam mobil saat perjalanan pulang, aku tak bisa menahan diri. “Kamu nggak bilang kalau kamu pernah menikah.”

Arka tetap menyetir tanpa menoleh. “Aku nggak pikir itu penting.”

“Penting buat aku. Karena kalau aku tahu lebih awal... mungkin aku akan lebih siap menghadapi hal kayak tadi.”

“Rania datang?” tanyanya tanpa nada terkejut.

“Dia bilang kamu nggak bisa mencintai siapa pun.”

Mobil berhenti mendadak di lampu merah. Arka menoleh, wajahnya gelap.

“Rania adalah masa lalu. Dan dia meninggalkanku karena alasan yang bahkan dia sendiri tidak paham. Jangan biarkan dia masuk ke kepala kamu.”

“Tapi kamu... memang bisa cinta?”

Pertanyaanku keluar sebelum bisa kutahan.

Hening. Lalu Arka menjawab, lirih. “Aku nggak tahu. Tapi aku ingin belajar. Sama kamu.”

Kata-kata itu... lebih tajam dari peluru mana pun. Karena yang lebih menyakitkan dari tidak dicintai... adalah dicintai oleh seseorang yang bahkan tidak tahu bagaimana cara mencinta.

***

Malam itu aku kembali ke kamar, melepas cincin, dan meletakkannya di atas meja. Aku menatapnya lama, sebelum membisikkan satu pertanyaan:

“Aku menikah untuk menyelamatkan keluargaku. Tapi siapa yang akan menyelamatkan hatiku?”

1
Dini Aryani
mohon maaf, karakter istri egois. dia menuntut suami yg diinginkan semua istri, sedangkan dia tidak melakukan kewajiban sebagai istri apalagi sedang hamil, ketaatan pd suami yg baik. sudah jadi istri lho. tolonglah ada unsur edukasi buat istri, agar tdk ada yg meniru sesuatu yg buruk. saya sbg istri malu
Lee_Ya: terimakasih kak buat komentarnya, stay tune terus ya buat tau cerita selanjutnya....lope sekebon 😍😍😍
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!