Alan Andrew adalah generasi kesepuluh pria dari keluarga Andrew, pewaris tahta kejayaan dalam bisnis otomotif kelas dunia. Ia sempurna di mata banyak wanita; tampan, cerdas, kaya, dan berwibawa. Sosok yang merupakan definisi dari pria idaman. Namun, di balik pesonanya, Alan menyimpan hasrat yang bertolak belakang dengan nilai-nilai ketimuran: ia mencintai tanpa komitmen, menganggap hubungan tak harus diikat dengan pernikahan. Baginya, wanita hanyalah pelengkap sementara dalam hidup, bisa datang dan pergi sesuka hati.
Namun segalanya berubah ketika ia bertemu Maya Puspita, gadis manis dari Jawa Tengah yang datang dari keluarga sederhana namun menjunjung tinggi moral dan etika. Takdir menempatkan Maya bekerja di perusahaan Alan.
Alan sudah menjadikan Maya sebagai ‘koleksi’ berikutnya. Tapi tanpa ia sadari, Maya menjeratnya dalam dilema yang tak pernah ia bayangkan. Sebab kali ini, Alan bukan sekedar bermain rasa. Ia terjebak dalam badai yang diciptakannya sendiri.
Akankah Maya mampu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarah Mai, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
HTA2
Pukul 17.08 WIB
PT Anugerah RVC, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang otomotif.
Saat Alan Andrew melewati ruang kerja sekretariat umum, matanya langsung tertuju pada kursi kosong milik Maya Puspita. Hatinya sontak merasa janggal.
"Maya tidak masuk hari ini?" tanyanya pada Jacob, sang asisten.
"Maya izin, Pak. Katanya sedang tidak enak badan," jawab Jacob singkat.
"Em," respon dingin Alan.
"apa karena obrolan tadi pagi?" pikirannya.
Alan menolak ajakan pesta ulang tahun temannya di bar malam itu. Ada keresahan yang menggantung di benaknya. Ia memilih pulang lebih awal, pikirannya penuh kekhawatiran soal Maya.
Sesampai di apartemen, suasana terasa sepi. Maya tidak ada. Namun, yang mengejutkan, Alan menemukan selembar kertas di atas meja. Sebuah surat pengunduran diri dari perusahaan yang ditandatangani oleh Maya Puspita.
“Jadi dia benar-benar serius ingin menikah?” gumam Alan berusaha untuk tidak yakin. Namun Matanya menatap kosong, pikirannya mulai dihantui banyak tanya. Siapa pria itu? Apa Maya sungguh-sungguh ingin mengakhiri semua ini?"
Alan menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri dengan membersihkan tubuh dan berganti pakaian. Tapi benaknya tetap penuh gejolak.
Tak lama kemudian, Maya pulang. Wajahnya pucat, lesu, dan tampak penuh kecemasan. Seakan membawa beban berat dari kampung halamannya.
"Untuk pertama kalinya kamu pergi tanpa memberitahuku, hanya bilang sakit?" suara Alan tenang namun penuh tekanan.
"Hubungan kita sudah berakhir, Alan. Aku akan pergi dari sini," ucap Maya dingin dan tegas.
Spontan, Alan meraih tangan Maya dan menciumnya dalam kepanikan.
"Lepaskan, Alan!" Maya mendorong dada lelaki itu, menolak dengan sisa tenaganya. Tapi yang paling kuat saat itu bukan fisik Maya, melainkan tekadnya untuk benar-benar pergi.
Malam itu.
Alan tidak perduli pada tangisan atau penolakan Maya. Ia memaksa wanita itu untuk kembali melayani nafsunya seperti biasa, mengabaikan luka yang pura-pura tidak terlihat, hingga hasrat Alan puas.
“Alan... Alan...” suara Maya nyaris tak terdengar, lemah dan penuh luka.
“Bisakah kau berhenti melakukan 'ini' padaku?” ucapnya lirih, tubuhnya gemetar menahan tangis
"Aku... mau menikah, Alan..." Air mata Maya mengalir pelan di pipinya yang pucat.
Alan mendekap wajah Maya dengan tangannya, mengusap air mata itu dengan jemarinya, lalu membisikkan kata-kata penuh hasrat.
“Aku yakin tidak akan ada pria yang bisa membahagiakanmu dengan harta dan cinta... selain aku.”
"Aku benci padamu, Alan!" seru Maya dengan suara bergetar, menyimpan luka dan gejolak di dalam dadanya.
"Percayalah, sayang... Pernikahan itu cuma sepasang buku usang tanpa arti. Isinya kehilangan tanggung jawab dan pengkhianatan. Hubungan kita, meskipun tanpa ikatan, justru lebih jujur. Apapun yang kau inginkan, akan aku berikan."
Alan tersenyum samar, lalu mengelus lembut dahi Maya, seolah kata-katanya bisa menenangkan badai di hati perempuan itu.
--
Keesokan paginya, Alan berangkat dalam perjalanan dinas ke luar kota selama tiga hari.
Di saat yang sama, Maya telah mengambil keputusan bulat: ia akan mengundurkan diri.
Meski hatinya remuk dan diliputi kekecewaan, Maya tetap menjalankan tugasnya sebagai staf sekretariat dengan penuh tanggung jawab. Ia merapikan setiap dokumen, menyelesaikan pekerjaan tepat waktu, dan menjaga sikap profesional hingga hari terakhir bekerja. Seolah tidak ada yang berubah, meski di dalam dirinya semua telah runtuh.
Kini Alan telah kembali dan tengah berada di ruangan kantornya.
Setelah semua pekerjaan Maya selesai, wanita itu memberanikan diri dengan tekad yang kuat melangkah masuk ke ruang Alan.
“Aku sudah menyelesaikan semua tugasku,” ucapnya tenang namun tegas.
Alan menatapnya lekat-lekat, suaranya naik satu oktaf dalam kepanikan.
“Pekerjaanmu tidak mungkin selesai secepat ini. Dan surat pengunduran dirimu... aku tolak! Jangan pernah pergi dari ku!” kata Alan.
Alan menyodorkan selembar dokumen: surat kepemilikan toko baby shop atas nama Maya Puspita, yang rencananya akan segera launching. Itu adalah impian Maya sejak lama. Ia bekerja keras di kota demi mengumpulkan modal untuk membuka toko perlengkapan bayi. Tapi Alan mewujudkannya secara instan dengan satu tujuan: mengikat Maya agar tetap bersamanya.
“Maaf, Pak. Saya tetap mengundurkan diri,” jawab Maya mantap.
Alan bangkit dan memeluk Maya dari belakang. Deru napasnya terdengar liar di telinga wanita itu. Alan menarik Maya untuk kembali bercinta seperti biasa di kamar khusus ruangan Alan.
Namun Maya langsung menolak dan melepaskan diri.
“Kalau kamu resign, kau tidak berhak membawa apapun dari pemberianku!” ucap marah Alan.
“Tidak masalah. Aku tetap pergi. Hubungan kita sudah berakhir,” tatap Maya dingin dan penuh ketegasan. Ia melangkah menuju pintu keluar.
“Sial!” Alan menghardik, menendang kursi hingga terlempar. Maya tersentak, namun tak membalikkan tubuhnya.
Alan begitu anggap remeh dengan Maya. Baginya Maya hanya perempuan biasa yang bisa dikendalikan dengan harta.
“Dan kau pikir aku tidak bisa mencari pengganti sepertimu?” bentak Alan, emosinya meledak.
Maya menoleh sejenak, bibirnya menyunggingkan senyum tipis tanpa menoleh lagi. Maya memilih pulang lebih awal.
--
“Jacob!” teriak Alan dari ponselnya.
“Saya, Pak!” sahut Jacob datang dengan tergopoh-gopoh.
“Maya Puspita akan menikah. Selidiki siapa calon suaminya,” pinta Alan.
“Baik, Pak!” jawab Jacob cepat, segera melacak informasi yang diminta.
Alan menjatuhkan tubuh lemas nya di sofa. Ia tidak bisa berpikir jernih, pekerjaan kantor tidak lagi menarik perhatiannya. Pikirannya hanya dipenuhi oleh satu nama yaitu Maya.
Jacob adalah orang kedua yang paling mengetahui hubungan gelap antara Alan dan Maya.
Pukul 17.08 WIB.
Sesampainya di apartemen, Maya mengambil barang-barang miliknya. Ia berdiri di tengah ruangan yang dulu penuh kenyamanan, namun kini terasa dingin dan kosong.
Perasaannya jenuh dan hancur. Ia sadar bahwa semua yang ia lakukan selama ini hanyalah sia-sia. Alan hanya menginginkan tubuhnya bukan hatinya, apalagi menjadi istri sahnya.
"Selamat tinggal, Alan. Dan... terima kasih atas segalanya," bisiknya lirih, memandangi interior mewah yang telah menemaninya selama enam bulan terakhir.
Karena sudah terlalu malam, Maya memutuskan untuk menginap di kost temannya. Keesokan paginya, ia naik bus ekspres menuju Jawa Tengah, tempat ia dibesarkan dan memulai kembali kehidupannya dari awal.
Di dalam bus, Maya duduk di dekat jendela. Tatapannya menerawang, menembus kaca, menyatu dengan bayang-bayang kenangan.
"Aku berharap kisahku dengan Alan hanyalah mimpi. Mimpi indah yang terlalu panjang menidurkan ku dari kenyataan. Tapi sekarang, aku sudah terbangun... dan harus menghadapi hidup yang sesungguhnya."
Kenangan bersama Alan mengalir di kepalanya, tawa, canda, kemesraan yang sempat membuatnya merasa seperti istri sungguhan. Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan. Hatinya remuk, campur aduk dengan kecewa, amarah, dan kehampaan. Namun Maya sadar, meski berat, langkahnya sudah tepat.
kalau Maya nanti benar2 pergi dari Alan,bisa jadi gila Alan.
begitu pengorbanan seorang kakak selesai maka selesai juga pernikahannya dengan alan
emang uang segalanya tapi bukan begitu juga