Raisa tak pernah mengira hidupnya akan berubah drastis setelah ulang tahunnya yang ke-23. Gadis ceria itu terkejut ketika sang mama mengenalkannya pada seorang pria—bukan untuk dijodohkan dengan lelaki muda seperti biasanya, melainkan dengan teman dekat mamanya sendiri, seorang pria dewasa bernama Ardan yang berusia hampir dua kali lipat darinya.
Ardan, seorang duda mapan berwibawa, awalnya tak berniat menerima tawaran perjodohan itu. Namun, kepribadian Raisa yang hangat dan polos perlahan membuatnya goyah. Raisa pun dilanda dilema: bagaimana bisa ia jatuh hati pada seseorang yang selama ini ia kenal sebagai “Om Ardan”, sosok yang sering datang ke rumah sebagai sahabat mamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 9
Pagi itu apartemen terasa berbeda. Sunyi, tapi hangat. Raisa bangun lebih awal dari biasanya. Entah karena semalaman kepikiran kata-kata Ardan, atau karena ia merasa bersalah melihat pria itu sakit semalam.
Ia berdiri di dapur, membuat bubur instan. Yah, cuma ini yang aku bisa masak, pikirnya sambil mengaduk. “Kalau nggak suka, salahin lidah sendiri,” gumamnya.
Ardan keluar dari kamar, sudah mandi, mengenakan kaus polos abu-abu dan celana santai. Wajahnya masih terlihat lelah, tapi warnanya lebih segar daripada semalam.
“Pagi,” suaranya berat tapi tenang.
Raisa menoleh. “Pagi. Jangan banyak ngomong dulu. Duduk.”
Ardan mengangkat alis. “Disuruh duduk di rumah sendiri? Baru tahu aku punya sipir semuda ini.”
“Biarin. Om lagi sakit, Om nurut aja,” Raisa mendengus sambil menuang bubur ke mangkuk.
Mereka makan di meja kecil dapur.
“Ini… kamu yang masak?” Ardan menatap buburnya.
“Jangan banyak protes.”
Ardan mencicipi, lalu mengangguk. “Lumayan. Kamu nggak seburuk yang kamu kira.”
Raisa merasa pipinya panas. Om ini kenapa sih, setiap ngomong biasa aja tapi rasanya kayak…
“Bersyukur, deh. Kalau bukan aku, mungkin Om masih tergeletak demam,” Raisa berusaha terdengar santai.
Ardan menatapnya. “Dan kamu nggak harus repot-repot begini.”
Raisa mendengus. “Jangan ge-er. Aku cuma kasihan.”
Ardan tersenyum tipis. “Kalau ini versi kamu kasihan… aku nggak kebayang kalau kamu peduli.”
Raisa ingin membantah, tapi suara ketukan keras di pintu membuat mereka berdua menoleh.
“Rai! Bukain! Mama!”
Raisa langsung pucat. Mama.
“Gawat,” gumamnya.
Ardan berdiri, tapi Raisa cepat berkata, “Om! Jangan keluar dulu!”
“Kenapa?”
“Pokoknya jangan!”
Raisa bergegas membuka pintu.
Di sana berdiri Mamanya—dengan ekspresi yang sudah Raisa kenal: marah bercampur kecewa.
“Rai. Jadi bener kamu tinggal di sini?”
Raisa menelan ludah. “Ma… aku bisa jelasin—”
“Jelasin apa?! Kamu pikir Mama nggak lihat berita?! Foto kamu keluar dari apartemen Om Ardan?! Apa kamu sengaja bikin malu?!”
Suara Mama meninggi. Raisa mundur beberapa langkah, tapi Mamanya masuk begitu saja.
Ardan keluar dari dapur. “Pagi, Mbak.”
Mama langsung menoleh, matanya membesar. “Ardan. Jadi kamu beneran tinggalin anak saya di sini?”
“Bukan begitu—”
“Jangan bela diri! Kamu pikir saya nggak tahu apa yang orang-orang bilang? Kamu memanfaatkan anak saya di saat dia lagi rapuh!”
Ardan diam.
Raisa maju, mencoba memisah. “Ma! Cukup! Jangan tuduh Om Ardan macam-macam!”
Mama menoleh tajam. “Kamu belain dia sekarang?!”
“Karena dia nggak salah!” Raisa akhirnya membalas dengan suara lantang.
Mama terdiam, syok.
“Om Ardan nggak pernah gangguin aku, Ma! Justru dia yang selalu ada waktu semua orang ngejatuhin aku! Kalau nggak ada dia, mungkin aku udah hancur!” Raisa gemetar, tapi terus bicara. “Kenapa sih Mama selalu lihat dia cuma sebagai om-om? Dia… dia lebih peduli ke aku daripada siapa pun sekarang!”
Air mata mengalir di pipi Raisa tanpa ia sadari.
Mama terdiam lama.
Ardan akhirnya bicara, suaranya rendah tapi tegas. “Mbak. Saya tahu ini kelihatan buruk. Tapi saya nggak pernah punya niat merusak Raisa. Saya cuma nggak mau dia sendirian menghadapi semua ini.”
Mama memandangnya lama. “Kamu… ngomongnya gampang banget, Dan. Tapi kamu nggak tahu rasanya jadi ibu yang lihat anaknya jadi bahan gosip murahan.”
Ardan menunduk. “Kalau harus disalahkan, salahkan saya. Jangan Raisa.”
Mama menghela napas panjang. “Aku butuh waktu mikir. Raisa, pulang sama Mama sekarang.”
Raisa menggeleng. “Aku… mau di sini dulu.”
Mama menatapnya tidak percaya. “Rai…”
“Ma… tolong. Aku butuh ruang. Aku janji aku baik-baik aja di sini.”
Mama terdiam, lalu berkata pelan, “Kalau ada apa-apa sama kamu, Raisa… Mama nggak akan maafin.”
Tanpa bicara lagi, ia pergi, menutup pintu keras.
Raisa jatuh terduduk di sofa, menutupi wajah. Air matanya deras.
Ardan duduk di seberang. “Kamu nggak harus marah ke Mama.”
Raisa mendongak, matanya merah. “Kalau bukan karena Om… aku nggak punya siapa-siapa sekarang.”
Ardan menatapnya lama, tapi tidak menjawab.
Keheningan memenuhi ruangan.
Untuk pertama kalinya, Raisa sadar: dia baru saja memilih Ardan di depan Mamanya.
Dan keputusan itu… menakutkan sekaligus melegakan.
*
Hujan turun semalaman, dan pagi itu udara di apartemen begitu dingin. Raisa masih di kamar, meringkuk di balik selimut, matanya sembab karena habis menangis semalam.
Pertengkaran dengan Mama terus terputar di kepalanya. Apa aku keterlaluan? pikirnya. Tapi di sisi lain, ia tidak menyesal. Untuk pertama kalinya, ia memilih apa yang ia rasakan benar — bukan yang orang lain suruh.
Pintu kamarnya diketuk.
“Raisa?” suara Ardan terdengar pelan. “Sarapan.”
Raisa menoleh malas. “Aku nggak lapar.”
Diam sebentar. Lalu Ardan berkata, “Kalau kamu nggak mau keluar, aku bawain ke sini.”
Raisa mendengus. “Om ini… selalu kayak gitu. Nggak ngerti kalau aku pengen sendirian.”
Tapi sebelum ia bisa menolak, pintu terbuka pelan. Ardan masuk, membawa nampan berisi segelas susu hangat dan roti panggang.
“Kalau kamu nggak mau makan berat, minum ini dulu. Biar nggak kosong perutnya.” Ardan meletakkan nampan di meja kecil dekat tempat tidur.
Raisa hanya menatapnya, masih meringkuk. “Om ini siapa sih? Kayak babysitter.”
Ardan duduk di kursi dekat ranjang. “Kalau itu bikin kamu makan, panggil apa aja terserah.”
Raisa mengambil gelas susu, meneguk sedikit. Rasanya hangat. Anehnya, ada sesuatu di dada Raisa yang ikut menghangat.
Ia melirik Ardan. “Om nggak kerja?”
“Kerja. Tapi yang lebih penting sekarang kamu.”
Raisa membeku. “Om…”
“Kalau kamu nggak kuat, bilang. Jangan pura-pura.”
Raisa mendesah. “Om nggak capek ya? Ngurusin aku terus.”
Ardan menatapnya. “Capek. Tapi kalau itu bikin kamu berdiri lagi, capeknya nggak masalah.”
Raisa mendelik. “Om ngomong kayak gitu tuh… bikin aku bingung.”
“Kenapa?”
“Karena Om bikin aku mikir… mungkin nggak ada orang yang segininya sama aku, selain Om.”
Ardan terdiam sebentar, lalu berkata pelan, “Kalau kamu butuh orang yang nggak pergi… aku ada di sini.”
Kalimat itu membuat Raisa menunduk cepat, menahan debar di dadanya.
Siang itu, ponsel Raisa berdering. Nomor tak dikenal.
“Hallo?”
“Selamat siang, ini dari pihak rektorat,” suara perempuan terdengar di ujung sana. “Kami ingin menawarkan jalan damai terkait masalah pemberitaan ini. Kalau Raisa mau membuat pernyataan permintaan maaf di media sosial, kasus ini bisa kita anggap selesai.”
Raisa terdiam. “Permintaan maaf… karena aku jadi korban gosip?”
“Ini demi nama baik kampus.”
Raisa menutup telepon dengan wajah pucat.
Ardan keluar dari dapur. “Kenapa?”
“Mereka… nyuruh aku minta maaf di media biar masalahnya selesai.”
Ardan mengerutkan alis. “Minta maaf? Atas gosip yang kamu nggak bikin? Tidak.”
“Tapi kalau itu bisa bikin semua reda—”
“Tidak.” Ardan mendekat, nadanya tegas. “Mereka cuma mau kamu jadi tumbal biar nama mereka aman. Kamu nggak salah. Jangan belajar untuk minta maaf atas sesuatu yang kamu nggak lakukan.”
Raisa menatapnya. “Om… kalau semua ini nggak selesai, gimana? Aku nggak kuat.”
Ardan menghela napas, lalu berjongkok di depan Raisa. Ia menatapnya sejajar. “Kalau kamu nggak kuat, biar aku yang berdiri di depan kamu. Kamu nggak sendiri.”
Air mata Raisa jatuh tanpa ia sadari. “Kenapa Om selalu… kayak gini?”
“Kayak gini gimana?”
“Selalu ada. Selalu bikin aku… nggak tahu harus marah atau lega.”
Ardan tersenyum samar. “Kalau bikin kamu lega, berarti Om nggak salah.”
Hening beberapa saat.
Raisa akhirnya berkata, “Om… kalau suatu saat aku berhenti takut… mungkin aku bisa bilang ke Om sesuatu yang sebenarnya.”
Ardan menatapnya lama. “Kalau kamu siap, Om akan dengar.”
Sore itu mereka duduk di balkon. Hanya diam, menatap hujan yang kembali turun.
Buat Raisa, keheningan itu tidak kosong. Ia merasa dilihat. Dijaga. Dipahami.
Dan itu… jauh lebih berharga dari semua kata-kata manis yang pernah ia dengar dari siapa pun.