Hanya berjarak lima langkah dari rumah, Satya dan Sekar lebih sering jadi musuh bebuyutan daripada tetangga.
Satya—pemilik toko donat yang lebih akrab dipanggil Bang... Sat.
Dan Sekar—siswi SMA pecinta donat strawberry buatan Satya yang selalu berhasil merepotkan Satya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alfaira_13, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
2. Capek Sekolah
"Mira, nanti tolong bersihin meja yang di pojok ya!" pinta Satya pada seorang gadis sembilan belas tahun. Elmira Revalina, gadis pendiam yang menjadi salah satu pegawai Satya di Donat Suka Cerita.
Bangunan berlantai dua yang menyajikan donat dengan berbagai varian bentuk dan rasa. Tak hanya donat, ada berbagai macam minuman manis juga yang tersedia. Bangunan dengan cat dinding berwarna krem dan cokelat. Cocok menjadi tempat nongkrong bagi pecinta manis. Beberapa spot foto tersedia bagi pengunjung yang ingin mengabadikan momen manis.
"Iya Bang."
"Bos! Bahan-bahan baru dateng nih," ucap Rasya dari luar membawa satu kardus besar. Masih ada beberapa tumpuk kardus lain di depan. Rasya Adiansyah, sahabat Satya sejak SMA.
"Jangan panggil gua bos," tegur Satya.
"Kenapa sih, kan lo emang bos gua."
Satya melirik wanita yang berdiri di depan wastafel. "Lo bisa tolong cek dulu kan Kak?"
"Iya, pindahin aja ke belakang," jawab Aluna yang masih sibuk mencuci gelas kaca. Aluna Anulika, kakak kelas Satya yang sekarang menjadi pegawainya. Kebetulan, saat itu Aluna sedang butuh pekerjaan dan Satya menerimanya karena memang butuh tenaga tambahan.
"Gua rebahan dulu ya di dalem," pamit Satya. Kakinya melangkah menuju salah satu ruangan di lantai bawah. Ruangan khusus yang menjadi tempat singgah untuk Satya.
Di dalamnya tersedia sofa panjang untuk Satya beristirahat, juga beberapa figura foto yang dipajang. Satu ruangan yang penuh dengan kenangan. Foto wanita berambut panjang dan Satya kecil yang tersenyum ke arah kamera, di pangkuannya Sekar tertidur lelap. Saat itu usianya baru menginjak enam tahun, dan Sekar lahir menjadi adik perempuannya.
"Satya kangen Bu," gumam Satya.
Lima belas menit Satya menghabiskan waktunya di atas motor yang terparkir di depan gerbang SMA Harapan Raya. Desahan pelan terdengar, menunggu Sekar yang tak kunjung terlihat.
Murid-murid lain mulai berhamburan ke luar gerbang. Sekar, dari kejauhan berjalan bersama teman-temannya sambil berbincang dan bercanda tawa. Satya melambai, memberi kode agar Sekar menghampirinya.
"Lo ngapain jemput gua?" bukan ucapan terima kasih yang Satya dapat, melainkan satu tendangan pelan di kakinya.
"Minimal bilang makasi dulu," omel Satya.
"Gua mau main," rengek Sekar dengan wajah melas. Menarik-narik tangan Satya seperti seorang anak yang membujuk Ibunya.
"Gak ada, ikut gua," larang Satya.
"Gua mau nonton," katanya dengan wajah cemberut.
Satya memijat pelipisnya. "Masih hari sekolah, kalo mau nonton hari Minggu aja sama gua."
"Gua udah janji sama yang lain." Sekar menoleh ke belakang, Binar dan Nala mengikuti Sekar di belakangnya.
"Sekar gak boleh main dulu, kalian pergi aja tanpa Sekar."
"Oke Bang, hati-hati di jalan ya Sekar." Nala memberikan satu jempolnya pada Satya.
"Ih Nala, gua juga mau ikut." Sekar menahan tangan Nala yang mau meninggalkannya begitu saja bersama Satya.
"Udah, nanti lagi juga bisa main," sahut Binar. Satu tangannya merangkul pundak Nala. "Kita duluan ya Sekar, bye~"
Dengan kompak, Binar dan Nala melambaikan tangannya kepada Sekar, berbalik ke arah berlawanan dan meninggalkannya bersama Satya.
"Gara-gara lo!" omel Sekar.
"Sama-sama!"
Keheningan terjadi diantara keduanya dalam perjalanan, tak satu pun kata yang diucapkan oleh Sekar atau pun Satya. Matahari masih berada di atas kepala, menemani perjalanan sepi.
"Ngambek lo?" tanya Satya pada akhirnya. Tak tahan dengan keheningan yang Sekar ciptakan. Kedua telinganya sudah terbiasa mendengar celotehan Sekar.
Sekar tidak menjawab, tangannya bersedekap dada, kedua matanya menatap liar ke sekitarnya. Melihat kendaraan lain yang dilewatinya. Satya melirik sebentar dari spion, Sekar masih bertahan dengan diamnya.
"Minggu kita nonton deh, gua yang bayarin," ucap Satya dengan suara pelan, tapi masih jelas terdengar.
"Gua maunya sama temen gua, bukan sama lo!"
Satya menghela napas berat, lalu menepikan motornya ke pinggir jalan. Tepat di bawah pohon besar yang menutupi keduanya dari paparan matahari.
"Ngapain berhenti? Ayo pulang!" ajak Sekar tak sabaran. Seenaknya saja menyeret Sekar untuk pulang ke rumah. Tidak tahu saja, Sekar sudah tidak sabar untuk pergi bersama temannya. Ada film yang sangat ingin ditontonnya.
"Kalo gua minta anterin ke makam dulu mau gak?" tanya Satya pelan. Tak ada kesan memaksa. Hanya terdengar seperti seorang yang butuh teman.
Sekar sempat terdiam. Merasa bersalah setelah Satya bertanya, meminta persetujuannya terlebih dahulu. "Y-yaudah, tapi jangan lama. Sekarang bukan jadwalnya."
Ya, sudah menjadi rutinitas mereka untuk mengunjungi makam di hari Minggu pagi. Sejak keduanya sama-sama kehilangan salah satu peran orang tua.
"Makasi, maaf ya udah bikin bete."
Rinjani, satu nama yang terukir jelas di batu nisan. Satya berjongkok pelan, menyimpan satu plastik kecil berisi bunga yang ia beli di depan makam dan sebotol air.
Sekar berdiri di sampingnya, diam. Pandangannya tak lepas dari sosok Satya. Ada rasa tak nyaman dalam dada. Satya, pria itu terlihat lebih rapuh dari biasanya.
"Bu... Satya dateng, sama Sekar juga," ucapnya tersenyum hambar. "Satya mimpi Ibu semalam... cantik. Pake baju favorit Ibu."
Sekar ikut berjongkok di sampingnya. Satu tangannya mengusap pelan punggung Satya. Membuat Satya menoleh sesaat, merasakan sentuhan hangat yang diberikan Sekar. Tanpa suara, hanya meyakinkan jika Sekar selalu ada.
"Satya kangen Bu, kalo gak sama Ibu berat ya ternyata." tangannya mengusap nama sang Ibu di atas batu nisan. Menyalurkan rasa sayangnya dari dunia yang berbeda.
"Mau ke papa dulu?" tanya Satya.
Sekar mengangguk ragu. "Boleh."
Keduanya bangkit, Satya berjalan lebih dulu. Dari sana, tak jauh dari makam Rinjani, Satya berhenti. Setelah mengunjungi makam sang Ibu, kini giliran mereka mengunjungi makam dengan batu nisan bertuliskan Dika, Papa Sekar.
"Hai pa, Sekar main nih!"
"Sekar capek banget sekolah, pengen cepet lulus aja rasanya," ucapnya seolah sang Papa benar-benar mendengarkan ceritanya di depan mata. "Sekar gak suka belajar, nilai Sekar juga lebih sering dibawah rata-rata."
"Sekar mau berhenti sekolah aja ya Pa," ucap Sekar.
"Aduh," ringisnya saat Satya mencubit salah satu pipinya gemas. Menciptakan bekas merah di pipinya.
"Enak banget ngomongnya!"
"Diem dulu bisa gak sih! Gua kan lagi cerita sama Papa, bukan sama lo!" omel Sekar.
"Om Dika juga kalo denger lo bilang begitu bakal marah Sekar!"
"Tuh Papa liat gak? Sekar itu selalu aja dibully sama bang Satya."
"Bohong Om, Sekar emang anaknya bandel. Susah banget diatur."
ditunggu next chapter ya kak😁
jangan lupa mampir dan ninggalin like dan komen sesuai apa yang di kasih ya biar kita sama-sama support✨🥺🙏
sekalian mampir juga.../Coffee//Coffee//Coffee/
Dikasih koma ya, Kak. Biar lebih enak bacanya. Semangat terus nulisnya!😉