Arsyan Al Ghazali, seorang ustadz muda tampan, dikenal karena keteguhan imannya, kefasihannya dalam berdakwah, dan pesona yang membuat banyak wanita terpesona. Namun, ia tak pernah tergoda dengan pujian atau perhatian dari lawan jenis. Baginya, agama dan dakwah adalah prioritas utama.
Di sisi lain, Nayla Putri Adinata adalah gadis liar dari keluarga konglomerat yang gemar berpesta, bolos kuliah, dan menghabiskan malam di klub. Orang tuanya yang sudah lelah dengan tingkah Nayla akhirnya mengirimnya ke pesantren agar dia berubah. Namun, Nayla justru membuat onar di sana, bersikap kasar kepada para santri, dan berusaha melawan aturan.
Segalanya berubah ketika Nayla berhadapan dengan Al Ghazali, ustadz muda yang mengajarkan ilmu agama di pesantren tersebut. Awalnya, Nayla merasa jijik dengan semua aturan dan ceramahnya, tetapi pesona ketenangan serta ketegasan Al Ghazali justru membuatnya semakin penasaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amelia's Story, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hari Pertama
Nayla menggertakkan giginya. Tak ada gunanya melawan. Ayahnya selalu menang.
"Dasar pria tua, mentang-mentang berkuasa,anaknya dipaksa buat ngikutin keinginannya, "
Setelah perjalanan panjang, akhirnya mobil berhenti di depan sebuah pesantren besar dengan gerbang besi kokoh. Bangunan bernuansa putih dengan halaman luas dan suasana tenang membuat Nayla merasa semakin tercekik.
Saat ia turun dari mobil, beberapa santri putri yang sedang duduk di taman melirik ke arahnya. Mereka berbisik-bisik, jelas penasaran melihat kedatangan seseorang dengan wajah penuh kemarahan seperti Nayla.
Di depan pintu utama, seorang pria tinggi dengan jubah putih dan sorban berdiri dengan tenang. Tatapan matanya teduh, senyum tipis menghiasi wajahnya yang tampan. Ia terlihat begitu berwibawa, seperti seseorang yang sudah terbiasa dengan dunia dakwah.
“Nayla.” Ayahnya menepuk bahunya, membuatnya menoleh. “Ini Ustadz Al Ghazali. Beliau yang akan membimbingmu di sini.”
Nayla menatap pria itu dari ujung kepala hingga kaki dengan pandangan sinis. Oh, jadi ini orangnya? Seorang ustadz muda yang kemungkinan besar akan mencoba 'menyadarkannya'.
Ustadz Al Ghazali mengangguk sopan. “Assalamu’alaikum, Nayla. Selamat datang di pesantren. InsyaAllah, ini akan menjadi tempat yang baik untukmu.”
Alih-alih menjawab salam, Nayla hanya mendecakkan lidah. “Dengar ya, Ustadz... Saya nggak mau di sini. Jadi jangan buang waktu untuk coba mengubah saya.”
Senyum di wajah Ustadz Al Ghazali tak pudar sedikit pun. Ia hanya menatap Nayla dengan tenang, seolah sudah terbiasa menghadapi santri pembangkang.
“Kamu tidak perlu berubah untuk saya, Nayla. Tapi mungkin suatu hari nanti, kamu akan menemukan alasan untuk berubah.”
Kata-kata itu entah kenapa membuat Nayla terdiam. Namun, ia segera menggelengkan kepala. Tidak! Aku nggak akan terpengaruh!
Namun, tanpa ia sadari, pertemuan ini akan menjadi awal dari perubahan besar dalam hidupnya. Dan mungkin, tanpa bisa dicegah, hatinya juga akan tergerak oleh sesuatu yang tak pernah ia duga sebelumnya.
Hari-hari pertama di pesantren terasa seperti neraka bagi Nayla. Setiap pagi, ia harus bangun sebelum subuh, sesuatu yang sangat tidak biasa baginya. Tak ada lagi pesta, tak ada klub malam, dan yang lebih parah—tak ada kebebasan.
Namun, ada satu hal yang paling membuatnya kesal: Ustadz Al Ghazali.
Pria itu selalu muncul di setiap kegiatan pesantren. Dengan wajah tenangnya, dengan sorot matanya yang selalu tampak penuh pengertian. Nayla muak melihatnya.
Saat kajian pagi di masjid pesantren, Nayla duduk di barisan belakang dengan wajah bosan. Ustadz Al Ghazali sedang berbicara di depan, suaranya lembut namun berwibawa.
"Hati yang gelisah sering kali bukan karena keadaan sekitar, tapi karena jauhnya kita dari Allah."
Nayla mendengus pelan. Bullshit. Baginya, hidup di pesantren inilah yang membuatnya gelisah.
Setelah kajian selesai, para santri berbaris untuk memberi salam pada Ustadz Al Ghazali. Nayla mencoba kabur lebih dulu, tapi suara itu menghentikannya.
“Nayla.”
Ia memejamkan mata sejenak, lalu menoleh dengan malas. “Apa lagi?”
Ustadz Al Ghazali menatapnya dengan tenang. “Bagaimana harimu di pesantren?”
Nayla menyilangkan tangan di dada. “Seperti di penjara. Dan Anda adalah sipirnya.”
Alih-alih tersinggung, Ustadz Al Ghazali justru tersenyum kecil. “Penjara bisa menjadi tempat untuk merenung, mencari jati diri.”
Nayla mengerutkan kening. “Jangan coba-coba ceramahin saya.”
“Saya tidak berceramah. Hanya mengajak berpikir.”
Nayla menghela napas panjang. “Dengar ya, Ustadz. Saya nggak mau berubah, dan saya nggak akan tunduk di tempat ini. Papa mungkin bisa naruh saya di sini, tapi dia nggak bisa ngatur hati dan pikiran saya.”
Ustadz Al Ghazali mengangguk pelan. “Tentu saja. Hanya Allah yang bisa membolak-balikkan hati manusia.”
Nayla melengos. Ia tidak mau berdebat lebih lama. Tanpa pamit, ia langsung pergi, meninggalkan ustadz itu yang tetap berdiri tenang.
Tapi, di balik kemarahannya, ada sesuatu yang mengganggunya. Mengapa pria itu selalu tampak tidak terpengaruh oleh sikapnya? Mengapa tatapannya begitu teduh, seakan melihatnya bukan sebagai orang yang rusak, tapi seseorang yang bisa berubah?
Nayla membenci itu.
Dan semakin ia membenci Ustadz Al Ghazali, semakin sering ia memikirkannya.
Pagi itu, suasana di pesantren terasa lebih riuh dari biasanya. Para santri putri berlarian ke jendela, menyingkap tirai dengan wajah berbinar. Beberapa bahkan sudah berbisik-bisik dengan penuh semangat.
"Ustadz Al datang! Ustadz Al datang!"
"Astaghfirullah, kenapa sih Ustadz bisa setampan itu?"
"Ya Allah, aku sampai deg-degan kalau lihat beliau!"
Nayla, yang sedang duduk di serambi asrama, hanya mendengus kesal. Ia menatap ke arah sekumpulan santri yang histeris seperti melihat idol K-Pop.
"Dasar labil," batinnya.
Dari kejauhan, Ustadz Al Ghazali berjalan dengan tenang, mengenakan jubah putih bersih dan sorban di kepalanya. Cahaya matahari pagi menyorot wajahnya yang teduh dan menambah kesan berwibawa. Setiap langkahnya penuh keyakinan, dan senyumnya yang ringan justru membuat para santri semakin gempar.
"Astagfirullah... Aku nggak boleh suka sama Ustadz Al, tapi gimana dong?" seorang santri berbisik dengan pipi merona.
"Udah, kita istighfar rame-rame!" sahut yang lain sambil tertawa.
Nayla merasa mual melihatnya. Ia melipat tangan di dada, menatap sinis ke arah sosok pria yang selalu menjadi pusat perhatian. Kenapa sih semua orang tergila-gila sama dia?
Saat Ustadz Al Ghazali melewati serambi tempat Nayla duduk, pria itu melirik sekilas dan tersenyum.
"Assalamu'alaikum, Nayla," sapanya lembut.
Nayla hanya membuang muka. "Wa'alaikumsalam," jawabnya setengah hati.
Beberapa santri yang melihat itu langsung heboh.
"Astaga, Ustadz Al nyapa Nayla!"
"Nayla, kamu beruntung banget!"
"Tuh kan, aku bilang juga Nayla spesial di mata Ustadz Al!"
Nayla menatap mereka dengan mata melotot. "Diam kalian! Nggak ada yang spesial!"
Malam itu, di ruang utama pesantren, Ustadz Al Ghazali duduk berhadapan dengan Kyai Ridwan. Secangkir teh hangat mengepul di antara mereka, sementara suara jangkrik terdengar samar dari luar.
Kyai Ridwan menghela napas panjang sebelum akhirnya membuka percakapan. “Ghazali, ada sesuatu yang ingin aku titipkan padamu.”
Ustadz Al Ghazali menatap gurunya dengan tenang. “Silakan, Kyai.”
Kyai Ridwan meletakkan cangkirnya dan menatap Al Ghazali dengan sorot mata penuh kebijaksanaan. “Gadis bernama Nayla. Dia bukan santri biasa. Ayahnya, Tuan Armand, datang kepadaku dengan hati yang penuh kekhawatiran.”
Al Ghazali mengangguk, mendengarkan dengan saksama.
“Ayahnya sudah menyerah, Ghazali. Nayla terlalu liar, terlalu bebas. Hidupnya selama ini penuh dengan kemewahan dan kebebasan yang tak terkendali. Ia hobi ke klub malam, sering mabuk, dan menganggap agama tak lebih dari aturan kaku yang membatasi dirinya.”
Ustadz Al Ghazali menundukkan kepala sejenak, mencerna semua informasi itu.
“Itulah sebabnya Tuan Armand membawanya ke sini,” lanjut Kyai Ridwan. “Dia ingin anaknya menemukan jalan pulang. Dan aku percaya, kau orang yang tepat untuk membimbingnya.”
Mata Al Ghazali sedikit menyipit. “Saya?”
Kyai Ridwan tersenyum. “Kau memiliki kesabaran yang luar biasa. Kau tidak mudah tersulut emosi, dan kau tahu bagaimana cara menyentuh hati seseorang tanpa harus memaksa.”
Ustadz Al Ghazali menghela napas pelan. Bayangan Nayla yang selalu bersikap sinis dan memberontak muncul dalam pikirannya. Gadis itu jelas tak suka berada di pesantren, dan lebih dari itu—ia sangat membenci dirinya.
“Apakah Nayla tahu tentang ini, Kyai?” tanyanya.
Kyai Ridwan menggeleng. “Tidak. Jika ia tahu, ia pasti semakin membencimu. Jadi biarkan ini tetap menjadi rahasia kita.”
Ustadz Al Ghazali mengangguk. “Baik, Kyai.”
Namun, dalam hatinya, ia tahu tugas ini tidak akan mudah. Nayla bukan sekadar gadis pembangkang—ia adalah seseorang yang terjebak dalam dunia yang berbeda dari tempatnya sekarang.
Dan mungkin, di antara semua tantangan ini, yang paling sulit adalah menghadapi perasaan aneh yang mulai tumbuh di hatinya.
Ia langsung berdiri dan pergi dengan kesal. Namun, tanpa ia sadari, ada senyum tipis di sudut bibir Ustadz Al Ghazali saat melihatnya pergi.
Entah kenapa, Nayla adalah satu-satunya santri yang justru semakin menarik perhatiannya.