Lia, gadis desa Tanjung Sari, menemukan seorang pria pingsan di pematang sawah tanpa ingatan dan tanpa identitas. Ia menamainya Wijaya, dan memberi lelaki itu tempat pulang ketika dunia seolah menolaknya.
Tekanan desa memaksa mereka menikah. Dari pernikahan sederhana itu, tumbuh rasa yang tak pernah direncanakan—hingga Lia mengandung anak mereka.
Namun Wijaya bukan lelaki biasa.
Di kota, keluarga Kusuma masih mencari Krisna, pewaris perusahaan besar yang menghilang dalam kecelakaan misterius. Tanpa mereka sadari, pria yang dianggap telah mati kini hidup sebagai suami Lia—dan ayah dari anak yang belum lahir.
Saat ingatan perlahan mengancam kembali, Lia harus memilih: mempertahankan kebahagiaan yang ia bangun, atau merelakan suaminya kembali pada masa lalu yang bisa merenggut segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indah yuni rahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Orang Asing di Pematang Sawah
Ia tidak pernah menyangka hujan sore itu akan menjadi batas terakhir antara hidup yang ia kenal dan dunia asing yang menunggunya.
Mobil hitam melaju stabil di jalan aspal yang mulai lengang. Air hujan membasahi kaca, memburamkan lampu-lampu kendaraan dari arah berlawanan. Di kursi belakang, seorang pria duduk bersandar, ponsel berada di tangannya—layar menyala, tapi isinya tak benar-benar ia baca.
Kepalanya terasa berat sejak siang. Seperti ditekan dari dalam. Namun ia mengabaikannya. Ia selalu mengabaikan hal-hal kecil.
Sampai dunia menghantamnya tanpa peringatan.
BRAK!
Benturan keras membuat mobil berguncang hebat. Tubuhnya terlempar ke depan, sabuk pengaman menahan dada dengan kasar. Suara logam beradu memekakkan telinga, disusul decit rem panjang yang menusuk saraf.
“Apa-apaan—” gumamnya terputus.
Belum sempat ia bangkit, pintu mobil ditarik paksa dari luar.
“Cepat! Ambil semuanya!”
Suara asing. Kasar. Tidak dikenal. Sebuah tangan mencengkeram kerah bajunya. Pukulan datang bertubi-tubi. Ia mencoba melawan, reflek dan insting bertahan hidup mengambil alih. Tapi jumlah mereka lebih banyak. Terlalu cepat.
“Kalian siapa—!”
Sebuah benda keras menghantam kepalanya.
Rasa sakit menyambar tajam, memecah pandangannya. Dunia berputar, suara-suara menjauh seperti ditelan air. Dalam kekacauan itu, ia hanya sempat merasakan tubuhnya diseret keluar mobil, dingin aspal menyentuh kulit, lalu, hantaman kedua. Kepalanya membentur sesuatu yang keras.
Gelap. Rasa dingin lebih dulu menyadarkannya. Tanah basah menempel di pipinya. Bau lumpur dan rumput menusuk hidung. Ia mengerang pelan, mencoba bergerak, tapi kepalanya terasa seperti diikat kuat dari dalam.
Ia membuka mata. Langit di atasnya berwarna jingga pucat.
Senja.
Ia tidak tahu di mana dirinya.
Ia mencoba bangkit, namun tubuhnya bergetar dan kembali terjatuh. Tangannya refleks menopang tanah, jemarinya gemetar. Ia menatap kedua tangannya lama, seolah mencoba memastikan itu benar-benar miliknya.
Siapa aku?
Pertanyaan itu muncul tanpa jawaban. Ia mengingat hujan. Mobil. Pukulan. Lalu… kosong.
Panik merambat pelan. Ia memegangi kepalanya, berusaha memaksa ingatan kembali. Tidak ada. Tidak ada nama. Tidak ada wajah. Tidak ada rumah.
Ia menoleh ke sekeliling.
Hamparan sawah terbentang luas. Padi menguning bergoyang tertiup angin sore. Di kejauhan, rumah-rumah kayu terlihat kecil dan asing.
Desa.
Aku di desa?
Detak jantungnya berpacu. Ia mencoba berdiri lagi, kali ini berhasil, meski tubuhnya oleng. Kepalanya berdenyut hebat. Setiap langkah terasa salah, seolah tanah di bawahnya bukan tempat yang seharusnya ia pijak.
“Tenang… tenang…” gumamnya pada diri sendiri. Namun ketenangan tidak datang.
.
Di pematang sawah itu, Lia melangkah hati-hati sambil membawa keranjang anyaman berisi nasi dan lauk yang dibungkus daun pisang. Senja hampir habis. Ibunya menyuruhnya mengantar makan untuk Pak Wiryo, petani tua yang sawahnya berbatasan langsung dengan sungai kecil di ujung desa.
Lia biasanya tidak takut berjalan sendiri. Desa Tanjung Sari adalah rumahnya sejak lahir. Setiap jengkal tanah terasa akrab.
Namun sore itu, perasaannya tidak enak sejak awal. Langkahnya melambat ketika ia melihat sesuatu di depan, sekitar sepuluh langkah di ujung pematang. Ada sosok manusia. Terbaring. Tidak bergerak.
Jantung Lia berdegup keras.
“Ya Allah…” desahnya refleks.
Ia berhenti. Ragu. Mungkin hanya orang beristirahat. Atau karung.
Tapi posisi tubuh itu terlalu aneh. Terlalu diam. Dengan napas tertahan, Lia mendekat perlahan. Setiap langkah terasa berat. Semakin dekat, semakin jelas, itu seorang pria. Pakainnya bukan pakaian orang desa. Kemeja putihnya kotor oleh lumpur. Celana hitamnya kusut. Sepatu kulit mahal tergeletak tak jauh dari kakinya.
“Pak…?” panggil Lia pelan.
Tidak ada jawaban.
Ia berjongkok, menjaga jarak. Wajah pria itu pucat. Ada luka di kening. Rambut hitamnya basah oleh keringat. Napasnya terdengar berat, tapi teratur.
Hidup. Lia menghela napas lega sekaligus takut. Ia gadis desa. Sendirian. Menjelang malam. Dengan pria asing tak dikenal.
Logika menyuruhnya pergi dan memanggil orang. Tapi kakinya tidak bergerak.
Ia menyentuh bahu pria itu pelan. “Pak…." Pria itu terbangun lalu menatapnya.
Tatapan itu membuat Lia membeku. Bukan tatapan orang yang baru sadar. Bukan pula tatapan orang yang terluka biasa. Mata pria itu kosong, seperti seseorang yang kehilangan pegangan, lalu mendadak sadar bahwa dunia masih ada, tanpa tahu harus berdiri di mana.
“Kamu…” suaranya serak, nyaris tak terdengar. “Kamu siapa?”
Lia tersentak. Pertanyaan itu terdengar sederhana, tapi ada kepanikan di baliknya.
“Saya… Lia,” jawabnya pelan. “Bapak bisa dengar saya?”
Pria itu mengangguk pelan, lalu mengernyit. Tangannya terangkat, menyentuh pelipisnya sendiri, seolah mencoba meraba sesuatu yang hilang. “Ini… di mana?” tanyanya lagi.
“Di sawah. Desa Tanjung Sari,” jawab Lia hati-hati.
Pria itu terdiam. Lama. Matanya bergerak ke sekeliling pematang, padi menguning, rumah-rumah kayu di kejauhan. Napasnya memburu.
“Desa?” gumamnya. “Kenapa saya di desa?”
Lia tidak tahu harus menjawab apa. Ia menelan ludah. “Saya menemui Bapak di sini. Bapak pingsan.”
Pria itu mencoba bangkit. Tubuhnya langsung oleng. Lia refleks maju dan menahan lengannya.
“Hati-hati!” serunya. Sentuhan itu membuat pria itu menegang. Ia menatap tangan Lia yang memegang lengannya, lalu menatap wajah Lia lagi, seperti baru menyadari sesuatu yang lebih menakutkan.
“Aku…” katanya terbata. “Aku tidak ingat apa-apa.”
Lia menahan napas. “Tidak ingat… apa maksudnya, Pak?”
Pria itu menggeleng pelan. “Nama. Rumah. Dari mana aku datang.” Suaranya turun. “Aku bahkan tidak tahu kenapa kepalaku sakit begini.” Kata-kata itu membuat dada Lia sesak. Ia pernah mendengar cerita orang kehilangan ingatan, tapi menyaksikannya langsung berbeda rasanya. Lebih sunyi. Lebih mengerikan.
“Kita ke rumah dulu,” kata Lia akhirnya, memaksa suaranya tetap tenang. “Hari sudah mau gelap.”
“Rumahmu?” tanya pria itu ragu.
Lia mengangguk. “Iya. Orang tua saya ada di sana.” Ia tidak menyebutkan satu hal:
bahwa membawa pria asing ke rumah gadis desa bukan hal sepele.
Langkah mereka pelan menyusuri pematang. Pria itu bertumpu pada bahu Lia. Bobot tubuhnya jauh lebih berat dari yang Lia kira. Beberapa kali ia hampir terjatuh.
“Maaf,” ucap pria itu lirih. “Aku… tidak tahu harus ke mana.”
Lia tidak menjawab. Ia fokus menjaga langkahnya. Senja hampir habis. Lampu-lampu rumah mulai menyala satu per satu.
Beberapa pasang mata memperhatikan mereka dari kejauhan.
“Lia?” Suara ibunya terdengar begitu mereka memasuki halaman rumah. Surti berdiri di ambang pintu, wajahnya langsung berubah saat melihat kondisi pria asing itu.
“Ya Allah,” desahnya. “Ada apa ini?”
“Bu,” kata Lia cepat, “dia pingsan di sawah. Kepalanya luka.”
Surti mendekat, memperhatikan pria itu dari ujung kepala sampai kaki. Tatapannya tajam, bukan curiga, tapi waspada. “Masuk dulu,” katanya singkat.
Wiryo, ayah Lia, baru tiba. Ia berhenti di tempat saat melihat mereka.
“Siapa dia?”
“Aku tidak tahu, Pak,” jawab Lia jujur.
Wiryo menatap pria itu lama. Terlalu lama. Lalu berkata pelan, seolah pada dirinya sendiri, “Ini bisa jadi masalah.”
Pria itu duduk di kursi bambu. Surti membersihkan luka di keningnya dengan air hangat. Ia meringis, tapi tidak mengeluh.
“Kamu ingat apa pun?” tanya Surti lembut.
Pria itu menggeleng. “Kosong.”
Wiryo menghela napas panjang. “Orang luar. Tidak jelas asal-usulnya. Datang dengan kepala luka.” Ia menatap Lia. “Kamu sadar risikonya?”
Lia mengangguk. “Aku tidak bisa meninggalkannya, Pak.”
Keheningan turun. Di luar, suara jangkrik mulai terdengar. Malam datang perlahan, seperti sesuatu yang tidak bisa dicegah.
Pria itu menatap tangan sendiri, lalu berkata dengan suara hampir berbisik, “Kalau aku bukan siapa-siapa… kenapa aku masih hidup?”
Pertanyaan itu membuat ruangan terasa lebih sempit.
Surti memalingkan wajah. Wiryo menunduk.
Lia menatap pria itu lama. Ada ketakutan di matanya, ketakutan yang tidak dibuat-buat.
“Kamu tidak sendirian,” ucap Lia akhirnya. Kalimat itu keluar begitu saja, bahkan sebelum ia sempat berpikir.
Pria itu menatapnya, ragu. “Kenapa kamu menolongku?”
Lia menarik napas. “Karena kalau saya di posisi kamu… saya juga ingin ada orang yang menolongku.”
Malam itu, pria itu tidur di ruang depan, di atas tikar tipis. Lia duduk di ambang pintu kamar, menatap wajahnya dalam cahaya lampu temaram.
“Kamu tidak punya nama,” gumamnya pelan. “Tidak punya masa lalu.”
Ia terdiam sejenak.
“Besok… kita cari tahu siapa kamu,” katanya.
Di luar rumah, bayangan seseorang berhenti sejenak di ujung jalan, lalu menghilang ke gelap.
Dan Lia tidak tahu, bahwa keputusan kecil di senja hari itu akan mengikat hidupnya pada seorang pria tanpa identitas,
dan membawa bencana yang belum pernah dibayangkan oleh desa sekecil Tanjung Sari.