Ia adalah Echo bernama Jae, idol pria berwajah mirip dengan jake Enhypen. Leni terlempar kedua itu dan mencari jalan untuk pulang. Namun jika ia pulang ia tak akan bertemu si Echo dingin yang telah berhasil membuat ia jatuh cinta
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sabana01, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Shift Malam dan Cahaya Neon
Lampu neon di langit-langit Minimarket Jaya memang terang, tapi tetap saja tidak mampu menembus kabut lelah yang menggantung di mata Leni. Jarum jam sudah menunjuk ke pukul sembilan malam. Ia berdiri di balik meja kasir, seragam biru dongker dan rompi merah marun menempel di punggung yang terasa lembap. Malam itu, campuran aroma kopi instan, deterjen, dan sedikit bau sampah yang belum diangkut bercampur menjadi satu—bau yang sudah ia kenal betul. Bau perjuangan. Bau “uang pas-pasan, kerjaan tidak ada habisnya.”
“Totalnya tiga puluh tujuh ribu lima ratus, Kak,” ucapnya sambil menyodorkan kembalian, senyum yang ia pasang terasa seperti tempelan yang dipaksa.
Setelah bapak pembeli itu pergi, minimarket kembali tenggelam dalam keheningan. Hanya bunyi kulkas minuman dan napas panjang Leni yang terdengar sesekali. Tiga jam lagi. Ia sudah bekerja sejak pukul dua siang. Sejak lulus SMK, hari-harinya hampir selalu sama: mengisi rak, mengepel, menghitung stok, dan—yang paling melelahkan—memasang wajah ramah meski tubuh ingin tumbang.
Pikirannya kembali ke pagi tadi. Ibunya tersenyum sambil membereskan loyang kue.
“Len, kue lapis Ibu laku banyak di Warung Bu Siti. Kamu bantu adonannya semalam, jadi rezekinya ikut ngalir ke kamu juga, Nak.”
Ibunya—perempuan hebat yang sudah menjanda sejak Leni kelas dua SMP—bertahan tanpa banyak keluhan. Uang dari minimarket dan hasil jualan kue itu yang selalu menyambung hidup mereka. Leni tahu beban itu berat, dan karena itu ia ingin tetap kuat, meski lelahnya kadang seperti menumpuk di setiap sendi.
Secara refleks, tangannya meraih earphone yang ia sembunyikan di balik rambut. Aturannya jelas: tidak boleh memakai earphone saat kerja. Tapi tanpa musik, ia mungkin sudah tertidur sambil berdiri. Ia menekan tombol play.
“Molla, molla, nan geunyang gyesok ttwieogalge…”
Detik itu juga, “FEVER” dari ENHYPEN mengalun memenuhi kepala. Suara mereka, terutama Jake, selalu bisa memberi semangat kecil yang cukup untuk bertahan. Leni mulai merapikan mi instan di rak, kepalanya ikut bergerak pelan mengikuti irama.
Pukul sepuluh malam, supervisor datang menghitung uang di laci utama. Setelah semuanya beres, Leni mengunci pintu dan mulai mengepel lantai. Setiap gerakan membuat tubuhnya memprotes.
“Sabar, Sayang,” gumamnya untuk dirinya sendiri. “Dikit lagi selesai.”
Tepat pukul sebelas, shiftnya akhirnya berakhir. Ia pulang dengan langkah cepat melewati gang yang sepi, hanya ditemani suara sandal jepitnya yang menggesek aspal.
Sesampainya di kontrakan kecil mereka, Leni langsung ke kamar. Ruangan itu sederhana—kasur lipat, meja belajar penuh buku, dan satu-satunya dekorasi yang membuat kamar itu terasa hidup: dinding di atas meja.
Dinding itu penuh poster dan photocard ENHYPEN. Di tengah semuanya, poster besar Jake Shim tersenyum cerah. Senyum itu seolah bisa menghapus sedikit beban di dadanya.
Leni menjatuhkan tas, lalu rebah di kasur. Matanya menatap poster Jake lama sekali.
“Jake…” suaranya lirih. “Hari ini berat banget. Punggungku sakit. Senyumku hampir copot. Aku capek.”
Ia bangkit, mengambil sticky note kuning, dan menulis dengan spidol hitam.
Kepada: Jake-ssi
Capek banget hari ini. Aku angkat lima kardus air mineral sendirian. Punggungku seperti dipukul palu. Kamu pernah selelah ini? Semoga tidak. Kalau pun lelah, biarlah karena menari di panggung, bukan jualan kopi sachet kayak aku. Tolong semangatin aku. Dengerin ‘Future Perfect (Pass the MIC)’ bareng aku, ya?
Sticky note itu ia tempelkan tepat di pipi kanan Jake di poster—ritual kecil yang membuatnya merasa seperti sedang bercerita pada seseorang yang mendengarkan tanpa menghakimi.
Setelah ganti pakaian, Leni berbaring dan memutar “Tamed-Dashed”. Suara Jake mengalun lembut, membuat dadanya terasa hangat.
Ia membayangkan Jake tersenyum dan berkata, “Good job, Leni. Besok kita semangat lagi.”
Dalam bayangan sederhana itulah Leni akhirnya tertidur, membawa lelahnya, harapannya, dan suara idol yang menjadi penghibur paling setia dalam hidupnya.
Kalau kamu mau, aku bisa lanjutkan kisah ini atau buat versi yang lebih emosional, romantis, atau dramatis.