NovelToon NovelToon
Cinta Untuk Nayla & Nando

Cinta Untuk Nayla & Nando

Status: tamat
Genre:CEO / Cinta Seiring Waktu / Tamat
Popularitas:213
Nilai: 5
Nama Author: tanty rahayu bahari

Nayla, seorang ibu tunggal (single mother) yang berjuang menghidupi anak semata wayangnya, Nando, dan neneknya, tanpa sengaja menolong seorang wanita kaya yang kecopetan. Wanita itu ternyata adalah ibu dari Adit, seorang pengusaha sukses yang dingin namun penyayang keluarga. Pertemuan itu membuka jalan takdir yang mempertemukan dua dunia berbeda, namun masa lalu Nayla dan status sosial menjadi penghalang cinta mereka.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon tanty rahayu bahari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 1 : Pertemuan Di Kala Malam

Malam di Jakarta selalu punya cerita bagi penghuninya. Lampu-lampu kota berpendar bak kunang-kunang yang terperangkap dalam toples kaca raksasa, menyamarkan lelah mereka yang baru pulang bekerja.

​Begitupun dengan Nayla, wanita cantik berusia 28 tahun yang kini duduk di sudut sebuah kafe di daerah Kemang. Ia sedang menghadiri acara perpisahan salah satu teman kerjanya, Mas Iqbal. Musik live acoustic mengalun cukup keras, beradu dengan gelak tawa pengunjung.

​Di saat yang lain begitu menikmati acara dengan menyanyi dan menari, Nayla sibuk menatap layar ponselnya. Jam sudah menunjukan pukul 21.00 WIB. Bagi orang lain di Jakarta Selatan, ini masih terbilang ‘pagi’, tapi bagi Nayla, seorang ibu tunggal yang memiliki tanggungan di rumah, ini sudah sangat larut.

​"Nay," panggil Sarah, sahabat sekaligus rekan kerja Nayla, sedikit berteriak mengalahkan suara musik.

​Refleks, Nayla menoleh.

​"Nenek?" tanya Sarah, seolah bisa membaca pikiran Nayla.

​"Iya, Sar. Nando nanyain gue terus. Dia nggak mau tidur kalau belum gue puk-puk," jawab Nayla dengan nada cemas yang tak bisa disembunyikan.

​"Ya udah, lo balik aja duluan. Mereka juga nggak bakalan sadar kok kalau lo udah balik," Sarah mendongakkan wajahnya, menunjuk ke arah teman-teman kantor mereka yang sedang asyik berjoget di depan panggung kecil.

​"Gak enak gue sama Mas Iqbal, Sar. Kan ini acara dia."

​"Udah nggak apa-apa, dia pasti ngerti kok. Orangnya lagi asyik banget noh, nyanyi lagu Sheila on 7," kekeh Sarah.

​Nayla menatap pria berbadan tinggi besar—Mas Iqbal—yang sedang memegang mikrofon dengan penuh penghayatan. Ia tersenyum kecil, lalu menghela napas lega.

​"Ya udah deh gue balik ya, Sar. Titip maaf gue ke Mas Iqbal dan yang lainnya, bilangin gue ada urusan mendadak di rumah," Nayla bangkit sambil menyambar tas selempang kulit sintetiknya yang sudah mulai mengelupas di bagian talinya.

​"Hati-hati, Nay! Kabarin kalau udah sampai!"

​Nayla mengangguk dan berlalu, membelah kerumunan, meninggalkan hingar-bingar kafe yang hangat.

​Namun, begitu kakinya melangkah keluar dari pintu kaca kafe, udara malam yang dingin langsung menyergap. Di trotoar depan kafe, langkah Nayla terhenti. Ia melihat seorang wanita paruh baya duduk di bangku beton taman. Wajahnya cantik, menyiratkan sisa-sisa keanggunan masa muda. Pakaiannya—sebuah dress batik sutra yang terlihat sangat mahal—sangat kontras dengan kondisinya saat ini. Mungkin harga baju itu setara dengan gaji dua bulan Nayla.

​Wanita itu tampak pucat pasi, tangannya gemetar memegang lutut.

​"Ibu, nggak enak badan?" tanya Nayla sopan, naluri kemanusiaannya langsung mengambil alih. Ia berjongkok sedikit untuk menyamakan tinggi.

​Wanita itu mendongak. Matanya sayu. "Mbak... saya minta tolong..."

​"Ya ampun, Bu, kok pucat sekali mukanya? Ibu sakit?" tanya Nayla, kini wajahnya berubah panik. Ia menyentuh punggung tangan wanita itu. Dingin. Keringat dingin membasahi pelipisnya.

​"Saya haus, Mbak. Dan sepertinya gula darah saya rendah... kepala saya pusing sekali," ujar wanita paruh baya itu dengan suara lemah yang nyaris berbisik.

​Tanpa pikir panjang, Nayla memapah lengan ibu itu. "Ibu masuk dulu ke kafe ya, aku pesankan teh manis hangat sama kue buat Ibu."

​Wanita itu menahan langkahnya sedikit. "Tapi saya nggak punya uang, Mbak. Saya... saya baru saja kecopetan."

​Nayla tersenyum tulus. "Sudah, nggak apa-apa, Bu. Uang bisa dicari, yang penting Ibu pulih dulu. Ayo."

​Nayla membawa ibu itu kembali masuk ke area outdoor kafe yang lebih tenang. Ia dengan sigap memesan teh manis panas dan sepotong croissant cokelat.

​Satu jam berlalu. Rona merah muda perlahan kembali ke pipi wanita itu. Tangannya tak lagi gemetar setelah menghabiskan teh dan rotinya. Melihat kondisi ibu itu sudah segar, Nayla pun memberanikan diri bertanya.

​"Ibu rumahnya di mana? Apa Ibu ingat nomor telepon keluarga Ibu?"

​Wanita itu menghela napas panjang, merapikan tatanan rambutnya yang sedikit berantakan. "Rumah saya di Pondok Indah, Mbak. Tadi saya habis reuni dengan teman SMP saya di restoran sebelah. Niatnya mau pulang pesan taksi online, eh ternyata saya salah naik taksi gelap. Sopirnya jahat, tas dan perhiasan saya diambil semua, lalu saya diturunkan paksa di jalanan depan sana."

​Mata Nayla membelalak. "Ya Allah... jahat banget. Tapi Ibu nggak diapa-apain, 'kan? Nggak ada yang luka?"

​"Nggak, Mbak," jawabnya sambil menggeleng lemah. "Cuma syok saja."

​"Alhamdulillah..." Nayla mengelus dada, lega.

​Tiba-tiba, ponsel Nayla di atas meja bergetar. Layar menyala menampilkan tulisan: NENEK.

​"Sebentar ya, Bu, saya angkat telepon dulu."

​Ibu itu mengangguk sopan. Nayla berjalan sedikit menjauh agar suaranya terdengar jelas.

​"Halo, Nek? Ya ampun, Nando belum tidur juga? Iya... iya, Nek. Ini Nayla sudah mau jalan pulang kok. Maaf ya, Nek, Nayla pulangnya telat, tadi ada insiden sedikit. Iya, kasih susu dulu aja. Assalamualaikum."

​Nayla menutup telepon dengan perasaan bersalah. Ia melirik jam tangan murahnya. Sudah hampir jam setengah sebelas. Ia kembali mendekati ibu tersebut.

​"Ibu, maaf sekali... saya nggak bisa antar Ibu pulang sampai ke Pondok Indah. Motor saya nggak akan kuat, dan saya sudah ditunggu anak saya di rumah. Ibu ingat nomor telepon anak atau suami Ibu?"

​"Ingat, Mbak. Nomor anak saya," jawab wanita itu cepat.

​Nayla menyerahkan ponselnya. Wanita itu dengan jari yang masih sedikit kaku menekan serangkaian nomor.

​"Halo, Mas Adit? Ini Mama."

​Terdengar teriakan panik dari ujung telepon, suaranya cukup keras hingga Nayla bisa mendengarnya samar-samar. "MAMA! Mama di mana?! Kok HP-nya mati?! Adit lacak kok posisinya jauh banget, sempat di Serang, sekarang hilang sinyalnya!"

​Wanita itu tersenyum menenangkan, meski anaknya tak bisa melihat. "Mama kecopetan, Mas. Tapi Mama sudah aman. Mama di kafe daerah Kemang." Ia menceritakan kronologi singkatnya.

​"Ya sudah, Mama share loc pakai HP itu, Adit jemput sekarang! Mama jangan ke mana-mana! Kunci pintu kalau bisa!"

​"Iya, Mas. Mama tunggu di lobi kafe."

​Sambungan terputus. Wanita itu menyerahkan kembali ponsel Nayla.

​"Makasih banyak ya, Mbak. Saya merepotkan sekali."

​"Sama sekali nggak merepotkan kok, Bu," ujar Nayla sambil menepuk lembut punggung tangan ibu itu.

​Nayla menggigit bibir bawahnya, ragu sejenak, namun kewajibannya sebagai ibu memanggil. "Ibu... maaf sekali kalau saya tinggal di sini nggak apa-apa, 'kan? Soalnya anak saya rewel di rumah, kasihan neneknya yang jaga."

​"Iya, Mbak, nggak apa-apa. Anak saya sebentar lagi sampai kok. Oh ya, minuman dan makanannya... berapa? Biar nanti anak saya yang ganti."

​Nayla menggeleng tegas sambil tersenyum. "Nggak usah, Bu. Nggak apa-apa, saya ikhlas. Sudah saya bayar kok tadi pas pesan. Anggap saja rezeki dari Allah lewat saya."

​"Ya ampun, saya jadi nggak enak, Mbak. Apa Mbak tunggu anak saya datang dulu sebentar? Biar dia bisa berterima kasih langsung."

​"Gak usah, Bu. Takut kemalaman, nanti saya dikunciin pintu sama Nenek," ujar Nayla sambil tertawa kecil untuk mencairkan suasana. "Kalau gitu saya permisi ya, Bu. Assalamualaikum."

​"Waalaikumsalam. Sekali lagi terima kasih banyak ya, Mbak. Hati-hati di jalan, ini sudah larut malam."

​Nayla mengangguk hormat, lalu bergegas menuju parkiran motor. Dengan motor Honda Beat-nya yang sudah berusia lima tahun, Nayla membelah malam Jakarta, meninggalkan jejak kebaikan yang tak ia sadari akan mengubah hidupnya.

​Selang tiga puluh menit kemudian, sebuah sedan mewah Mercedes-Benz Maybach S-Class berwarna hitam mengkilap memasuk pelataran parkir kafe yang sempit itu. Kehadiran mobil itu menarik perhatian tukang parkir dan beberapa pengunjung yang masih tersisa.

​Dari pintu kemudi, keluar seorang pria tinggi—sekitar 180 cm. Wajahnya tampan dengan rahang tegas, kulitnya putih bersih terawat. Jas mahalnya tampak sedikit kusut, seolah ia baru saja berlari atau menyetir dengan gila-gilaan. Di wajahnya tersirat kepanikan luar biasa.

​Ia berjalan cepat, langkah kakinya lebar dan tegas, matanya menyisir isi kafe seperti elang mencari mangsa, hingga berhenti di sudut kanan.

​"Mas Adit!" panggil ibu paruh baya itu.

​Bahu Adit merosot lega. Ia menghampiri mamanya dan langsung memeluk wanita itu erat, tidak peduli dengan tatapan orang-orang. "Mama beneran nggak apa-apa, 'kan? Ada yang luka? Ada yang sakit? Kita ke rumah sakit sekarang?"

​Ibunya menepuk punggung Adit. "Mama baik-baik aja, Mas. Cuma sedikit lemas tadi karena telat makan dan syok, tapi sudah makan dan minum manis kok."

​Adit melepaskan pelukannya, menangkup wajah ibunya, memastikan tidak ada memar. "Syukurlah. Ayo pulang, Ma. Mama perlu istirahat total. Biar urusan copet itu Adit yang urus sama polisi besok."

​"Iya, ayo."

​"Bentar, Adit bayar dulu makanan Mama." Adit hendak mengeluarkan dompet kulitnya.

​"Udah dibayar, Mas."

​Adit mengerutkan kening. "Sama siapa?"

​"Mbak yang nolong Mama."

​Mata Adit kembali menyisir sekeliling kafe. "Orangnya mana, Ma? Adit mau bilang makasih dan ganti uangnya. Minimal kasih imbalan karena udah selamatin Mama."

​Ibunya tersenyum tipis, menatap pintu keluar yang kosong. "Udah pulang, Mas. Katanya takut nggak dibukain pintu rumah karena anaknya udah nunggu."

​Adit mengangkat alisnya, sedikit terkejut. Jarang sekali ada orang yang menolong tanpa pamrih di kota sekeras Jakarta, apalagi melihat penampilan mamanya yang jelas-jelas orang berada.

​"Udah nggak apa-apa, Mas. Mama juga nggak enak ngerepotin kalau nahan dia. Tadi mama pakai HP-nya buat telepon Mas Adit, 'kan? Cek saja di log call HP Mas, pasti ada nomornya. Nanti Mas bisa hubungi dia."

​Adit mengecek ponselnya. Benar saja, ada satu nomor tak dikenal di daftar panggilan masuk terbaru. Ia menatap nomor itu sejenak, lalu menyimpannya dengan nama 'Penolong Mama'.

​"Oke, nanti Adit hubungi. Sekarang kita pulang." Adit memapah mamanya dengan lembut menuju mobil mewah itu, meninggalkan kafe yang menjadi saksi bisu pertemuan yang terlewatkan.

...****************...

Bersambung....

Terima kasih telah membaca 💞

Jangan lupa bantu like komen dan share ❣️

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!