Cinta seharusnya tidak menyakiti. Tapi baginya, cinta adalah awal kehancuran.
Yujin Lee percaya bahwa Lino hanyalah kakak tingkat yang baik, dan Jiya Han adalah sahabat yang sempurna. Dia tidak pernah menyadari bahwa di balik senyum manis Lino, tersembunyi obsesi mematikan yang siap membakarnya hidup-hidup. Sebuah salah paham merenggut persahabatannya dengan Jiya, dan sebuah malam kelam merenggut segalanya—termasuk kepercayaan dan masa depannya.
Dia melarikan diri, menyamar sebagai Felicia Lee, berusaha membangun kehidupan baru di antara reruntuhan hatinya. Namun, bayang-bayang masa lalu tidak pernah benar-benar pergi. Lino, seperti setan yang haus balas, tidak akan membiarkan mawar hitamnya mekar untuk pria lain—terutama bukan untuk Christopher Lee, saudara tirinya sendiri yang telah lama mencintai Yujin dengan tulus.
Sampai kapan Felicia harus berlari? Dan berapa harga yang harus dibayar untuk benar-benar bebas?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Phida Lee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Prolog
Udara di lorong lantai tiga Rumah Sakit Universitas Haesung terasa pengap, meskipun jendela-jendela tinggi telah dibuka paksa oleh angin musim gugur yang kencang. Bau antiseptik yang tajam berbaur dengan aroma ketegangan yang menyesakkan, menciptakan suasana mencekam yang bahkan sanggup membuat pasien yang terbaring di kamar terdekat ikut merasakan getarannya.
Di sudut lorong, di luar kamar rawat inap nomor 307, kamar di mana Lee Yujin terbaring tak berdaya, dua sosok pria dewasa tengah beradu pandang, mata mereka menyala dengan kebencian dan keputusasaan yang tak tertahankan.
Christopher, dengan kemejanya yang kini kusut dan napas memburu, adalah yang pertama kali melepaskan pukulan. Tinju kerasnya mendarat telak di rahang Lee Lino.
𝘉𝘶𝘨𝘩!
Lino terhuyung ke belakang, sudut bibirnya pecah dan segera mengeluarkan aliran darah kental. Namun, alih-alih meringis kesakitan, ia justru menyeringai lebar—senyum kemenangan yang dingin dan gila.
“Begitu?” Lino meludah, membersihkan darah dengan punggung tangan. “Kau mengira satu pukulan itu cukup, Hyung? Mengira kau bisa membersihkan aibnya dengan kekerasan murahanmu?”
Christopher mencengkeram kerah Lino dengan gemetar, matanya merah menyala. “Aib? Kau sebut itu adalah aib, bajingan! Kau menghancurkan hidupnya! Dia adikku—dia keluargamu!”
“Keluarga?” Lino tertawa, tawa sumbang yang bergema sinis di lorong sepi itu. “Kau baru tahu sekarang? Setelah dia rela mempertaruhkan nyawanya dan mengandung benihku, baru kau mengklaimnya sebagai keluarga? Lucu sekali, Christopher.”
Christopher mendorong Lino hingga punggungnya membentur dinding koridor yang dingin. “Kau tidak punya hati, Lino. Kau tahu dia mencintai orang lain. Kau tahu dia masih suci. Tapi kau—kau merenggutnya, karena obsesi gilamu!”
“Obsesi?” Lino membalas sengit, suaranya meninggi. “Itu bukan obsesi, itu memang sudah menjadi hakku! Sejak awal, Yujin memang ditakdirkan untukku. Hanya aku! Bukan kau, si anak haram yang datang merebut segalanya dari tanganku!”
Christopher terdiam, lidahnya kelu. Kata-kata "anak haram" menusuknya tepat di ulu hatinya, namun rasa marahnya pada Lino jauh melampaui rasa sakit pribadi.
“Kau pengecut!” desis Christopher. “Kau punya Jiya! Han Jiya, kekasihmu! Dia sangat mencintaimu, dan kau menghancurkan Yujin di belakangnya!”
Mendengar nama itu, Lino mendengus jijik. “Han Jiya? Kau pikir aku benar-benar mencintainya? Christopher, kau selalu naif dan bodoh.” Lino memajukan wajahnya, tatapannya merendahkan.
“Jiya hanyalah alat untukku. Jiya hanyalah jembatan bagiku. Jiya hanyalah tameng agar aku bisa mendekati Yujin tanpa dicurigai. Jiya? Dia sangat mudah, dia bodoh, dan dia terlalu mencintaiku hingga membutakannya. Aku tidak pernah mencintainya. Sejak awal, tujuanku hanyalah Yujin!”
Dinding itu runtuh.
Bukan dinding kamar, melainkan dinding pertahanan yang dibangun oleh Han Jiya selama bertahun-tahun.
Di ujung lorong, di antara kerumunan beberapa perawat dan pengunjung rumah sakit yang menyaksikan pertengkaran dua pria tampan itu, Han Jiya berdiri mematung. Wajahnya yang semula cemas karena mendengar keributan, kini pucat pasi, seperti mayat yang baru saja bangkit dari kubur.
Ia baru saja tiba, hendak menjenguk sahabatnya, Yujin, sahabat yang sempat ia jauhi karena kesalahpahaman yang kini baru ia sadari sepenuhnya.
Setiap kata-kata Lino, kekasih yang ia cintai dengan tulus, kekasih yang ia perjuangkan untuk tetap bersamanya meskipun ia sempat bingung dengan perubahan sikap Lino, benar-benar telah menusuknya.
𝘑𝘦𝘮𝘣𝘢𝘵𝘢𝘯.
𝘈𝘭𝘢𝘵.
𝘔𝘶𝘥𝘢𝘩 𝘥𝘢𝘯 𝘣𝘰𝘥𝘰𝘩.
Kepalanya terasa kosong, namun hatinya terasa seberat timah panas yang baru saja dituangkan ke dalamnya. Selama ini, ia hidup dalam kebohongan. Selama ini, air matanya, cintanya, dukungannya, semua hanya tawa di mata Lino. Ia bahkan sempat menuduh Yujin yang tidak bersalah sebagai "pelakor."
Ia ingin berlari ke sana, meneriaki Lino dan mencabik-cabik senyum iblis di wajahnya. Namun, kakinya terpaku di lantai. Ia terlalu shock, terlalu hancur untuk bergerak.
Perkelahian fisik itu berlanjut. Christopher, yang kini semakin murka karena pengakuan Lino tentang Jiya, mendorong Lino lebih keras.
“Kau menghancurkan dua wanita sekaligus, hanya untuk memuaskan ego biadabmu! Kau bahkan tega menodai kehormatan adikmu sendiri! Kau tahu kau akan segera jadi ayah, dan kau masih bisa berdiri tegak di sini seolah kau adalah pemenangnya?” teriak Christopher dengan suara serak.
Lino berhasil melepaskan diri dari cengkeraman Christopher. Ia menyeka darahnya lagi, tatapannya menyiratkan pemujaan yang menjijikkan.
“Tentu saja aku pemenangnya. Karena benihku sudah ada di rahim Yujin. Cepat atau lambat, dia akan mencariku. Dia akan menuntut pertanggungjawaban dariku. Dan saat itu tiba, Yujin akan menjadi milikku. Selamanya. Anakku akan memanggilku Ayah, dan kau, Christopher, hanya akan jadi bayang-bayang masa lalu.”
Lino melirik ke kamar 307. “Biar kugambar di kepalamu, Hyung. Aku tidak akan membiarkanmu menang. Aku sudah lama membencimu, dan sekarang, aku memiliki alasannya.”
Perkataan Lino begitu tajam dan begitu percaya diri. Ia berbicara seolah-olah Yujin hanyalah sebuah piala, sebuah properti yang bisa ia rebut dengan paksa.
Kerumunan yang menonton mulai bersorak, meminta agar perkelahian itu dihentikan. Salah seorang perawat akhirnya maju, mencoba melerai Christopher.
“Tuan, mohon tenang! Ini rumah sakit!”
Christopher, dengan napas tersengal, melepaskan cengkeramannya dari kemeja Lino. Ia menatap Lino dengan sorot mata yang penuh janji—janji untuk membayar semua penderitaan Yujin.
“Kau tidak akan pernah mendapatkannya. Tidak akan pernah. Aku tidak akan membiarkan Yujin dan anak itu jatuh ke tangan iblis sepertimu.”
“Kita lihat saja, Christopher. Kita lihat saja,” Lino menyeringai puas, sebelum akhirnya berbalik dan melangkah menjauh, seolah ia baru saja menyelesaikan transaksi bisnis yang menguntungkan.
Di saat itulah, ketika Lino menghilang dari pandangan dan Christopher ditinggalkan sendirian dalam kemarahan yang membara, Jiya akhirnya bergerak.
Tubuhnya gemetar hebat, air mata panas mengalir deras tanpa suara. Ia tidak memedulikan Christopher yang kini berdiri membelakanginya. Yang ia pedulikan hanyalah satu hal: Yujin.
Dalam kehancurannya, naluri persahabatannya mengambil alih. Ia menerobos kerumunan kecil yang tersisa, kakinya membawanya mendekati Christopher yang tampak seperti patung yang baru saja dihidupkan.
“Chris, Oppa!” panggil Jiya, suaranya serak dan hampir tidak terdengar.
Christopher menoleh, terkejut melihat Jiya ada di sana. Wajahnya yang marah seketika berubah menjadi rasa bersalah dan kaget. Jiya ada di sana. 𝘈𝘱𝘢𝘬𝘢𝘩 𝘥𝘪𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘳 𝘴𝘦𝘮𝘶𝘢𝘯𝘺𝘢?
Jiya tidak memberikan waktu bagi Christopher untuk berbicara atau pun berdalih. Matanya yang sembap dan merah menatap lurus, penuh keputusasaan.
“Di mana… di mana Yujin dirawat?” Jiya bertanya, suaranya bergetar hebat. “Tolong, katakan padaku. Aku harus minta maaf padanya. Aku harus memberitahunya bahwa aku tahu. Aku tahu aku salah.”
Christopher terpaku. Ia melihat sahabat Yujin itu telah hancur total, menjadi korban lain dari kegilaan Lino.
“Jiya… kau… apa kau mendengar semuanya?” Christopher bertanya dengan hati-hati.
“Aku mendengarnya!” sela Jiya, emosinya meledak dalam tangisan yang pecah. Ia tidak peduli lagi siapa yang mendengar, tidak peduli dengan rasa malu. “Aku mendengar bagaimana dia memanfaatkanku. Bagaimana dia menghinaku. Dan bagaimana aku menuduh Yujin. Sekarang aku tahu. Aku tahu aku bodoh. Tolong… bawa aku ke Yujin.”
Melihat kondisi Jiya yang benar-benar terpukul, Christopher tidak tega. Dia mengangguk pelan, kemudian meraih lengan Jiya, menuntunnya masuk ke kamar 307, kamar di mana semua tragedi ini bermuara, kamar di mana Lee Yujin sedang berjuang sendirian melawan trauma yang baru saja menimpanya.
.
.
.
.
.
.
.
ㅡ Bersambung ㅡ