NovelToon NovelToon
Balas Dendam Putri Mahkota

Balas Dendam Putri Mahkota

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / Fantasi Wanita / Mengubah Takdir
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: Salsabilla Kim

Pada malam pernikahannya, Hwa-young seharusnya meminum racun yang memulai kehancurannya. Namun, takdir memberinya kesempatan kedua. Ia kembali ke malam yang sama, dengan ingatan penuh akan pengkhianatan dan eksekusinya. Kini, setiap senyum adalah siasat dan setiap kata adalah senjata. Ia tidak akan lagi menjadi pion yang pasrah. Menghadapi ibu mertua yang kejam dan suami yang penuh curiga, Hwa-young harus mengobarkan perang dari balik bayang-bayang untuk merebut kembali takdirnya dan menghancurkan mereka yang telah menghancurkannya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Salsabilla Kim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Malam Pernikahan yang Terulang

Dingin.

Bukan dinginnya baja yang seharusnya memenggal kepala seorang wanita bangsawan cantik dari Dinasti Joseon. Ini dingin yang lain, dingin yang merayap masuk, membekukan tulang dari dalam. Dinginnya kesadaran.

Jerat tali yang serasa membakar kulit kini lenyap, digantikan oleh belaian sutra yang halus. Bau anyir darah dan putus asa menguap, terganti oleh wangi pekat dupa cendana dan aroma manis bunga plum. Hwa-young mengerjapkan matanya. Bukan langit kelabu di atas panggung eksekusi yang menyambutnya, melainkan kanopi ranjang pernikahan berwarna merah delima, disulam benang emas dengan motif sepasang phoenix yang tengah bercumbu.

Napasnya tersentak, merobek paru-parunya yang seolah sudah lupa caranya bernapas. Ia terbatuk hebat, tangan dinginnya langsung merengkuh leher. Ia meraba, memastikan. Sentuhan kulit yang mulus, tidak ada sayatan, tidak ada bekas tali yang membakar. 

"Aku ... di mana?" bisiknya. Suara itu terdengar asing, serak seperti kertas amplas di telinganya sendiri.

Ia memaksa tubuhnya untuk duduk. Gaun pengantin yang berat terasa seperti pemberat besi, lapisan-lapisan brokat dan sutranya mencekik. Ruangan ini ... Astaga, ia kenal ruangan ini. Paviliun Bulan Baru, kamar pengantin Pangeran Mahkota. Setiap detailnya terukir di benaknya, bukan sebagai kenangan manis, tapi sebagai awal mula neraka. Meja rias kayu hitam bertabur mutiara, cermin perunggu yang memantulkan bayangan samar, dan guci porselen berisi arak pernikahan yang tak pernah ia sentuh.

Semuanya sama persis seperti malam itu.

"Tidak mungkin," gumamnya, tubuhnya mulai bergetar hebat. Kepanikan sedingin es mulai mencengkeram perutnya. "Ini cuma ilusi. Sisa-sisa kesadaran sebelum benar-benar mati."

Ia beringsut turun dari ranjang, kakinya gemetar, hampir tak sanggup menopang tubuhnya. Gaun mewah itu menyapu lantai kayu yang mengilap saat ia terhuyung-huyung menuju cermin perunggu.

Di sana, seorang wanita menatapnya balik, matanya membelalak ngeri. Wajah itu adalah wajahnya, tapi versi yang sudah lama mati. Pipinya masih merona sehat, bibirnya masih penuh, dan matanya ... matanya belum mati. Belum ada bayang-bayang pengkhianatan dan kebencian tak berujung yang menenggelamkannya. Dengan jemari gemetar, ia menyentuh pantulan wajahnya. Hangat. Nyata.

Ini adalah Hwa-young pada malam pernikahannya. Malam ia menyerahkan takdirnya pada pria yang hanya akan diam membisu saat ia diseret ke tiang gantungan. Malam ia resmi menjadi pion dalam permainan Keluarga Kang.

"Aku ... kembali?"

Ingatan itu menghantamnya seperti ombak badai. Wajah dingin Yi Seon yang tak peduli. Senyum licik Matriarch Kang, ibu mertuanya. Tuduhan palsu yang membunuh ayahnya, menghancurkan keluarganya, dan menempatkan kepalanya di ujung pedang algojo. Cacian rakyat yang meneriakinya pengkhianat. Semuanya berputar di kepalanya, begitu hidup, begitu sakit.

Ia luruh ke lantai, napasnya tersengal-sengal. "Tidak ... tidak, aku tidak mau mengulanginya lagi!"

Lari. Hanya itu yang otaknya jeritkan. Kabur dari istana terkutuk ini, dari nasib buruk yang sudah ia hafal di luar kepala. Melarikan diri, mengganti nama, hidup di desa terpencil. Ia bisa. Ia tahu setiap celah keamanan istana, hafal setiap jadwal patroli. Pengetahuan dari masa depan, itu adalah tiket tunggal menuju kebebasan. 

Namun, bayangan lain menyergapnya. Wajah Ibu yang tersenyum pasrah saat racun menyentuh bibirnya. Wajah Ayah yang tetap angkuh meski diseret ke penjara bawah tanah. Mereka mati dengan nama terinjak-injak. Semua karena Keluarga Kang.

Kalau ia lari, mereka menang. Matriarch Kang akan mencari pion baru, Yi Seon akan tetap jadi bonekanya, dan kekaisaran ini akan terus membusuk dari dalam. Kematian keluarganya jadi sia-sia. Penderitaannya tak akan ada artinya.

"Tidak," desisnya, seperti geraman hewan yang terluka. Tinjunya menghantam lantai kayu, rasa sakit tajam yang menjalar adalah bukti, ia hidup. Ini nyata. "Aku tidak akan lari."

Matanya yang tadi dipenuhi ketakutan kini menyala dengan api yang berbeda. Api yang dingin, tajam, dan penuh perhitungan. Dendam.

Ia bangkit perlahan, setiap gerakannya kini sarat tujuan. Gaun pengantin yang tadinya terasa mencekik, kini ia pandang sebagai baju zirahnya. Kamar pengantin yang tadinya adalah sel penjaranya, kini adalah medan perang pertamanya.

"Dulu, kalian merampas semuanya dariku," bisiknya pada bayangannya di cermin. "Keluargaku, kehormatanku, nyawaku. Sekarang ... giliranku."

Ini bukan lagi soal bertahan hidup. Ini soal pembalasan. Ia tak akan lagi jadi Putri Mahkota naif yang penurut. Ia akan jadi hantu dari masa depan, predator yang bersembunyi di balik senyum paling anggun. Ia akan memakai semuanya. Pengetahuannya, skandal yang ia tahu, kelemahan finansial, pengkhianatan tersembunyi Keluarga Kang, akan ia gunakan untuk melumat mereka dari dalam.

Dan Chungmae. Jaringan intelijen ekonomi warisan ibunya. Di kehidupan lalu, ia baru tahu saat semuanya sudah terlambat. Kali ini, ia akan membangkitkannya dari awal. Chungmae akan menjadi pedangnya, perisainya, mesin perang yang akan menggulung kerajaan korup Keluarga Kang.

Sumpah itu terpatri dalam hening hatinya, sebuah kontrak berdarah dengan masa lalunya. Ia takkan gagal lagi.

Tepat saat tekadnya mengeras menjadi baja, sebuah suara memecah keheningan.

Tok. Tok. Tok.

Ketukan di pintu.

Jantung Hwa-young berdebar kencang, bukan karena takut, tapi karena sebuah antisipasi yang tajam dan membakar. Ia tahu siapa yang datang. Ia ingat persis alur malam ini.

Hwa-young menarik napas, dalam dan panjang, mengubur badai di dadanya di bawah ketenangan yang beku. Ia merapikan gaunnya, melangkah anggun ke arah pintu, dan memasang wajah pengantin baru yang pemalu dan gugup. Topeng pertamanya.

"Masuk," ucapnya, suaranya sengaja dibuat sedikit gemetar.

Pintu bergeser terbuka. Puan Choi melangkah masuk, diikuti dua pelayan yang membawa nampan pernis hitam. Wanita itu membungkuk dalam, senyum tipis tersungging di bibirnya, senyum yang sama licinnya dengan ular, senyum yang sama yang Hwa-young lihat saat ia dilempar ke penjara.

"Selamat atas pernikahan Anda, Yang Mulia," kata Puan Choi, matanya menelusuri Hwa-young dari ujung rambut hingga ujung kaki, seolah sedang menaksir harga seekor kuda. "Ibu Suri menitipkan salam hangat. Beliau mengirimkan hadiah untuk memastikan malam pertama Anda penuh berkah."

"Ibu Suri sungguh perhatian," balas Hwa-young, menundukkan kepala dengan patuh. Permainan telah dimulai.

Puan Choi memberi isyarat. Seorang pelayan maju, menyodorkan nampan. Di atasnya, ada cawan porselen seladon yang indah, mengeluarkan uap tipis beraroma ginseng dan sesuatu yang manis-memuakkan.

"Ini ramuan penyubur kandungan, racikan khusus dari tabib pribadi Keluarga Kang," jelas Puan Choi, senyumnya semakin lebar. "Agar Yang Mulia bisa segera menghadiahkan kekaisaran seorang pewaris."

Hwa-young menatap cawan itu. Jantungnya serasa dicengkeram tangan es. Aroma itu ... ia kenal. Aroma yang selama bertahun-tahun di kehidupan lalunya membuatnya lemas, pikirannya berkabut, dan rahimnya sedingin kuburan. Ini bukan ramuan penyubur.

… Ini bukan ramuan penyubur.

Ini adalah cawan racun pertamaku. 

Pandangan Hwa-young terkunci pada cawan seladon itu. Uap tipis yang mengepul seolah berubah menjadi hantu-hantu masa lalunya, menari-nari dan mengejeknya. Di kehidupan sebelumnya, ia meminumnya tanpa curiga, dengan kepatuhan seorang istri yang bodoh. Hasilnya adalah tubuh yang lemah, pikiran yang berkabut, dan rahim yang tak pernah bisa memberikan keturunan, alasan sempurna untuk menyingkirkannya nanti.

Menolak hadiah dari Ibu Suri pada malam pernikahan adalah sebuah penghinaan. Sebuah deklarasi perang yang terlalu dini. Ia belum siap.

Menerimanya berarti menyerahkan tubuhnya pada racun yang sama, memulai jalan penderitaan yang sudah pernah ia lalui.

Puan Choi mengawasinya, senyumnya tak goyah, tapi matanya setajam elang yang menunggu mangsanya membuat satu gerakan salah. Seluruh ruangan seolah menahan napas, menunggu keputusannya.

Hwa-young perlahan mengangkat tangannya yang gemetar, jarinya yang dingin menyentuh porselen yang hangat itu. Ia mengangkat wajahnya, memasang senyum paling manis dan paling rapuh yang bisa ia ciptakan. 

"Sampaikan terima kasihku pada Ibu Suri," bisiknya, suaranya seperti kelopak bunga yang jatuh.

Kepuasan melintas di mata Puan Choi. Ia menang.

Tepat saat Hwa-young hendak mengambil cawan itu, sebuah bayangan panjang jatuh dari pintu yang masih terbuka. Sebuah suara memecah keheningan yang tegang.

"Sepertinya aku datang di saat yang kurang tepat."

Suara itu dingin, tanpa nada, seperti gemerincing es. Hwa-young tidak perlu menoleh. Setiap sel di tubuhnya mengenali suara itu, suara yang menghantuinya bahkan setelah napas terakhirnya.

Puan Choi dan para pelayan langsung bersujud. "Salam, Yang Mulia Pangeran Mahkota."

Yi Seon melangkah masuk. Pria itu, suaminya, berdiri di sana dalam balutan jubah sutra biru tua, wajahnya setampan pahatan dewa dan sedingin es di puncak gunung. Matanya yang gelap menatap pemandangan di depannya, istri barunya yang hendak menerima sebuah cawan dari pelayan ibu surinya, tanpa minat sedikit pun.

Ia melirik cawan di tangan pelayan itu, lalu tatapannya beralih pada Hwa-young. Tidak ada kehangatan di sana, hanya penilaian yang datar.

"Hadiah dari Ibu Suri?" tanyanya, lebih seperti sebuah pernyataan daripada pertanyaan.

Hwa-young menelan ludah, tenggorokannya terasa kering. "Benar, Yang Mulia."

Yi Seon mengangguk pelan, seolah semua itu adalah hal paling wajar di dunia. Ia berjalan mendekat, setiap langkahnya tak bersuara, kehadirannya memenuhi ruangan dan menyesakkan napas Hwa-young. Ia berhenti tepat di depan Puan Choi, tapi matanya tak pernah lepas dari Hwa-young.

Lalu, dengan ketenangan yang mengerikan, ia berkata. Tangannya terangkat, menunjuk cawan itu.

"Kalau begitu, minumlah.”

1
Putri Haruya
Mohon maaf ya buat yang menunggu aku update. Bulan November ini, aku sibuk dengan acara di rumah. Jadi, aku banyak bantu keluarga juga sampai gak sempat nulis. Aku ada penyakit juga yang gak bisa kalo gak istirahat sehabis bantu-bantu. Jadi, mohon pengertiannya ya. Nanti malam In Shaa Allah aku nulis lagi. Tapi, kalo besok-besok aku gak update berarti aku sedang ada halangan, ya.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!