Sejak kecil, Eyliana terbiasa dengan kesepian. Rumahnya bukan tempat bernaung, melainkan medan perang tanpa henti antara kedua orang tuanya. Kematian mereka tidak meninggalkan duka, justru tawa ironis yang melegakan. Berbekal warisan, ia merintis karier sebagai aktris, tetapi popularitas membawa tantangan baru—pengkhianatan, fitnah, dan obsesi gelap dari penggemar.
Saat sebuah tragedi merenggut nyawanya, Eyliana terbangun kembali. Bukan di dunianya, melainkan di dalam komik 'To Be Queen', sebagai Erika, si putri sempurna yang hidupnya penuh kebahagiaan. Ironisnya, kehidupan impian ini justru membuatnya cemas. Semua pencapaiannya sebagai Eyliana—kekayaan, koleksi, dan orang-orang terpercaya—kini lenyap tak berbekas. Eyliana harus beradaptasi di dunia yang serba sempurna ini, sambil bertanya-tanya, apakah kebahagiaan sejati benar-benar ada?
"Haruskah aku mengikuti alur cerita komik sebenarnya?" Pikir Eyliana yang berubah menjadi Erika Serriot
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moonbellss, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1 Sebuah Keluarga?
“Jika kau tidak bisa dimiliki, lebih baik kau tiada," bisik pria itu di telinga Eyliana. Penglihatan Eyliana mulai kabur, ia hanya bisa melihat senyum lelaki itu. Ia tidak bisa berteriak karena rasa takut dan sakit yang luar biasa. Ambulans datang terlalu lama, membuat Eyliana kehilangan nyawanya. Tapi itu bukan akhir dari segalanya, melainkan awal lembaran cerita bagi Eyliana.
Flashback
Malam Hari di Suatu Keluarga
"DASAR KAU ISTRI TIDAK BERGUNA!! KAU HANYA BERSANTAI DI RUMAH. SEDANGKAN AKU HARUS BEKERJA KERAS" teriak seorang pria paruh baya sambil menampar istrinya dengan sangat keras.
Suasana tegang di rumah yang dihuni orang tua dan seorang anak ini sering terjadi. Ayah yang pulang dengan keadaan mabuk berat dan tercium aroma alkohol di seluruh tubuhnya adalah hal yang tidak asing lagi. Ibu yang sering menjadi samsak tinju ketika ayah tersulut amarah sedikit saja. Entah apa yang mereka ributkan setiap harinya. Mungkin karena tidak ada makanan di meja makan, tumpukan piring kotor, atau mungkin karena melihat wajah istri yang menurutnya kurang menarik. Entahlah, semua bisa menjadi alasan pertengkaran.
Sementara itu, anak perempuan mereka satu-satunya sedang duduk membaca komik di dalam kamar. Ia mendengar pertengkaran kedua orang tuanya, tetapi tetap tersenyum. Seolah-olah kamarnya kedap suara, atau telinganya sudah terbiasa. Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka lebar dengan suara keras. 'BRAKK!'
"EYLIANA! ANAK INI! SUDAH KU KATAKAN CEPAT TIDUR! KENAPA KAU BELUM JUGA TIDUR?!" seru ibunya, memasang wajah kesal karena anaknya membaca komik dengan wajah bahagia.
Ibu itu merasa kesal karena hanya dialah yang menderita di kehidupan ini. Eyliana menatap ibunya dengan wajah datar. Jika dia masih berumur lima tahun, ia akan takut, menangis, dan gemetar hebat melihat wajah ibunya yang marah. Tetapi tidak untuk Eyliana yang sudah berusia 16 tahun. Kebiasaan ini menuntut Eyliana menjadi anak yang kuat, mati rasa, dan lupa cara menangis. Eyliana hanya menatap ibunya tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Ibu itu mendekati Eyliana dengan langkah berat dan merebut komik di tangannya dengan paksa. "BACA KOMIK?! TIDAK ADA GUNANYA! LAKUKAN LAH YANG BERGUNA. KAU PIKIR JIKA MEMBACA KOMIK DAPAT MENGHASILKAN UANG HAH?" katanya sambil merobek setiap halaman buku Eyliana, seolah-olah amarahnya tersalurkan di setiap sobekan.
Ia lalu melemparkan robekan kertas itu ke wajah Eyliana dengan kasar. Wajah Eyliana tidak bisa menyembunyikan kebencian yang sudah terpendam selama 16 tahun. Ibu yang melihat wajah itu tak segan-segan meninju anak kandungnya sendiri. 'BUKGG!'
Eyliana hanya merintih kesakitan sambil memegang pipi kanannya. Rahang bawahnya terasa seperti ingin lepas, dan ia bisa merasakan darah keluar dari sudut bibirnya.
"Sial. Aku belum selesai baca bukunya dan itu buku baru yang aku beli," gumam Eyliana pelan, hanya mengkhawatirkan komiknya.
Ibunya yang mendengar samar-samar, mempertanyakan perkataan Eyliana. "APA KAU BILANG?! BAGAIMANA BISA KAU MENGATAKAN ITU! DASAR ANAK YANG TIDAK DI UNTUNG" tanyanya sambil mengepalkan kedua tangannya dengan kuat.
Eyliana menatap ibunya, lalu menggelengkan kepalanya. "Apa Ibu sudah puas memukul saya hanya sekali?" tanyanya dengan wajah datar.
Seolah-olah ini adalah hal biasa baginya, setelah ibu dimarahi ayah, ia akan melampiaskan amarahnya pada anak kandungnya. Ibu Eyliana sangat kesal mendengar perkataan itu dan tidak bisa menahan diri. Ia memukulinya secara brutal. Ditampar, ditinju, ditendang, dan rambutnya ditarik, seolah-olah Eyliana adalah boneka pelampiasan amarah. Jangan tanya seberapa sakit fisiknya. Berulang kali ia merintih, tetapi air matanya tidak menetes lagi. Eyliana hanya menahan rasa sakit itu sambil merapatkan giginya.
Ibu dan ayah Eyliana selalu mengatakan bahwa Eyliana tidak berguna. Anak yang tidak bisa diatur. Tidak bisa dibanggakan. Anak yang membawa sial. Eyliana sendiri tidak pernah tahu alasan kedua orang tuanya sangat membenci dirinya.
"TIDAK SEHARUSNYA KALIAN MELAHIRKANKU!! SAYA TIDAK PERNAH MENGHARAPKAN INI SEMUA" adalah kata yang sering terucap oleh Eyliana saat ia kesal pada orang tuanya.
Meskipun Eyliana tidak diurus oleh orang tuanya, beberapa tetangga bersimpati padanya. Ada yang memberinya uang jajan dan makanan. Terkadang, Eyliana juga diizinkan tidur di rumah mereka jika kondisi rumahnya sedang tidak baik.
"Kau anak yang cantik, tapi kau tidak beruntung memiliki keluarga seperti itu," kata salah satu tetangganya sambil mengelus kepalanya.
Eyliana tersenyum mendengar ucapan bibi tetangga itu. "Ehei, aku orang yang beruntung karena bisa bertemu Bibi yang baik hati, walaupun mendapat orang tua seperti itu," kata Eyliana dengan ceria. Mendengar pujian Eyliana membuat Bibi itu tersenyum malu. “Apakah aku harus mengangkatmu jadi anak?” Kata Bibi itu mencubit pipi Eyliana yang tertawa. “Sayang sekali anak Bibi semua perempuan, Jika ada lelaki, akan aku jodohkan kalian” Kata salah satu Bibi lain yang sedang bersamanya. Mereka tertawa begitu juga Eyliana. Tapi hati Eyliana sedikit kesal walaupun dia harus memasang wajah ceriannya. ‘Aku bukan barang yang dimiliki sesukanya’ Pikir Eyliana di pelukan salah satu Bibi tetangganya.
Bibi itu hanya mengelus kepala Eyliana. Anak itu berjuang hidup dengan kasih sayang dari orang lain. Eyliana tidak masalah harus berakting lucu, baik, manis, dan sopan di depan para tetangga untuk mendapatkan simpati, meskipun ia tidak menginginkan belas kasihan. Itu karena pada dasarnya orang tuanya tidak mengurusnya dengan benar.
Satu tahun kemudian, waktu terasa cepat berlalu, tetapi tidak bagi Eyliana yang merasakan lambatnya setiap hari. Eyliana kini sudah berusia 17 tahun. Dia berjalan memasuki ruangan yang sudah dipenuhi orang-orang berpakaian hitam. Setiap langkah Eyliana, membuat orang di ruangan itu terdiam dan memperhatikannya. Kini dia berdiri di depan foto orang tuanya yang baru saja meninggal dunia karena kecelakaan. Ruang duka itu penuh dengan dupa dan bunga putih. Beberapa kerabat berdiri di belakang pintu, khawatir dengan keadaan Eyliana setelah ditinggalkan kedua orang tuanya. Ruangan itu beraroma menyengat dan menyesakkan bagi Eyliana hingga beberapa kali menahan nafasnnya.
Namun, "Teryata butuh tujuh belas tahun. Akhirnya hari ini datang juga," gumam Eyliana pelan sambil tersenyum tipis.
Ia menaruh sekuntum bunga mawar hitam yang ia cat sendiri menggunakan tinta hitam di depan foto itu. ‘Bukankah itu bagus untuk kalian?’ Pikir Eyliana melihat tinta hitam pada bunga mawar masih menetes di peti orang tuanya. Mawar hitam lebih pantas daripada warna merah untuk kedua orang tuanya. Itulah di benak gadis yang sudah berumur tujuh belas tahun ketika menatap peti ayah ibunya.
"Aku harap neraka akan menyambut kalian dengan pintu terbuka sangaaaat lebar," gumamnya.
Ia menutup mulut, pundaknya mulai bergetar. Ia menahan tawa karena bahagia dengan apa yang telah terjadi. Ia merasa 17 tahun hidupnya seperti drama komedi yang berakhir tragis untuk antagonis, sementara peran utama bahagia karena antagonis mati. Ia berjalan keluar ruang duka dan menepuk pundak salah satu bibinya.
"Terserah mereka mau ditaruh mana. Saya sudah tidak peduli," bisiknya pelan pada bibi yang merupakan adik ibunya. Bibi itu sedikit terkejut dengan ucapan Eyliana yang mengatakan ‘ditaruh mana’ seolah orang tua kandungnya adalah barang bekas.
Hatinya sudah mati, dan ia tidak percaya lagi dengan kalimat 'keluarga'. Menurut Eyliana, keluarga adalah kata yang paling menyeramkan, menyesakkan, menyakitkan, dan Sampah. Ya! Sampah, pikirnya. Untungnya ia sudah menginjak usia dewasa sehingga tidak memerlukan wali lagi.
Bersambung….