“Fiona, maaf, tapi pembayaran ujian semester ini belum masuk. Tanpa itu, kamu tidak bisa mengikuti ujian minggu depan.”
“Tapi Pak… saya… saya sedang menunggu kiriman uang dari ayah saya. Pasti akan segera sampai.”
“Maaf, aturan sudah jelas. Tidak ada toleransi. Kalau belum dibayar, ya tidak bisa ikut ujian. Saya tidak bisa membuat pengecualian.”
‐‐‐---------
Fiona Aldya Vasha, biasa dipanggil Fio, mahasiswa biasa yang sedang berjuang menabung untuk kuliahnya, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah karena satu kecelakaan—dan satu perjodohan yang tak diinginkan.
Terdesak untuk membayar kuliah, Fio terpaksa menerima tawaran menikah dengan CEO duda yang dingin. Hatinya tak boleh berharap… tapi apakah hati sang CEO juga akan tetap beku?
"Jangan berharap cinta dari saya."
"Maaf, Tuan Duda. Saya tidak mau mengharapkan cinta dari kamu. Masih ada Zhang Ling He yang bersemayam di hati saya."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ijah hodijah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1
Fio menutup pintu ruang dosen dengan langkah berat. Hatinya bergejolak, campuran antara kecewa dan frustrasi. Uang ujian yang belum dibayar menjadi batu sandungan yang tak bisa ia hindari. Gadis berusia dua puluh satu tahun itu selalau merasa prustasi ketika waktu ujian tiba.
“Fiona, maaf, tapi pembayaran ujian semester ini belum masuk. Tanpa itu, kamu tidak bisa mengikuti ujian minggu depan.” Leo tidak mempunyai toleransi bagi mahasiswanya karena semua itu sudah menjadi aturan.
“Tapi Pak… saya… saya sedang menunggu kiriman uang dari ayah saya. Pasti akan segera sampai.”
“Maaf, aturan sudah jelas. Tidak ada toleransi. Kalau belum dibayar, ya tidak bisa ikut ujian. Saya tidak bisa membuat pengecualian.”
Fio menghela napas panjang, menahan kecewa. “Baiklah, Pak… terima kasih sudah memberi tahu.”
Fio melangkah keluar ruangan dengan langkah lemas. Di parkiran kampus, angin sore menyapu wajahnya, tapi tidak mampu menenangkan pikirannya yang kacau. Ia menunggangi motornya dengan tangan gemetar, mencoba menenangkan diri dan memikirkan cara untuk menyelesaikan masalah kuliahnya.
Namun, nasib tidak berpihak. Sebuah mobil melaju terlalu dekat, dan dalam sekejap, motor Fio terserempet. Tubuhnya terhuyung, dan sebelum sempat menjerit, Fio terjatuh ke aspal. Rasa sakit menyengat kaki dan lengannya, membuatnya nyaris pingsan.
Pengemudi mobil itu, seorang wanita paruh baya, segera berhenti dan berlari mendekat dengan panik. “Ya Ampun! Nak, kamu baik-baik saja? Maafkan saya, saya tidak sengaja…”
Fio hanya bisa menahan rasa sakit, kepalanya berputar, tapi matanya menangkap kepanikan sang wanita. Tanpa banyak pikir, wanita itu membantu Fio berdiri untuk masuk ke mobilnya dan membawa Fio ke rumah sakit terdekat, sambil terus meminta maaf.
Di ruang gawat darurat, dokter memeriksa Fio dengan cermat. Kakinya terluka cukup parah karena ternyata ada batu yang menancap di kakinya, dan dokter menegaskan Fio harus dirawat setidaknya dua hari ke depan. Rasa frustrasi dan takut bercampur dalam hati Fio—apalagi ketika ia mengetahui siapa orang yang menabraknya.
Fio terbaring di ranjang rumah sakit, kaki dibalut perban tebal, rasa sakit masih menyengat setiap kali ia bergeser. Di kursi sampingnya, Bu Rania—wanita yang menabraknya—duduk sambil sesekali menghela napas, tampak cemas.
“Nak… Ibu benar-benar minta maaf atas kecelakaan ini. Kamu baik-baik saja?”
Fio mencoba tersenyum tipis, suaranya lirih. “Saya… saya baik, Bu. Hanya kaki saya yang sakit, nanti pasti sembuh.”
Bu Rania menatap Fio dengan mata lembut, lalu bertanya pelan. “Kalau boleh tahu… orang tuamu ikut? Atau ada yang bisa saya hubungi?”
Fio menunduk, menahan emosi yang tiba-tiba muncul. “Ibu saya sudah meninggal dua tahun lalu. Ayah saya di kota lain… dia tidak akan datang.”
Mendengar itu, Bu Rania terdiam sejenak, hatinya tersentuh. Gadis ini begitu mandiri meski masih muda, berani menanggung sendiri masalah yang seharusnya ringan jika ada keluarga dekat. Tanpa banyak bicara, Bu Rania meraih tangan Fio dan menepuknya lembut.
“Nak… kamu kuat. Ibu bisa melihat itu. Jangan khawatir, ibu akan bantu sebisa mungkin.”
Fio hanya tersenyum tipis, menahan rasa sakit di kaki dan getir di hati.
Bu Rania segera menghubungi anak satu-satunya untuk menyelesaikan permasalahan ini.
Darrel Arly Pratama, seorang CEO duda berumur dua puluh delapan tahun adalah anak satu-satunya dari pasangan Rania dan Hadi Pratama. Di umurnya yang ke dua puluh tujuh tahun Darrel sudah menjadi seorang duda tanpa anak setelah pernikahannya yang berumur dua tahun kandas.
Tanpa melihat ke arah Fio, Darrel langsung membayar administrasinya sampai dua hari ke depan. Kemudian ia beranjak pulang ke rumah masa kecilnya.
"Darrel... Bagaimana..." Sebelum pulang Bu Rania bertanya soal tanggung jawabnya sebagai pengendara, tapi Darrel cepat memotong.
"Kita sudah bertanggung jawab dan luka dia juga pasti segera sembuh. Bahkan aku meminta untuk diberikan obat terbaik untuk penyembuhannya. Aku akan pulang sekarang karena nanti malam aku ada acara lagi." ia melangkah pergi meninggalkan Bu Rania.
Bu Rania tidak bisa berkata-kata lagi, ia mengantarkan Darrel pulang setelah menitipkan Fio kepada suster rumah sakit. Di dalam mobil, suasana hening kecuali suara mesin, sampai akhirnya Bu Rania memecah kesunyian dengan nada serius.
"Darrel. Mama minta sesuatu darimu. Demi membalas rasa bersalah mama, tolong kamu menikah dengan Fio. Mama benar-benar merasa bersalah. Mana dia sendirian.”
Darrel tetap menatap jalan, wajahnya dingin, suaranya datar. “Ma… yang penting kita sudah bertanggung jawab. Kita tidak harus begitu.”
Bu Rania menoleh, mata tajam penuh penekanan.
“Darrel. Mama mohon. Kamu juga jangan betah sendiri. Lupakan Diana. Mereka sudah bahagia.”
“Ya, karena itu, Ma. Aku tidak ingin…”
“Kamu mau menunjukkan ke dia kalau kamu tidak bisa move on? Jangan begitu. Justru itu hanya akan membuatmu terlihat lemah.”
“Ma… cinta itu tidak bisa dipaksakan.”
Bu Rania menepuk setir dengan lembut tapi tegas.
“Bisa. Buktinya mama sama papa. Kita juga dijodohkan, dan kamu lihat sekarang papa kamu bucin banget sama mama.”
Darrel mendengus pelan, setengah kesal, setengah tak acuh. “Mama tahu istilah begitu dari mana sih?”
“Kamu kira kamu doang yang tahu? Sudah! Besok kita ke rumah sakit lagi dan tawarkan perjodohan ini.”
Darrel hanya diam, menatap jalan dengan wajah datar, lalu menarik napas panjang. Ia menepikan mobilnya saat tiba di depan rumah. Bu Rania menatapnya sejenak, lalu keluar meninggalkan Rafael sendirian.
Di mobil, keheningan kembali menyelimuti Rafael, wajahnya tetap dingin, sulit ditebak—tapi di mata Bu Rania, ia tahu benih perubahan atau konflik di antara mereka akan segera dimulai.
***
Keesokan harinya.
Fio duduk di ranjang rumah sakit, kaki terbalut perban tebal, tapi pikirannya tak henti-henti melayang ke pekerjaan paruh waktunya. Ia tahu, jika ia bolos hari ini, tidak hanya kehilangan uang, tapi reputasinya juga bisa tercoreng karena ia teringat kalau kemarin dia tidak kerja akibat kecelakaan ini.
Tiba-tiba ponselnya bergetar lagi. Pak Anwar, bosnya di tempat kerja sejak pagi menghubunginya tanpa henti. Namun karena dia baru bangun dan daya ponselnya habis, Fio baru mengetahui saat ini.
“Fio… kamu di mana? Kita butuh kamu sekarang. Jangan sampai kamu bolos lagi.” suara tidak bersahabat dari bos mudanya itu membuat telinga Fio berdenging.
Fio menunduk, panik. Ia belum siap memberi tahu bosnya tentang kecelakaan ini. Begitu ponsel berhenti berdering, ia mengambil napas dalam-dalam, menurunkan kakinya perlahan dari ranjang, dan mencoba menggerakkan tubuhnya yang lemas. Hari ini dia harus bekerja supaya tidak dipecat. Karena sangat bahaya baginya, dia tidak akan bisa makan kalau dia berhenti bekerja.
Ia mengendap-endap ke arah pintu, hatinya berdebar-debar takut ketahuan suster. Langkahnya pelan, tapi setiap langkah membuat rasa sakit di kakinya menusuk. Ponsel bergetar lagi.
“Fio! Ini serius, kamu harus segera ke tempat kerja. Kita sedang kekurangan staf.”
Fio menggigit bibir, menahan rasa sakit dan rasa bersalah. Dengan susah payah, ia menuruni lorong rumah sakit, menghindari suster yang berkeliling. Setiap detik terasa seperti tantangan besar, tapi tekadnya lebih kuat daripada rasa nyeri yang menggerayangi.
Akhirnya, ia berhasil keluar dari pintu samping rumah sakit. Angin sore menyentuh wajahnya, namun rasa cemas masih mengikat perutnya. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri, melangkah berjalan kaki untuk mencari angkot.
Fio menutup mata, tahu—entah bagaimana, hidupnya kini benar-benar berubah dari satu langkah yang tampak sepele: sekadar berusaha menepati tanggung jawab pada pekerjaan paruh waktu.
Fio akhirnya sampai di depan pintu kafe tempat ia bekerja paruh waktu. Napasnya terengah, keringat membasahi dahinya, tapi ia tersenyum tipis, lega karena berhasil sampai. Ia menekan bel pintu masuk dengan tangan gemetar.
Namun, saat pintu terbuka, wajah bosnya, Anwar, tampak tegang dan dingin. Ia menatap Fio dengan mata tajam, seakan bisa membaca setiap kesalahan yang dibuat.
“Fio… akhirnya kamu datang. Tapi… kamu terlambat hampir dua jam. Ini sudah keterlaluan.”
Fio menunduk, suaranya pelan tapi memohon “Pak Anwar… maaf… saya… saya ada kecelakaan, dan saya tidak ingin membuat masalah. Tolong… jangan pecat saya. Saya benar-benar butuh pekerjaan ini untuk kuliah.”
Anwar menghela napas panjang, menatap Fio sebentar, lalu menunduk menyesuaikan ekspresi seriusnya.
“Fio… saya mengerti keadaanmu, tapi aturan kafe ini jelas. Keterlambatan seperti ini… saya tidak bisa lagi menoleransi. Saya sudah terlalu sering memberi peringatan.”
Fio matanya berkaca-kaca, suaranya hampir patah “Pak… tolong… saya janji tidak akan terlambat lagi… ini benar-benar pertama kalinya… Tolong, saya mohon… saya butuh uang ini untuk kuliah.”
Anwar menatap Fio beberapa detik, hatinya sedikit tersentuh, tapi keputusan sudah bulat.
"Maaf, Fio. Saya tidak bisa lagi menerima alasan. Saya harus menepati aturan. Mulai hari ini, hubungan kerja kita berakhir.”
Bersambung