Karena cinta kah seseorang akan memasuki gerbang pernikahan? Ah, itu hanya sebuah dongeng yang indah untuk diriku yang telah memendam rasa cinta padamu. Ketulusan ku untuk menikahi mu telah engkau balas dengan sebuah pengkhianatan.
Aku yang telah lama mengenalmu, melindungi mu, menjagamu dengan ketulusanku harus menerima kenyataan pahit ini.
Kamu yang lama aku sayangi telah menjadikan ketulusanku untuk menutupi sebuah aib yang tak mampu aku terima. Dan mengapa aku baru tahu setelah kata SAH di hadapan penghulu.
"Sudah berapa bulan?"
"Tiga bulan."
Dada ini terasa dihantam beban yang sangat berat. Mengapa engkau begitu tega.
"Kakak, Kalau engkau berat menerimaku, baiklah aku akan pulang."
"Tunggulah sampai anak itu lahir."
"Terima kasih, Kak."
Namun mengapa dirimu harus pergi di saat aku telah memaafkan mu. Dan engkau meninggalkanku dengan seorang bayi mungil nan cantik, Ayudia Wardhana.
Apa yang mesti ku perbuat, aku bukan manusia sempurna....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hania, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1: Pernikahan yang Dipercepat
Mahardika Kusuma terkejut saat handphone-nya berbunyi. Ada nama indah tertulis di layarnya. Nama siapa lagi kalau bukan nama seorang gadis berumur 19 tahun yang ia impikan selama ini, Azalea Wardhana. Putri Wisnu Wardhana, papa ideologinya.
Dia pun segera meninggalkan ruangan. Ada yang lebih penting yang harus dia segera ia penuhi, rasa rindu yang selama ini mendera jiwanya. Sampai-sampai dalam tidur pun angannya tak bisa beristirahat. Ia mengembara tanpa batas, melewati tempat dan waktu untuk sekedar melihat senyumannya.
“Assalamu alaikum, Kakak.” Suara lembut menyapu pendengarannya membawa khayalnya berkelana. Ingin rasanya untuk langsung menemuinya.
“Waalaikum salam. Ada angin apa, Dek?" ucap Dika.
Ia tak menampik jika suara yang merdu mendayu berdendang indah di telinganya semakin menyeretnya pada nada cinta yang selalu membuat jantungnya berdetak semakin berirama
“Kakak, maafkan aku. Baru bisa memberikan jawaban sekarang.”
“Tak apa.”
“Aku…” Kata-kata pun terhenti. Hanya hembusan nafas yang terdengar lirih dari ujung handphone-nya.
Detik demi detik seakan berjalan sangat lambat dalam kesunyian, Dika masih menunggu. Dalam hati kecilnya, ia berharap Lea tak akan menolak pinangannya yang sudah ia sampaikan setahun yang lalu. Ah, Rasanya dirinya masih belum siap jika terjadi.
“Kakak.”
“Iya. Hm…apa keputusanmu?”
“Aku menerima pinanganmu, Kak.”
“Alhamdulillah. Tak sia-sia, Kakak menantimu selama ini.”
“Tapi aku punya syarat.”
“Hah, Syarat?”
“Bagaimana kalau minggu depan pernikahan ini dilangsungkan?”
“Baiklah.”
Kalau pernikahan dipercepat, itu bukan syarat melainkan sudah disyariatkan. Dika bahagia. Tak sangka cinta yang lama ia pendam telah bersambut dan akan berakhir di pelaminan.
“Ok. Besok kamu jangan kemana-mana. Kakak akan jemput kamu untuk figting baju dan persiapan lainnya.”
“Ok, Kak. Lea tunggu. Assalamu alaikum.”
“Waalaikum salam.”
***
Azalea Wardhana, gadis manis dan selalu ceria di setiap saat kini sedang duduk termangu dengan apa yang sudah terjadi. Dia tak lagi bisa menahan air mata yang sejak tadi menggenang di bening bola matanya.
“Mbok, apakah aku salah?” tanyanya pada Mbok Sari, orang tua yang telah mengasuhnya selama ini, semenjak mamanya meninggal.
“Mengapa Non Lea tidak jujur saja pada Den Dika. Kalau Dia memang mencintai Non Lea, ia akan mengerti.”
“Tidak, Mbok. Aku takut kalau Kak Dika tak mau menerima ku dan akan menyuruhku menikah dengan Antonio. Karena dialah ayah dari anak yang ku kandung ini. Aku benci dia. Apa salah aku, Mbok. Sampai dia begitu tega memperkosaku. Aku benci dia. Aku benci anak ini.” teriaknya sambil memukul-mukul perutnya.
“Sadar, Non.” Mbok Sari segera menahan, khawatir terjadi sesuatu dengan janin yang kini sedang tumbuh dalam rahim Lea.
Azalea pun menghentikan tindakannya yang sangat berbahaya itu. Dia hanya bisa menangis sesenggukan di pangkuan mbok Sari.
“Non, apa tak sebaiknya Non memberi tahu Tuan Wisnu, Papa Non Lea.”
“Tidak, Mbok. Aku takut, aku akan diusirnya. Mbok tahu sendiri kan, Papa sangat keras sama Lea. Hanya Kak Dika yang sayang ke Lea. Tapi kalau keadaan Lea seperti ini, pasti Kak Dika tak mau menerima Lea. Ya kan Mbok?”
“Jujur itu lebih baik, Non.”
“Tidak, Mbok. Aku belum sanggup.”
Mbok Sari sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dia juga sudah kehabisan cara, agar Lea membuka diri dengan beban yang ditanggungnya saat ini. Setidaknya mengatakan pada orang yang menyayanginya . Baik Tuan Wisnu Wardhana atau pun calon suaminya, Mahardika Kusuma. Siapa tahu mereka dapat memberikan solusi.
Tapi Nona nya sudah memilih untuk merahasiakan keadaan dirinya, ia bisa apa.. pilih. Dia hanya bisa berdoa yang terbaik untuk nona kecilnya yang sudah ia asuh sejak ia lahir.
***
Keesokan pagi Dika segera meluncur ke rumah Lea. Ia ingin segera mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk pernikahan mereka.
Meskipun sudah lama Dika memiliki rasa terhadap Lea, namun ia tak berani mengatakannya. Siapa sih dirinya? Berani-beraninya berangan-angan memperistri putri satu-satunya orang yang selama ini menolongnya dan memiliki kekayaan yang luar biasa. Perusahaanya dimana-mana, bahkan di luar negeri juga?
Dia hanyalah anak terlantar, terbuang dari keluarga dan hidup sendirian di jalanan. Untuk bertahan hidup dan sekolah, ia hanya mengandalkan hasil dari mengumpulkan sampah.
Dia beruntung bertemu orang yang sebaik Tuan Wisnu yang mau menampungnya, meski ia harus menjadi tukang kebun di rumahnya, asalkan ia bisa sekolah.
Tapi sebenarnya bukan hanya tukang kebun saja, melainkan guru les dan teman putrinya yang bandelnya luar biasa. Siapa lagi kalau bukan Azalea Wardhana yang saat ia datang ke rumah ini baru berusia hampir lima tahun.
Azalea Wardhana, gadis kecil yang selalu mengacak-acak kamarku dengan kehebohannya. Lucu, menarik dan menggemaskan.
Tuan Wisnu tak tanggung-tanggung dalam menolongnya. Sampai bisa hidup mandiri seperti ini, memiliki perusahaan sendiri. Dan dapat menyelesaikan Pendidikan S2-nya dari usahanya sendiri. Tuan Wisnu sangat menginspirasinya. Tak salah jika mendapat julukan bapak ideologisnya.
“Assalamu`alaikum, Papa,” sapa Dika, lalu mencium tangan Wisnu dengan takdzim.
“Wa’alaikum salam. Akhirnya kamu datang juga. Lea sudah lama menunggumu, tuh.” Senyum sumringah tampak jelas di wajah Wisnu Wardhana.
Ia begitu senang akhirnya putrinya mau menikah dengan Dika, kandidat utama yang sudah ia persiapkan untuk putrinya sejak melihat bakatnya serta perhatian yang tulus yang diberikan Dika untuk putrinya.
Pada siapa lagi perusahaan akan diwariskan kalau tidak pada Lea, putri satu-satunya. Namun sayang Lea agak malas. Andai tidak ada Dika, mungkin Lea tak bisa seperti sekarang ini.
Dia sering pusing sendiri dengan kelakuan putrinya. Sering membantah kalau di bilangi atau apalah. Yang jelas kalau dengan bersamanya yang ada perang dunia atau perang dingin.
Mungkin karena sejak kecil ia tak mendapat kasih sayang bundanya, ditambah pula ia sering ke luar negeri sehingga tak banyak waktu untuk putrinya, sehingga dia bersikap seperti itu.
Beda kalau bersama Dika. Dia tampak lebih penurut. Mungkin karena Dika tipe kakak yang bisa ngemong dan juga tulus menyayanginya.
Padahal dengan Dika, Lea juga tak kalah badungnya. Hanya saja, ia bisa bersikap sabar. Ia telah menganggap Lea sebagai adiknya yang harus ia jaga setiap saat.
“Kakak ini menyebalkan deh. Lagian untuk apa aku belajar, untuk bekerja. Yeee…Uang Papa juga tak akan habis meski tujuh turunan.”
Dika tak menggubrisnya. Ia tetap konsentrasi menyetir mobil membelah jalanan yang hampir-hampir macet di jam-jam sibuk ini. Ia hanya ingin segera sampai di sekolah Lea, lalu pergi ke kantor dan bekerja dengan tenang.
Tiba di gerbang sekolah, ia segera menghentikan mobilnya.
“Sudah selesai ngedumelnya?”
“Ya, ya.” Ia segera melepas seltbet-nya meski dengan wajah ditekuk.
“Awas kalau ada laporan kamu bolos sekolah, Kakak tak segan-segan kirim kamu ke Barak Tentara, atau ke Gurun sekalian.”
“Sadis amat,” ucapnya dengan segera merapikan baju seragamnya.
“Kak.” Lea menengadahkan tangannya ke arah Dika dengan mengedip-ngedipkan matanya. Apalagi maksudnya kalau bukan minta uang saku. Maklumlah, semenjak ia ketahuan keluar malam bersama dengan temannya, ATM-nya diblokir oleh Papa Wisnu. Apalagi ia sudah kelas 3, makin ketat peraturan papa Wisnu. Tapi tak apa, masih ada Kakak Dika yang murah hati untuk memberinya uang. Meskipun sedikit, tapi lumayan juga untuk mengganjal perut di sekolah termasuk traktir teman-teman.
Dika segera mengeluarkan 3 lembar uang berwarna merah dari dalam dompetnya, “Nih…”.
Lea segera menerimanya dengan senyum dan mata berbinar-binar.
“Terima kasih, Kakak.” Ia pun berlalu begitu saja meninggalkan Dika.
Itulah selintas kenangan, saat-saat dirinya harus menghadapi Lea.
Lea sudah berada di dalam mobil, menunggu Dika dengan muka cemberut. Isyarat tak mengenakkan dari adik kecilnya yang bandel. Dika pun berpamitan.
“Papa, kami pergi dulu.”
“Pergilah. Kalau ada apa-apa hubungi Papa.”
“Baik, Pa.”
Tak terlalu sulit bagi Dika untuk bisa membuat sebuah pernikahan yang Lea impikan. Ada uang, semuanya pasti jalan.
mampir juga di karya aku ya🤭
cuman akan aku persingkat.
sayang kalau tak ku teruskan tulisan ini.
biar deh, walaupun tak lulus review.
yang penting selesai dulu.