Di tengah masalah pelik yang menimpa usaha kulinernya, yang terancam mengalami pengusiran oleh pemilik bangunan, Nitara berkenalan dengan Eros, lelaki pemilik toko es krim yang dulu pernah berjaya, namun kini bangkrut. Eros juga memiliki lidah istimewa yang dapat membongkar resep makanan apa pun.
Di sisi lain, Dani teman sedari kecil Nitara tiba-tiba saja dianugerahi kemampuan melukis luar biasa. Padahal selama ini dia sama sekali tak pernah belajar melukis. Paling gila, Dani tahu-tahu jatuh cinta pada Tante Liswara, ibunda Nitara.
Banyak kejanggalan di antara Dani dan Eros membuat Nitara berpikir, keduanya sepertinya tengah masuk dalam keterkaitan supernatural yang sulit dijelaskan. Keterkaitan itu bermula dari transfusi darah di antara keduanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon OMIUS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Yang Pertama
Hingga sekarang aku tetap sukar menemukan jawabannya, apalagi sampai mampu melupakannya. Dua tahun lalu, tepatnya di malam menjelang hari kemerdekaan satu kejadian misterius menimpaku. Aku harus menyebutnya misterius karena nalarku susah menerimanya.
Kala itu aku tengah sendirian di rumah, sementara aktivitasku cuma duduk-duduk di kursi tanpa sandaran. Tangan kananku sibuk mengguratkan kuas ke permukaan kanvas. Sedangkan kanvasnya sendiri didudukkan pada easel berbahan kayu. Malam itu aku memang tengah melukis.
Sekonyong-konyong aku merasakan tumbukan. Keras sekali, dan menyasar bagian samping tubuhku. Aku sendiri tak tahu apa yang menumbukku. Konsentrasiku saat itu tengah sepenuhnya tercurah pada kanvas di depanku. Saking kerasnya tumbukan yang menghantamku, tubuhku sampai terpelanting dan berguling-guling di lantai.
Jangan bertanya seberapa menderita aku kala itu! Yang kurasakan seluruh tulang-tulang penyusun tengkorakku, khususnya di bagian samping kiri seperti ramai-ramai rontok dari posisinya. Mungkin remuk redam juga. Saking tak kuasa menahan sakit aku sampai harus semaput.
Tapi, aku lekas siuman. Malah sepertinya durasi pingsanku hanya beberapa detik saja. Sempat menduga barangkali aku terjatuh akibat lelap, mengingat sebelumnya beberapa kali mulutku menguap, belum dengan waktu yang memang telah mendekati tengah malam, namun sejurus kemudian aku malah meragukannya.
Tahu-tahu rasa sakit yang sempat menghilangkan kesadaranku pudar begitu saja. Aku pun tak lagi merasakan tulang-tulang yang remuk redam macam sebelumnya. Tubuhku kembali pulih seperti sedia kala, tak kurang apa pun. Bahkan untuk sekedar luka lecet, atau memar.
Hingga dua menit berlalu aku enggan beranjak dari posisi menelungkup di atas permukaan lantai. Isi kepalaku sibuk mempertanyakan, mengapa posisi menelungkupku sampai berjarak tujuh meter dari tempat semula aku melukis. Terlampau jauh jika terjatuh akibat tak kuasa menahan kantuk.
“Memang ada yang membenturku, hingga aku terpental tujuh meter jauhnya,” telaahku kemudian. Namun, kembali memikirkan benda apa yang tadi membenturku, aku hanya dapat kebingungan karena sama sekali tidak menampak. Kendati demikian mendapati sampai sedemikian jauhnya aku terpental, sesuatu yang menubrukku tadi dipastikan memiliki energi kinetik tinggi.
“Macam ditabrak mobil yang melaju ugal-ugalan saja,” gumamku, menganalogikan tumbukan misterius yang menerpaku tadi.
Aku menepis kemungkinan telah terjadi gempa bumi. Kondisi di ruang tengah masih terlihat rapih. Belum ditemukan satu pun benda-benda berjatuhan, semuanya tetap dalam posisi semula. Tak terkecuali kursi yang didudukiku tadi. Lantas apa yang barusan menumbukku?
“Ditubruk setan kayaknya.” Pada akhirnya aku memilih jalur klenik saja. Jalan pintas saat tak kuasa menyingkap fenomena aneh yang terjadi di hari itu.
Kejadian di malam menjelang hari kemerdekaan memang misterius. Meski begitu kejadian yang tak kalah misteriusnya ternyata malah lebih dulu menyambangiku, tepatnya lima bulan sebelumnya. Sekoyong-koyong aku dibekap hasrat yang selama ini tak pernah terbayang olehku, keinginan kuat untuk melukis. Tanganku begitu gatal, ingin selekasnya memulas kanvas dengan cat minyak.
Sungguh, aku di malam itu seakan-akan pelukis profesional yang tengah beroleh order lukisan, namun tak jua kukerjakan. Aku bingung, tak tahu harus melukis apa.
Sampai akhirnya di satu pagi benakku tiba-tiba disambangi imaji. Muncul begitu saja dalam bentuk obyek lukisan. Hasrat melukisku semakin menggebu-gebu. Di sisi lain aku sukar untuk mengekangnya.
Selanjutnya aku merasakan kehadiran kuasa dalam diriku. Bukan semata hadir, kuasa dari luar itu benar-benar menguasai tubuhku. Layaknya robot aku hanya dapat patuh saja, tak berdaya melawan saat anggota tubuhku digerakkan olehnya. Kuasa misterius itu memerintahkanku untuk segera memoleskan cat minyak ke atas kanvas.
Dipastikan kuasa yang menggerakan tubuhku itu bukan berasal dari perintah otakku. Hanya saja aku tak tahu kuasa apa itu, serta berasal dari mana? Tiba-tiba datang dan merasuki tubuhku, untuk kemudian aku kehilangan kendali diri.
Sampai-sampai tangan kananku lalu bergerak-gerak sendiri. Meski kemudian mampu kuhentikan, namun aku menilai tangan kananku sepertinya tengah meniru gerakan melukis.
Kendati mengerti bila kuasa misterius itu hanya memaksaku agar selekasnya memindahkan imaji ke bentuk lukisan, namun menurutku adalah mustahil kulakukan. Waktu itu di rumah belum tersedia perlengkapan melukis macam kanvas, atau easel. Bahkan sekedar pensil gambar pun aku tak punya. Selama ini melukis memang jauh dari kehidupanku.
Hari itu juga aku langsung pergi ke toko yang menjual peralatan melukis. Di sana aku tak sengaja bersua teman sedari kecil dulu, Nitara Hapsari. Dia sampai melongo mendapatiku tengah memborong alat lukis.
“Enggak salah nih Dani ngeborong alat lukis, sejak kapan kamu gandrung melukis?”
Ya, sejak kapan aku tiba-tiba berhasrat dalam bidang seni melukis? Jangankan Nitara, sepertinya aku sendiri hanya akan kebingungan menjawabnya. Karenanya aku cukup menimpali pertanyaannya lewat menyunggingkan senyum saja.
Seakan-akan sejak lama menyadari, membiarkan berlama-lama imaji di dalam benak hanya akan menyiksa batinku, begitu kembali ke rumah aku langsung memindahkannya ke dalam lukisan. Apalagi perlengkapan melukis yang kubeli terbilang lengkap. Antusiasku dalam mengerjakan lukisan perdanaku amat berlimpah. Padahal aku sudah memperkirakan bila hasilnya nanti hanya akan mengkhianati imaji.
Ajaib, aku sampai terpana sendiri. Hari itu tanganku begitu tangkas dalam memoleskan cat minyak ke atas kanvas. Tiada aku merasa kaku mengguratkan kuas. Padahal yang sedang kukerjakan di hari itu merupakan pengalaman pertamaku. Malah setiap polesan cat minyak pada kanvas dirasakanku selayaknya ekspresi jiwa seniku. Aku menikmati sekali.
Cukup empat jam saja aku menjalankan aktivitas melukis di depan kanvas. Selanjutnya aku tinggal mendapati hasilnya, sebuah lukisan bercorak realisme. Walau pengetahuanku akan dunia lukis adalah awam, namun bolehlah aku mengapresiasi sendiri karya lukisku, layak dipajang di galeri seni. Kalaupun apresiasiku ketinggian, setidaknya lukisan perdanaku ini amat pantas menggantung di galeri-galeri pinggir jalan.
Sesuai imaji yang di hari itu begitu benderang menampak di dalam benakku, lukisan perdanaku kiranya bertema lukisan juga. Aku melukiskan sebuah lukisan yang masih didudukkan pada easel berbahan kayu. Lokasinya berada di dalam sebuah ruangan dengan satu jendela berbentuk oval tanpa teralis. Sementara dindingnya tidak diplester, melainkan tersusun dari batu bata ekspos.
Aku menebak, kemungkinan ruangan tersebut merupakan studio lukis. Terlihat dari lantainya yang belepotan oleh warna-warni noda cat minyak. Terdapat pula sebuah rak kayu susun yang menyimpan peralatan melukis.
Lukisan yang didudukan pada easel menjadi obyek paling mencolok di lukisan perdanaku. Menampak di sana seraut wajah perempuan muda. Mendapati gaya rambutnya yang ikal dan mengembang, aku lantas teringat gaya rambut mendiang Mamah semasa gadis dulu. Sepertinya gaya rambut perempuan tahun 80-an.
Jujur, aku harus menyebut seraut wajah perempuan dalam lukisan perdanaku sangat menawan. Bibir tebalnya cukup menggemaskan. Dahinya yang melebar, serta wajah oval panjangnya terasa pas dengan rambut mengembangnya. Bola matanya yang terus melirik ke arahku seolah-olah mengisyaratkan, dia sengaja hadir di lukisanku agar aku gembira selalu saat memandanginya.
Paling suka aku memandangi dagu panjangnya, lebih-lebih dagu tersebut ternyata bercelah. Bukan hanya indah nian dipandang, namun dagu unik itu memberi kesan yang tegas di bagian bawah wajahnya. Sekilas mengingatkanku akan dagu serupa milik Nitara. Sayangnya tidak tersemat tahi lalat kecil di dagu indahnya macam Nitara, sehingga kalah manis dengan dagu temanku itu.
Sampai aku terlalu banyak menggeleng-gelengkan kepala di hari itu. Teramat kagum akan kemampuan melukis dadakanku, khususnya saat memikirkan bagaimana seraut wajah dalam lukisanku tercipta. Polesan-polesan cat minyak yang tadi kuguratkan di kanvas, seperti menghidupkan karakternya sebagai perempuan yang menyenangkan semua orang.
“Bukan otakku yang membimbing tanganku melukis wajahnya. Aku cuma mesin lukis yang digerakan dari jarak jauh.”
Kembali aku meyakini, kuasa yang telah merasukiku di hari itu telah membimbing, sekaligus menggerakan tanganku untuk mencipta sebuah lukisan. Apa tujuannya, aku sendiri sukar mengetahuinya. Hanya saja aku─ sepanjang hari sengaja membiarkan diri larut dalam keterpikatan pada seraut wajah di lukisan perdanaku─malah merasakan gejolak di hati.
Mendadak isi kepalaku tersengat. Sejenak aku melupakan keterpikatanku pada model lukisan perdanaku. Aku menemukan sesuatu yang menggelitik bola mataku. “Astaga ... dia, kan Tante Lis?”
Usai berkata aku malah spontan terpana, terlampau gila mempercayai hasil lukisanku. Ternyata hari itu aku telah melukis wajah seorang perempuan yang kukenal baik, malahan sudah kuanggap ibuku sendiri. Seraut wajah Tante Liswara, yang tak lain ibunya Nitara semasa masih gadis dulu tahu-tahu hadir dalam lukisan perdanaku.
Aku masih bisa mengingat wajah Tante Liswara semasa muda dulu, dikarenakan beberapa fotonya tampil dalam album foto milik mendiang Mamah. Sama halnya aku dan Nitara, baik Tante Liswara maupun Mamah telah berteman sedari dulu.
Cuma kenapa wajah Tante Liswara dalam lukisan perdanaku sedemikan menawannya? Apa karena aku melukiskannya semasa beliau masih gadis dulu, sehingga kecantikannya layak memesonaku? Kalaulah memang seperti itu jawabannya, semestinya sedari dulu aku sudah terpikat wajahnya. Bukankah foto beliau semasa masih muda beberapa kali pernah kulihat juga?
Diam-diam aku sering memuji kecantikan Tante Liswara muda dalam album foto. Mamah pun beberapa kali pernah bertutur jika beliau semasa gadis dulu begitu digandrungi kaum pria. Kendati demikian tidak sekali-kalinya aku sampai harus merasakan keterpikatan sekuat hari itu. Apalagi Tante Liswara sekarang sudah tidak lagi muda dan semenawan dulu, bahkan sempat lumpuh akibat serangan stroke.
o1o