Bagaimana caranya Hanum si preman pasar yang bar- bar seketika menjadi anggun saat dia harus menikah dengan anak majikannya.
"Ada uang Abang kucinta. Gak ada uang Abang kusita."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nenah adja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Preman
Hanum nama yang berarti halus dan lembut. Tapi sayang nama tersebut berbanding terbalik dengan kepribadiannya yang suka berteriak dan bertindak kasar.
Padahal orang tuanya dulu menamainya Hanum dengan harapan gadis ini akan tumbuh seperti arti nama tersebut. Halus dalam berkata, dan lembut dalam bersikap.
Hanum. Hanya itu, tak ada kepanjangan dan tak ada marga. Dia lahir dari keluarga sederhana cenderung miskin, dimana mereka makan dua kali sekali asal ada nasi, bahkan lebih banyak hanya sekali atau bahkan tidak makan sama sekali. Tergantung berapa banyak bapaknya membawa uang saat pulang nguli.
Hanum memiliki dua adik yang bernama Reva dan Johan. Reva si adik bungsu masih sekolah di sekolah dasar sementara Johan duduk di bangku SMP. Hanum sendiri harus puas menempuh pendidikan sampai bangku SMP karena keterbatasan biaya. Setelah lulus dari SMP Hanum kerap membantu Bapaknya nguli di pasar untuk mendapat uang untuk makan. Juga dirinya yang bergelar anak sulung harus membantu membiayai sekolah adik- adiknya. Hingga kini di usianya yang ke 19 tahun Hanum harus puas dengan segala keterbatasannya.
Hidup yang keras membuat Hanum kadang membuatnya melupakan kodratnya sebagai seorang gadis.
Gadis yang bekerja di kios ikan segar itu pun tak pernah menyentuh apa itu lipstik bahkan bedak di wajahnya.
"Hanum Ikannya dua kilo," ucap seorang pembeli yang sudah menjadi langganan karena sudah tahu namanya.
"Dua kilo aja nih, Mpok. Mending tambah lagi, dah. Mumpung ikannya masih seger. Besok kita gak jualan loh."
"Laga Lo, gak jualan. Saban hari bilang gitu. Perasaan kemarin Lo juga bilang gitu. Nih gue liat hari ini masih buka aja ni kios."
"Lah, iya. Kalau ini ikannya kagak abis hari ini, besok tinggal jadi ikan mati. Artinya ikan segernya udah gak ada. Kita gak jual lagi."
"Kalau Mpok Marni belinya banyakan, nanti Bang Hasan nyetok lagi ikan segernya jadi besok masih 'Jual Ikan Segar'."
Mpok Marni cemberut. "Kagak. Dua kilo aja. Nih duitnya."
Hanum mengangguk. "Mau di bersihin disini atau di bawa ikan hidupnya, Mpok?" Hanum melihat timbangan yang sudah menunjukkan pas seperti permintaan Mpok Marni.
"Bersihin disini aja Num. Ribet di rumah, bau anyir lagi nanti badan gue."
"Namanya juga ikan, ya bau anyir lah."
"Ya, gue tahu. Tapi, cukup Lo aja yang bau ikan, gue kagak mau."
Brak!
"Eh s3tan!" Mpok Marni berteriak saat Hanum mulai membersihkan ikan pesanannya. "Sialan, Lo Num. Kasih tahu ke kalau mau bersihin tuh ikan. Bikin kaget aja."
Hanum tertawa dan kembali mengayunkan golok pemotong ikannya hingga terdengar kembali bunyi yang mengejutkan Mpok Marni yang latah.
"Datang lagi besok ya, Mpok," ucap Hanum sembari memberikan kantung ikannya.
"Kagak, Lo bilang besok ikannya gak seger." Mpok Marni melengos meninggalkan Hanum yang cemberut.
"Gak ngerti teknik marketing apa," dengusnya.
"Ikannya, Bu, Mpok, Pak, Encang, Cing. Ikan segernya!" Hanum kembali berteriak menawarkan dagangannya. Merasa tak ada yang melihat ke arahnya Hanun memutuskan untuk istirahat dan duduk sejenak.
Pletak!
Bugh!
"Anjriitt!" Baru saja akan duduk Hanum merasakan sesuatu menimpa kepalanya. "Setaan! Siapa yang nimpuk gue pake sendal. Mana butut lagi nih sendal!" Sontak saja Hanun mengangkat sandal jepit yang baru saja menimpa kepalanya.
Seseorang berlari ke arahnya sambil berteriak. "Sorry, Num punya gue, gue lagi ngejar copet." Jono menunjuk seseorang yang berlari di depannya.
"Yang bener. Copet, Jon?" Jono mengangguk dengan nafas terengah. "Wuah gak bisa di biarin. Bisa- bisanya ada copet di kawasan gue!" Hanum mengambil goloknya, lalu berlari mengejar copet tersebut.
"Berhenti Lo, copet!" teriaknya.
"Lah, Num balikin dulu sendal gue!" Jono mengejar Hanum yang masih memegang sandalnya.
"Heh, copet goblook! Jangan ngimpi lo bisa lepas dari gue, ya!" Hanum berlari dengan cepat mengejar pria yang bertudung yang masih berlari cepat di depannya.
Hanum berlari dengan gesit meloncat dan menaiki tangga dan tak menyerah mengejar copet tersebut. Di belakangnya Jono terus mengikuti dengan kaki yang terpincang karena sebelah sandalnya masih di tangan Hanum.
"Sialan Si Hanum, cepet banget larinya." Jono sampai ngosngosan.
Hanum masih mengejar copet tersebut hingga mereka tiba di jalan buntu. "Nah, mau lari kemana, Lo?" Hanum menyeringai dengan mengayunkan goloknya bak pemain akrobat.
"Sialan!" Si copet yang kepepet rupanya tidak menyerah dan mengeluarkan pisau di sakunya lalu mengarahkannya pada Hanum.
Tapi bukan Hanum namanya kalau merasa takut, Hanum membidik si copet dengan golok segi empatnya lalu mengayunkan benda itu "Serius Lo, Num. Jangan Num dia bisa mati!" teriak Jono saat dia melihat Hanum mengayunkan goloknya ... dan .... Bugh.
Si copet terjengkang saat sandal Jono mengenai dahinya.
Hanum berdecak. "Ck, cemen Lo. Baru begitu udah tepar, sok- sok'an mau jadi copet." Hanum berjalan ke arah si copet dan mengambil dompet di tangannya lalu memeriksa isi tas pinggangnya dan dia menemukan beberapa dompet juga.
"Sialan gue kira beneran mau lempar tuh golok." Jono menghampiri.
Hanum berdecak. "Kasih ke Bang Tigor, Jon. Biar dia cari siapa pemiliknya." Total ada tiga dompet kecil yang ada di tas pinggang Si Copet yang dia berikan pada Jono.
Jono memang keamanan pasar yang menarik iuran pasar dan mengatakan itu uang keamanan. Jadi Jono bertanggung jawab untuk kemanan pasar dari para copet dan perusuh di pasar.
Jono mengambil dompet di tangan Hanum lalu sandal yang tadi di lempar Hanum.
"Main lari aja Lo, Num. Kios ikan begimana tuh?" Hanum menepuk jidatnya saat mengingat dia sedang bekerja. Bisa- bisa dia di marahi Bang Hasan.
...
Hanum menyengir saat tiba di kios melihat pemilik kios ada di sana dan menatapnya tajam.
"Sialan, lo, Num. Lo tinggalin kios gimana kalau ikan- ikan gue ada yang maling," Bang Hasan berkata dengan marah.
"Kagak lah, Bang, kan malingnya takut sama gue."
"Takut dari hongkong. Lo kagak liat maling yang satu itu kagak ada takutnya." Bang Hasan menunjuk kucing di bawah meja yang memang sedang memakan ikan.
"Sorry, Bang. Tadi bantu Jono kejar copet."
"Kalau gitu caranya, lo kerja sama Bang Tigor sana. Jadi preman, repot bener idup lo. Gue kasih yang enak. Malah sukanya lari- lari." Hanum menunduk. "Pokoknya gaji lo gue potong buat gantiin ikan yang dimakan sama tuh kucing." Hanum hanya bisa mengangguk pasrah.
Di sore hari Hanum pulang dari pasar dengan beberapa ikan di tangannya. Ikan mati yang di berikan Bang Hasan. Meski kadang dia galak, tapi Bang Hasan baik selalu memberinya ikan mati saat pulang bekerja. Dan Hanum bisa menghemat membeli lauk hari ini untuk makan adik- adik dan bapaknya di rumah.
Bapak Hanum, Suryanto biasanya menjadi kuli panggul di pasar, namun sudah dua hari ini dia tidak bisa bekerja karena sedang sakit. Jadi Sebisa mungkin Hanum bekerja dengan lebih giat agar dapurnya bisa ngebul.
Setelah selesai dengan kios ikannya, Hanum bekerja membantu siapa saja yang membutuhkannya di pasar. Hanum bahkan bisa menjadi kuli panggul atau ojek payung.
Hanum melihat langit sudah mulai gelap. Dengan kantung kresek hitam di tangannya Hanum segera berjalan untuk pulang. Rumahnya tak jauh dari sana. Tepat berada di belakang pasar dan hanya terhalang sebuah kali, jadi dengan berjalan kaki Hanum sudah sampai bisa di rumah.
Namun saat ini dia yang akan berbelok ke dalam gang justru melihat seorang wanita paruh baya yang kesulitan menyebrang di jalan ramai tersebut. Sementara disana memang tidak ada jembatan penyebrangan.
"Mau nyebrang, Bu?" tanya Hanum dengan memiringkan wajahnya.
Wajah wanita paruh baya itu sangat cantik dan kalem dengan penampilan anggun.
"Ya, kamu bisa bantu saya?" suaranya bahkan sangat pelan dan lembut membuat bulu kuduk Hanum meremang.
....
Hai, hai, hai... seperti biasa cek ombak😁
Doble Up kalau boleh kak