"Apa yang kamu bicarakan Lin Yi? A-aku sudah kotor sejak kecil haha, dan kamu, dan kalian kenapa masih tertarik pada perempuan sepertiku? Sepertinya kalian kurang berbaur ya, diluar sana masih banyak loh gadis yang lebih dariku dari segi fisik dan mental, so, kerjasama kita bertiga harus profesional ya!" Sebenarnya Safma hanya mengatakan apa yang ada dalam pikirannya, walaupun Safma sendiri tidak terlalu paham dengan maksud dari kalimatnya secara mendalam. Tidak ada airmata dari wajah Safma, wajahnya benar-benar pintar menyembunyikan emosinya.
"Safma!" Sudah habis kesabaran Lin Yi, kemudian menarik tangan Safma pelan juga tiba-tiba namun dapat membuat gadis itu terhuyung karena tidak seimbang. "Jangan bicarakan hal itu lagi, hatiku sangat sakit mendengarnya. Kamu terlalu berharga untukku, Please biarkan aku terus mencintaimu!" Lirih Lin Yi dibarengi air mata yang mulai berjatuhan tanpa seijinnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sazzzy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Seperti mimpi
Suara burung hantu bergema di telinga gadis yang sedang rebahan, dengusan nafas terdengar diiringi decak kesal karena tak habis pikir dengan apa yang dilihatnya.
Safma menggigit kuku ibu jarinya, sungguh, gadis itu tidak habis pikir dengan berita yang lewat karena fyp di sosial medianya.
"Itulah alasanku tak ingin menjalin hubungan dengan manusia manapun sampai saat ini," membatin dengan raut wajah tak habis pikir dengan pengorbanan pemuda yang telah tewas akibat patah hati.
"Ini kalau aku ada disana sebelum kejadian, beda cerita pasti, beritanya jadi 'seorang turis asing ikut tewas saat menyelamatkan pria lokal yang ingin mengakhiri hidupnya', ikut mati konyol hem ..." Setelah bergumam seperti itu Safma menatap langit-langit kamarnya seakan menerawang dengan segala overthinking di kepalanya.
Satu hembusan nafas mengakhiri overthinking gadis itu, benar, karena dia sudah terlelap dalam tidurnya meninggalkan dunia nyata yang keras dan menjemput dunia mimpi dengan damai, baru beberapa menit tubuhnya seakan terkejut dengan sendirinya karena bermimpi terjatuh.
Matanya membuka perlahan lalu menutup kembali karena benar-benar sudah mengantuk.
Pagi harinya, mata cantik Safma terbuka perlahan menyesuaikan dengan cahaya yang masuk di netranya. Pandangannya menyapu segala penjuru ruangan dengan nyawa yang belum terkumpul sepenuhnya.
"Kemana perginya guling ku?" Meraba-raba bed yang ditempati lalu melotot seakan memperjelas penglihatannya, "Perasaan sprei ku belum ku ganti, sprei model ini kapan aku belinya?" Monolognya bingung.
Garuk-garuk kepala seolah ada kutu padahal kebingungan melanda, Safma berjalan tak tentu arah.
"Sejak kapan kamarku jadi diatas? Ck, ini bukan kamarku eh. Kamarku di bawah tanah bukan di gedung apartemen, ini dimana?" Panik kini dirasanya, menggigit kuku menjadi jalan ninja nya.
Tiba-tiba saja ia teringat dengan ponselnya, gegas ia mencari dimana handphonenya berada, "Dimana ... Ah," matanya melebar.
Prokk prokk
Menepuk tangan berulang.
Sayang aku disini ... Sayang aku disini ...
Dering dengan suara dari semua member of Straykids yang ditunggu menggema ke segala penjuru.
Suara itu ternyata bersembunyi di dalam vas kosong, tersenyum samar. Diraihnya handphone kesayangannya lalu menghidupkan layar dan tampaklah screen lock sunset dengan fotonya.
Kaget bukan main, sungguh, sejak kapan ia berencana keluar negeri? Apalagi negeri C, pandangan Safma beralih ke tas kesayangannya. Saat dilihat ia bertambah kaget, bukti ia liburan ke luar negeri benar-benar adanya.
Tidak mau tahu, ia pun segera mandi dan sarapan, Safma berjalan ke dapur minimalis dan mulai menggoreng telor dua biji juga membuat sambal untuk bumbunya. Benar, rencananya Safma akan memasak telor sambalado, harum masakan benar-benar menggugah seleranya.
Sedikit takjub dengan isi lemari pendingin yang lengkap akan sayur mayur dan keperluan lauk pauk lainnya.
Setelah selesai menikmati masakannya dengan hikmat, entah ini mimpi atau bukan, yang jelas ia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini, Safma mencari kamera dari hasil menulis novel seraya tersenyum lebar selama sedetik.
Bersiap dengan baju sederhana, Safma berniat berkeliling dengan puas. Safma akan mengabadikan segala momen yang ada dengan kameranya, tanpa terkecuali.
Dari pagi sampai malam hari, Safma benar-benar puas menjelajahi negeri C, mencicipi makanan halal yang ada, menapaki tempat wisata dengan wajah poker face andalannya walaupun hatinya sangat berbunga-bunga.
Saat memotret langit yang cantik dengan bulan dan bintang yang menambah keindahan langit malam ini, tiba-tiba ada bintang jatuh, tidak mau ketinggalan momen, tentu saja Safma mengarahkan bidikan kamera dengan wajah menampilkan senyum tipisnya.
Melihat hasil jepretannya, Safma tak mampu menyembunyikan senyuman sangat puas.
Kembali mengambil ancang-ancang untuk memotret langit, tiba-tiba saja ada angin malam berhembus dari kanannya. Membuat wajahnya tertutup rambut dan pandangannya jadi terganggu.
Menghela nafas kesal karena gagal memotret momen indah, merasa sedikit pegal, Safma merilekskan otot lehernya sampai terdengar bunyi...
Krekk krekkk
Dan betapa kagetnya ia saat memiringkan kepalanya ke kiri, pemandangan pria asing yang mencoba memanjat pagar jembatan dengan bahu bergetar.
Tanpa babibu, Safma menghampiri pria asing itu dengan berlari tergopoh-gopoh. Firasat buruk menyerangnya, debar jantungnya berdetak kencang.
Sesampainya ditempat tujuan, dengan nafas ngos-ngosan Safma memegang dadanya yang terasa sangat sesak. Menopang tubuhnya dengan membungkukkan badannya dengan tangan sebelah bertumpu pada lutut kirinya dan tangan sebelah kiri memegang dadanya.
"Sungguh, kamu berharga dan layak untuk hidup." Tahannya dengan nafas ngos-ngosan, ditambah memakai bahasa lokal karena Safma yakin bahwa yang mencoba mengakhiri hidupnya itu orang lokal. Masa bodoh dengan aksen suaranya yang mungkin terdengar aneh. Toh emang bukan orang sini.
"Percayalah, kamu berharga dan layak untuk hidup." Ulangnya dengan sedikit perubahan.
"Kamu tidak tahu apa yang kurasakan!" Lirih pemuda itu masih berusaha memanjat pagar jembatan.
Sedikit batuk, "Aku memang tidak tahu, yang ku tahu keberadaan aku di sini untukmu dan aku ingin membantumu." Rayu Safma mencoba mengambil celah.
"..."
Panick attack dan GERD Safma kembali kambuh sekarang diwaktu yang tak tepat. Ingin menangis rasanya, badannya gemetar juga merasa sesak.
Berdehem seraya mengatur nafasnya, "Aku peduli padamu dan aku tidak ingin kamu celaka ..." Rayunya dengan mencekal lengan pemuda asing itu.
Namun pemuda asing itu kekeuh berusaha melepaskan cekalan tangan Safma dengan bergetar, Safma yakin kekuatan pemuda asing itu sedikit melemah.
"Apa yang membuatmu ingin melakukan ini sodaraku? Butuh pelukan? Turunlah, dan peluk aku, menangislah sepuasmu jika itu akan membantumu lega, ayo River turunlah, kumohon ..." Rayunya lagi dengan wajah memohon, "Bersama-sama, kita bisa mencari solusi untuk masalahmu. Percayalah padaku, aku akan membantumu, kamu tidak sendiri."
Beberapa menit kemudian akhirnya pemuda asing itu mau turun walaupun dengan paksaan karena Safma langsung menariknya karena tak sabar ...
Pemuda itu berjongkok memeluk tubuhnya sendiri dengan bergetar, terdengar isak tangis memilukan. Sesakit itukah sampai pemuda itu menangis semenyedihkan itu?
Pandangan Safma melembut, "Sini peluklah aku, luapkan emosimu dalam pelukanku. Aku di sini untuk mendengarkan dan membantu sebisa yang aku bisa." Rayu Safma, sekali seumur hidup baru kali ini Safma merayu orang sampai seperti ini, persetan dengan gengsi, ini sangat genting dan penting dilakukan daripada mengedepankan ego.
Tak ada pergerakan, akhirnya Safma berinisiatif memeluk duluan dan ...
Grepp
Sepertinya pemuda itu sedikit terkejut dengan gerakan tiba-tiba yang Safma lakukan.
Tak peduli, Safma lebih mengeratkan pelukannya.
"Ayo, menangislah sampai kamu lega, setidaknya itu akan mengurangi rasa yang kamu rasakan saat ini walaupun sedikit," tangan Safma mengusap punggung dan kepala pemuda itu sayang.
Tangis pemuda itu kembali pecah dengan suara yang benar-benar memilukan, Safma menggigit bibirnya seraya memejamkan matanya erat merasa tak kuat dengan suara yang begitu memilukan di indra pendengarannya.
"Benar, menangislah ..." Lirih Safma setia menenangkan.
"Aku benar-benar bodoh ..." Lirih pemuda itu dengan suara bergetar pilu.
Safma tersenyum seakan mengiyakan walaupun tidak dapat dilihat oleh pemuda itu. "Kau memang bodoh." Batin Safma membenarkan.
"Aku benar-benar bodoh ..." Ulang pemuda itu entah sudah berapa kali.
Mendengar itu sebenarnya Safma sedikit tak enak karena membenarkan, mungkin sudah setengah jam mereka berdua berpelukan, ah tidak, lebih tepatnya Safma memeluk pemuda malang itu.
Sebenarnya jika boleh jujur, Safma merasa benar-benar pegal dan kesemutan ditubuhnya. Baiklah, lupakan itu dan fokus dengan pemuda asing itu sekarang.
Tiba-tiba keheningan melanda, hanya ada isak tangis pemuda itu yang menandakan tangisnya mereda.
Berfikir sejenak, Safma memberanikan diri untuk bertanya, "Hey, um, apa kau tertidur?"
Dirasakannya pemuda itu memberi respon dengan menggelengkan kepalanya.
Menepuk bahu pelan, kemudian Safma melepaskan pelukannya. "Ikutlah denganku!"
Pemuda asing itu mendongakkan kepalanya dengan wajah sembabnya akibat menangis yang entah sudah berapa lama yang jelas pasti sangat lama sampai terlihat menggemaskan eh. Tidak, menyedihkan.
Menghela nafas panjang, "Aku mengajak bukan memberi pilihan." Jelasnya. "Ayo!"
Tangannya meraih tangan pemuda itu dan mengalungkan lengannya di leher untuk menopang tubuh pemuda yang terbilang cukup jangkung itu.
Dari jauhan sangat terlihat jelas kejomplangannya, bagaimana tidak, Safma yang memiliki tinggi hanya 150 cm harus menopang tubuh pemuda asing itu dengan tinggi badan sekitar 185an cm.
Didalam mobil, suasana hening menyelimuti mereka berdua, pemuda asing itu terus saja menatap kearah jendela.
Sungguh, sejujurnya Safma sedikit bingung untuk memulai membuka percakapan diantara mereka berdua. Safma kurang pandai untuk hal itu.
Tersenyum tipis dan menghela nafas panjang, "Dunia memang selucu itu, untuk kita yang serius dan menaruh harapan besar," suara Safma memecah keheningan mereka.
"..." Masih setia menatap jendela, tanpa merespon apapun.
Melirik sekilas lalu kembali fokus menyetir, "Jangan terlalu dipikirkan, itu akan merusak mu lebih dalam, aku tidak bisa bayangkan apa yang kamu rasakan sekarang, tapi aku ingin kamu tahu bahwa kamu tidak sendirian." Memasang wajah serius, kemudian tangannya menepuk bahu pemuda itu seakan memberi semangat.
"..." Terdengar helaan nafas yang seakan sesak didengar ditelinga Safma.
"Benar, kebanyakan kata-kata bijak itu mudah diucapkan dan terkadang begitu sulit menjalaninya. Yah, seperti kalimat 'Tuhan saja pemaaf, masa kamu ngga.' CK, yang benar saja, kita ini manusia loh bukan Tuhan, bisa-bisanya kalimat itu menyamakan dan membandingkan kita dengan sang pencipta, gak masuk akal huh." Entah kenapa Safma terdengar malah seperti adu nasib.
Sadar akan ucapannya, Safma sedikit berdehem seraya tersenyum awkward, "Um, maksudku itu, em itu, yah itu, apa ya itu, em jangan bandingkan diri sendiri atau orang lain gitu. Eh, tidak, hidup dimulai dengan mencintai sang pencipta, diri sendiri dan kemudian orang lain seperti keluarga, nah baru orang asing, ya, kurang lebih begitu. Yang jelas percaya akan diri sendiri bahwa kamu bisa melewatinya dengan baik." Safma menggigit bibirnya karena sadar ucapannya belepotan.
Pemuda asing itu menoleh sebentar kemudian kembali memandang jendela, "Aku dikhianati oleh kekasih ku, tidak, mantan kekasihku. Dilukainya dan ditipu habis-habisan, hatiku hancur, cintaku hancur, kepercayaan ku hancur, perasaanku hancur, pikiranku hancur, semuanya hancur karena dia. Dia datang seakan menjadi obat ternyata sumber luka terhebat, aku tidak menyesal berkorban banyak hal untuk dirinya, yang ku sesali adalah aku jatuh cinta sedalam-dalamnya tanpa menyisakan sedikit untuk diriku sendiri. Aku terlalu buta dan tuli mencintainya tanpa peduli ucapan teman-temanku untuk berhati-hati. Aku benar-benar payah." Terlihat air mata pemuda itu menetes tanpa permisi, suaranya bergetar dan serak.
Safma meneguk salivanya susah payah, curhatan pria itu terdengar sangat putus asa dan sesak untuk didengar, "Apakah kamu sadar bahwa kamu beruntung setelah terlepas darinya?" Celetuk Safma.
"..." Masih memandang jendela, namun dengan mengernyitkan dahi yang ditangkap oleh sudut mata Safma.
"Bukan karena kamu bertindak seperti tadi, bukan, bukan, bukan, melainkan karena kamu sudah selamat untuk tidak sakit hati lebih dalam lagi, percayalah kamu berhak bahagia. Bila perlu buktikan kamu akan lebih sukses tanpanya, dan aku yakin kamu pasti bisa melakukannya." Senyum Safma diakhir kalimatnya.
Mendengar kalimat dari Safma, pemuda asing itu menoleh dan menatap mata Safma dengan tatapan kosong, "Apakah itu mungkin? Aku tidak memiliki apa-apa sekarang." Lirihnya.
"Tapi kamu punya semua yang kamu inginkan didalam diri kamu, tanpa perlu aku sebutkan apa bukankah kau sudah mengetahuinya? River percaya dirilah, temani aku yang sudah menaruh rasa percaya padamu untuk kebangkitan dirimu sendiri. Dengan kata lain, aku akan membantumu bangkit dan berdiri menginjak masa lalu mu itu."
Dan ya, obrolan pun terhenti, keheningan kembali melanda, hanya suara mesin mobil yang memenuhi indra pendengaran mereka.
Sesampainya di apartemen.
Safma terus saja menggandeng tangan pemuda asing itu posesif karena takut jika pemikiran untuk mengakhiri hidupnya dominan lagi. Lebih tepatnya jika pemuda asing itu kabur dan kembali melakukan tindakan konyol itu.
"Masuklah ..." Dengan lapang dada Safma mempersilahkan pemuda asing itu masuk ke apartemen minimalis nya.
"..." Pemuda itu benar-benar diam dari tadi, Safma jadi was-was jika itu mungkin bisa saja pemuda itu ingin mengakhiri hidupnya dengan benda tajam di apartemennya.
Overthinking Safma memang merugikan Safma sendiri.
Tangannya membawa pemuda asing itu ke sofa ruang tamu, "Duduk dan tenangkan pikiran mu juga perasaan mu, tetap lah disini aku akan kembali!"
"..." Dengan pandangan kosong menatap lurus tanpa bergerak sedikitpun.
Setelah kembali dari dapur dengan nampan berisi bubur ayam diatasnya. "Makanlah, aku tahu kau pasti lapar karena menangis dan bersedih, sayangi tubuhmu dulu sebelum jatuh pada orang lain. Bersama-sama, kita bisa melewati ini, Aku tidak akan meninggalkanmu sendirian ..." Menyodorkan semangkuk bubur dengan suwiran ayam yang sudah dipanaskan. "Baiklah, River ayo buka mulutmu akan ku suapi."
Lahap
Ya, itu yang ditangkap oleh indra penglihatan Safma, pemuda asing ini sangat lahap seakan tak pernah makan sebelumnya. Mana didukung dengan tubuhnya yang kurus, Safma jadi tak tega.
"Orang gila mana yang tega mencampakkan pemuda setulus dia." Prihatin Safma.
Setelah membereskan makanan pemuda asing itu, Safma kembali mengambil tempat duduk di sampingnya.
Uluran tangan Safma ajukan, "Oh ya, sebelumnya perkenalkan, namaku Safma asal Indonesia. Aku sedang liburan disini," Safma mencoba akrab dengan senyuman manis yang gadis itu tampilkan.
"Yang River."