NovelToon NovelToon
Rahasia Di Balik Kandungan

Rahasia Di Balik Kandungan

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Hamil di luar nikah / Cinta Terlarang / Pengantin Pengganti / Romansa
Popularitas:2.1k
Nilai: 5
Nama Author: Leel K

Semua orang melihat Claire Hayes sebagai wanita yang mengandung anak mendiang Benjamin Silvan. Namun, di balik mata hijaunya yang menyimpan kesedihan, tersembunyi obsesi bertahun-tahun pada sang adik, Aaron. Pernikahan terpaksa ini adalah bagian dari rencana rumitnya. Tapi, rahasia terbesar Claire bukanlah cintanya yang terlarang, melainkan kebenaran tentang ayah dari bayi yang dikandungnya—sebuah bom waktu yang siap menghancurkan segalanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leel K, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 1. Panggilan di Tengah Malam

Aaron meletakkan tablet di bangku sebelah dengan agak kasar, bersamaan halnya dengan helaan nafasnya yang terdengar berat. Ia melihat ke arah bangku pengemudi, di mana sekretarisnya, Samuel, fokus ke jalan. Samuel tampak tidak menyadari apa yang baru saja ia lakukan.

Pandangannya kemudian beralih keluar jendela, melihat sekelebat bayang orang-orang di pinggir jalan—anak kecil, kemudian beberapa pedagang kaki lima. Hari sudah menjelang malam, namun keramaian di sana tampak begitu ceria.

“Direktur, kita sudah sampai,” ujar Samuel kemudian.

Aaron seolah baru terbangun dari lamunan panjang. Ia mengerjapkan matanya sekali, melihat sekitar. Mobil ternyata sudah berhenti di tepi jalan, di depan sebuah gedung pencakar langit yang menjulang tinggi dengan angkuh.

Aaron mengambil tas kerjanya di sebelah, turun dari mobil lewat pintu yang dibukakan Samuel untuknya. “Terima kasih,” ucapnya kemudian.

Samuel lantas membungkuk hormat, “Terima kasih, Direktur,” balasnya. Ia kemudian menambahkan, “Selamat malam.”

Aaron hanya mengangguk kecil, lalu berjalan memasuki gedung dengan langkah tenang. Orang-orang memandangnya di lobi, menatapnya kagum juga segan. Beberapa petugas yang ia lewati bahkan membungkuk hormat.

Begitu berada di depan lift yang dikhususkan untuknya, pintu tersebut langsung terbuka tanpa membuatnya harus menunggu lama. Aaron masuk ke dalam. Sebelum pintu benar-benar tertutup, ia masih bisa melihat orang-orang yang tampak fokus padanya, penasaran pada dirinya.

Begitu lift tertutup, helaan nafas panjang keluar dari bibirnya. Ia melonggarkan dasi yang mencekik lehernya dengan gerakan sedikit kasar, kemudian memandangi pantulan dirinya di dalam lift. Alisnya sedikit mengernyit; ia tampak tidak suka melihat bayangan dirinya di sana, namun merasa tidak bisa melakukan apa pun untuk mengubahnya.

Tiba di lantai teratas, pintu kembali terbuka.

Aaron melangkah keluar dari lift, berhenti di depan pintu ganda besar, dan menempelkan ibu jarinya pada perangkat keamanan di depan pintu untuk bisa masuk ke dalam.

Hening dan sunyi. Itulah yang ia dapati setelah memasuki pintu. Keheningan yang biasa—bahkan hampa—namun justru membuatnya merasa nyaman. Ia meletakkan tasnya di sofa ruang tamu, melepas jam tangan di pergelangan tangannya—jam tangan yang harganya bisa membeli puluhan rumah sederhana—dan melemparkannya begitu saja di atas meja. Ia kemudian menjatuhkan diri di atas sofa, benar-benar membenamkan punggungnya pada kenyamanan bantalan sofa di sana. Helaan nafas lelah kembali lolos dari bibirnya. Ia menatap ke atas, melihat lampu gantung hias di atasnya—tampak mengkilap, mahal, namun entah kenapa terasa rapuh.

Mungkinkah aku terlihat seperti itu?

Matanya terpejam perlahan, lelah dan juga mengantuk. Sebentar saja. Hanya sebentar.

Ia terlelap dalam hitungan detik. Waktu terus berjalan menit demi menit menjadi beberapa jam yang sudah terlewati. Malam semakin sunyi, suara detik jam semakin terdengar jelas dalam keheningan penthouse. Tak lama kemudian, hujan turun membasahi Ibu Kota Massachusetts, semakin deras lalu diikuti dengan kilatan petir di langit malam.

Namun bukan hal itu yang membangunkan Aaron dari tidurnya, melainkan suara getaran ponselnya yang terus-menerus bergetar di atas meja.

Aaron mengambil ponselnya, mengangkatnya tanpa melihat nama pemanggil. Sambil menunggu suara di seberang sana, Aaron, dengan pandangan yang masih kabur, melihat jam dinding. Pukul tiga dini hari.

“Aaron...”

Aaron tertegun. Nafasnya terhenti di dada mendengar suara ibunya, terdengar lirih dan tercekat.

“Aaron,” panggilnya lagi, kali ini disertai isakan tangis.

Aaron segera berdiri, rasa kantuknya lenyap seketika. “Ada apa, Ibu?” tanyanya khawatir, terdengar sedikit mendesak. Ia benar-benar ingin tahu apa yang sedang terjadi sampai membuat suara ibunya terdengar seperti itu.

“Benjamin...” isaknya lagi, begitu berat rasanya bagi ibunya menyebutkan nama kakaknya itu. “Benjamin, Aaron, di-dia... ugh,” tangis ibunya pecah.

Aaron semakin diserang cemas dan rasa penasaran. Selain suara tangis ibunya, samar-samar ia mendengar banyaknya suara orang lain di sana—bisikan panik, langkah kaki tergesa. Entah apa yang terjadi, yang jelas kediaman orang tuanya saat ini sedang kacau, dan itu pasti karena kakaknya. Lagi.

Apalagi sekarang?!

Aaron dengan cepat mengambil mantel dan kunci mobil kemudian bergegas keluar penthousenya.

Sepanjang perjalanan, hujan badai pada malam itu entah kenapa terasa lebih kuat dari biasanya. Aaron berusaha memfokuskan dirinya, sampai panggilan kembali masuk padanya. Ibunya menelpon lagi. Aaron dengan cepat mengangkat panggilan itu.

“Aaron, kau di mana, Nak?” Kali ini, ayahnya yang berbicara. Suaranya terdengar begitu lelah, putus asa.

“Sedang dalam perjalanan ke sana,” kata Aaron cepat. “Apa yang sedang terjadi, Yah?” Aaron tak sabaran. Rasanya begitu lama waktu tempuh ke sana untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.

Tak ada jawaban dari sang ayah. Hanya keheningan di ujung telepon.

“Ayah? Semua baik-baik saja, kan?” Aaron semakin menambah kecepatannya.

Ayahnya masih tidak menjawab, hanya terdengar suara helaan pasrah dari telepon. Aaron yang mendengarnya hanya bisa mengeraskan rahang, antara kesal dan khawatir yang memuncak. Apa? Apa yang terjadi?!

Aaron ingin sekali mengumpat saat itu juga.

“...Dia meninggal,” kata ayahnya. Suaranya datar, hampa.

Aaron merasakan dunianya berhenti. Huh?

“Benjamin, kakakmu meninggal dunia, Aaron.”

Dalam sepersekian detik, cengkeraman Aaron pada kemudi mengendur. Fokusnya hilang sepenuhnya. Ia tidak sadar mobilnya oleng. Terdengar decitan ban yang nyaris tak ia dengar. Mobilnya menabrak bangku kayu di depan sebuah toko dengan keras, ban-ban mencicit memekakkan telinga saat Aaron secara naluriah membanting setir, hampir menabrak toko itu sendiri.

Namun bukan hantaman itu yang membuatnya terpaku. Melainkan kata-kata ayahnya. Ia mendengarnya, tapi otaknya menolak untuk memproses.

“Aaron! Kau baik-baik saja?!” Ayahnya memanggil khawatir, suaranya terdengar tinggi, panik. “Aaron!”

Aaron masih terpaku. Menatap kosong ke depan, ke arah malam yang gelap dan hujan yang menderu. Nafasnya... ia kesulitan bernafas. Paru-parunya terasa kosong, tenggorokannya tercekat.

“Aaron!”

1
Ezy Aje
lanjur
Aura Cantika
Kepalang suka deh!
Leel K: Aaah... makasih 🤗
total 1 replies
Coke Bunny🎀
Cerita yang bikin baper, deh!
ナディン(nadin)
Nggak bisa move on.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!