Novel romantis yang bercerita tentang seorang mahasiswi bernama Fly. Suatu hari ia diminta oleh dosennya untuk membawakan beberapa lembar kertas berisi data perkuliahan. Fly membawa lembaran itu dari lantai atas. Namun, tiba-tiba angin kencang menerpa dan membuat kerudung Fly tersingkap sehingga membuatnya reflek melepaskan kertas-kertas itu untuk menghalangi angin yang mengganggu kerudungnya. Alhasil, beberapa kertas terbang dan terjatuh ke tanah.
Fly segera turun dan dengan panik mencari lembaran kertas. Tiba-tiba seorang mahasiswa yang termasuk terkenal di kampus lantaran wibawa ditambah kakaknya yang seorang artis muncul dan menyodorkan lembaran kertas pada Fly. Namanya Gentala.
Dari sanalah kisah ini bermulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chira Amaive, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 1
Cuaca dingin ekstrim tak terpungkiri. Sebuah mantel tebal yang menyelimuti tubuh ditambah sweater di dalamnya pun tak mampu menghambat gigil yang menusuk. Terutama bagi seorang perempuan yang tengah tergesa-gesa menyusuri balkon kampus itu. Ia memeluk tumpukan kertas sembari ditemani suara gigi nan bergemeletuk. Ia memang lemah sekali terhadap rasa dingin. Tapi bak sebuah angin pelan yang ajaib, ia malah berkuliah di kampus yang terletak di daerah paling dingin di Indonesia.
“TIDAK!” jeritnya sebab sebelah sisi kerudungnya terlepas dan berkibar ke belakang, membuat bagian lehernya terlihat.
Rasa panik membuatnya seketika menjatuhkan tumpukan kertas yang merupakan milik dosennya. Ia diminta untuk membawanya ke ruangan dosen tersebut usai pelajaran tadi. Dikarenakan ia merupakan mahasiswa yang terakhir keluar, maka ia yang diperintahkan.
Sekejap, lehernya telah terselamatkan. Tapi tidak dengan kertas-kertas milik dosen itu. yang kini telah diterbangkan oleh angin kencang. Sambil menyematkan jarum pentul pada kerudungnya, perempuan itu melangkahkan kakinya untuk menyelamatkan tumpukan kertas yang berserakan. Entah berapa banyak lembar-lembar itu. Beberapa di antaranya terbang keluar menuju halaman. Sementara ia sedang berada di lantai dua.
“Ayolah, kenapa kampus ini sepi sekali?”
Bangunan itu memang sudah sejak tadi sepi. Siapa pun akan buru-buru pulang dengan cuaca mendung berangin seperti itu. Lain halnya dengan ia yang memang suka sekali menunda waktu pulang. Bukan tanpa sebab. Ia hanya merasa tenang ketika pulang saat suasana kampus telah sepi.
Perempuan itu menengok ke bawah. Kertas itu masih berserakan. Tampak ada lima lembar. Sedangkan ia tidak yakin jumlah lengkapnya ada berapa. Dengan langkah tergesa-gesa dan ngos-ngosan, ia menuruni tangga yang licin. Sebentar lagi hujan turun. Entah bagaiman nasibnya jika kertas-kertas itu basah. Walaupun kertas-kertas yang ia peluk itu juga kini kusut.
Dedaunan kuning hingga kecoklatan berguguran. Sebuah kampus yang memang dikelilingi banyak pepohonan nan menjulang. Sehinga setiap kali cuaca berangin akan menjadikan dedaunan menari-nari anggun di sekelilingnya. Seharusnya dedaunan itu akan bersua kertas-kertas putih itu, namun nyatanya tidak. Tidak ada lagi benda tipis berwarna putih itu di tanah. Bukan karena hilang, namun kini telah berpindah. Menuju tangan seseorang yang berdiri membelakangi si perempuan.
Sejenak, perempuan itu mengembuskan napas berat. Suara napasnya yang ngos-ngosan sudah cukup untuk membuat seseorang yang memungut kertas yang jatuh itu berbalik hadap.
Wajah tenang bertahta. Tanpa ekspresi berarti. Namun berhasil membuat dirinya seperti pemanis sang dedaunan nan menari. Seorang lelaki dengan kemeja hitam yang tampak basah.
“Punyamu?” tanya lelaki itu.
Perempuan itu mengangguk. Sejenak tampak menyadari kemeja lelaki itu yang basah.
“Tanganku kering. Tenang saja.” Lelaki itu menyadari tatapan tersebut.
____ ____ ____
“Gentala yang anak Bahasa Arab?”
Perempuan itu mengangguk.
“Tahu, lah. Semua orang juga pasti kenal. Keluarga dia orang-orang penting. Bahkan kakak dia artis. Justru aku heran, kenapa orang kayak dia malah kuliah di sini. Kenapa bukan di universitas top. Atau di mana kek. Mana ngambilnya bahasa arab. Kenapa nggak sekalian kuliah di Mesir. Atau Madinah gitu. Minimal Turki, kek. Aku kalau jadi dia sih bakal berusaha keras biar bisa masuk Oxford. Dengan keluarga kayak gitu, otakku pasti akan mengalami kenaikan yang signifikan. Bukan begitu, Fly? Orang kaya itu otomatis pintar. Karena ada sarana, ada biaya, ada motivasi. Ah, semuanya ada pokoknya. Sempurna banget deng hidupnya. Benar-benar nggak habis pikir dia mau kuliah di kampus yang seperti di tengah hutan ini,” tutur panjang lebar dari seorang perempuan berambut pendek itu.
Perempuan, si penanya yang bernama Fly itu menarik napas panjang. Sebuah lontaran pertanyaan pendek itu dijawab dengan kata-kata sepanjang kereta api.
“Masih pagi, Yui. Jangan bikin pusing dulu, deh,” keluh Fly.
“Loh, ‘kan kamu yang nanya.”
“Aku cuma nanya apakah kamu tahu Gentala atau nggak. Udah tinggal jawab iya atau nggak.”
“Habisnya itu pertanyaan yang nggak berguna. Bahkan seluruh warga sini juga pasti kenal Gentala atau si Gen itu. Apalagi para mahasiswa. Tapi kata orang-orang dia tuh berwibawa banget hingga orang-orang sungkan untuk terlalu dekat sama dia. gimana nggak, coba. Keluaga—“
“Iya, iya. Keluarga dia orang kaya semua.” Fly berseru malas dengan si banyak bicara itu.
Beberapa mahasiswa di kelas itu tampak meninggalkan ruangan. Sebab belum ada tanda-tanda dosen mata kuliah itu yang muncul. Fly menatap bingkai pintu denga penuh harap, agar lontaran kata nan panjang dari Yui bisa terjeda sejenak. Ia biasanya akan membiarkan jutaan kata itu terlontar tanpa arah. Sebab sejak pertama kali bertemu Yui, ia memang perempuan yang banyak bicara. Tapi kali ini Fly sedang pusing-pusingnya dengan kertas-kertas dosen yang jatuh kemarin. Tidak hanya dengan Fly, tapi dengan semua orang. Itu yang membuat perempuan keturunan Jepang itu bisa berbaur dengan siapa saja. sekalipun tidak jarang dari mereka yang tidak tahan dengan ocehan tanpa ujung itu.
“Kamu lagi berharap melihat siapa, Fly?” Yui bertanya.
Fly menggeleng malas. Lantas membenamkan wajahnya pada meja. Tentu saja ia tidak mengharapkan siapapun. Sebab ia hanya ingin dosen pengajarnya yang muncul. Sekalipun entah mengapa yang muncul di pikirannya justru wajah Gen. Seseorang yang memungut kertas dosen yang dibawanya sebelum hujan deras benar-benar mengguyur.
“FLY!” panggil seseorang dengan suara cemprengnya.
Sontak membuat perempuan berkerudung coklat muda itu terkejut hingga tak sengaja memukul Yui. Yui meringis sembari memegang bibirnya.
“Eh. Maaf, Yui.” Fly berkata.
Seseorang yang memanggil Fly tampak merasa bersalah. Ia menatap wajah Yui lamat-lamat untuk memastikannya baik-baik saja.
“Santai-santai. Ini bukan pertama kalinya Fly memukulku.”
Fly tersenyum miring sambil menggaruk kerudungnya.
“Fly, aku boleh minjem almet kamu, nggak?” tanya seorang perempuan bertubuh kurus dan pendek itu. Ia adalah mahasiswi paling mungil di kelas itu.
“Emang almet kamu mana? Terus buat apa?”
“Kemarin basah. Terus aku pulang malem. Jadi nggak sempat ngeringin. Soalnya hujan juga. Buat lomba UKM.”
“Lagian kamu ngapain hujan-hujanan pakai almet, Wia?” Yui menimpali.
“Enak aja bilang aku hujan-hujanan. Itu tuh gara-gara pipa air yang tiba-tiba pecah. Aku jadi basah. Untung aja Gen datang buat memperbaiki itu. padahal di sana ada banyak cowok. Tapi yang gerak cuma Gen. heran,” ungkap Wia.
Yui tampak menggigit bibir. Lantas melemparkan pandangan ke arah Fly. Mereka baru saja habis membahas lelaki itu. Sebuah ungkapan yang membuat Fly seketika menyadari sebab kemeja Gen basah kemarin.
“Gen yang Gentala? Adiknya krista, aktris terkenal itu?” Yui memastikan
.
“Iyalah. Siapa lagi yang namanya Gen kalau bukan Gentala si adik aktris terkenal.”
Fly menarik napas. Baiklah, pembicaraan terkait Gentala si adik aktris ternyata belum usai.