Kenyataan menghempaskan Dion ke jurang kekecewaan terdalam. Baru saja memutuskan untuk merangkak dan bertahan pada harapan hampa, ia justru dihadapkan pada kehadiran sosok wanita misterius yang tiba-tiba menjadi bagian dari hidupnya; mimpi dan realitas.
Akankah ia tetap berpegang pada pengharapan? Apakah kekecewaan akan mengubah persepsi dan membuatnya berlutut pada keangkuhan dunia? Seberapa jauh kenyataan akan mentransformasi Dion? Apakah cintanya yang agung akhirnya akan ternoda?
Apapun pilihannya, hidup pasti terus berjalan. Mengantarkan Dion pada kenyataan baru yang terselubung ketidakniscayaan; tentang dirinya dan keluarga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon K. Hariara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Prolog
...“Jangan menyesali yang sudah terjadi dan berlalu. Selamatkan saja yang tersisa.” — Melati Aisyah Nayra...
Suara gadis kecil dan gedoran pada pintu kamar membuat Dion membuka mata dan menatap pada jam dinding di kamarnya.
“Masih jam 11. Kenapa waktu bergerak lambat hari ini?” pikir Dion lalu kembali memeluk bantalnya coba tidur lagi.
“Om Dion! Om Dion, Bangun!”
“Iya, Om Dion akan keluar. Sebentar, Yen!” sahut Dion mendengar panggilan kedua dari Yenni, putri tunggal induk semang yang masih TK. Gadis itu sangat menyukai Dion karena selalu diajak bermain sepulang sekolah hingga jam makan siang.
Dion kini sudah mengontrak kamar di rumah sepasang suami-istri yang berjarak tak jauh dari kontrakan lamanya.
Si kembar Oscar dan Tian berhasil lulus UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri) dan melanjutkan pendidikan di Jawa Tengah membuat Dion menjadi satu-satunya penghuni tersisa.
Dion tak memperpanjang kontrak rumah lamanya karena ingin menghemat pengeluaran apalagi ia sudah kembali ke bangku kuliah.
Seorang ibu paruh baya pemilik warung langganan memperkenalkan Dion pada pasangan Adian-Marini. Tak butuh banyak pertimbangan ketika kedua pasangan itu menawarkan kamar berukuran 3 x 3 kepada Dion.
Mulanya Dion sempat khawatir karena beberapa orang tidak nyaman dengan perbedaan agama. Tapi Marini dan Adian hanya tertawa mendengar pengakuan Dion. Dengan memiringkan kepala, Adian menjawab sambil berkelakar, “Asalkan tidak punya agama saja. Itu melanggar konstitusi alias ilegal di negara kita.”
Dion juga memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang lebih tinggi, Diploma-3 atas dorongan Wina yang ingin pemuda itu terus menyibukkan diri.
“Dion tak boleh punya waktu untuk berleha-leha lalu melirik wanita lain,” begitu alasan Wina ketika itu.
Dion melewati hari-harinya dengan semangat. Apalagi ia memang menggandrungi bahasa pemrograman. Dion ingin meningkatkan kemampuannya beradaptasi pada penggunaan sintaks berbeda antar bahasa.
Dion yang langsung jatuh hati pada Java dan C++ mulai meninggalkan Pascal yang bertele-tele dan tidak berorientasi objek. Belakangan hari, Dion sangat mensyukuri keputusannya karena kedua bahasa itu mempunyai andil besar dalam membangun fondasi hidupnya.
Kehidupan sosialnya tak banyak berubah. Andi dan Hendrik masih merupakan teman terdekatnya. Ia hanya ketambahan beberapa teman dari kampus barunya.
Ia juga tetap mengunjungi Oppung Duma, nenek Wina secara rutin untuk mengantarkan madu hutan. Selain itu, Dion memang sangat menyukai obrolan dengan wanita tua itu yang selalu suka berbagi kisah tentang kehidupan di masa lalu.
Tak terasa waktu berlalu. Sudah 9 bulan sejak perpindahan Wina ke Jakarta. Jarak membuat keduanya hanya bisa berkomunikasi lewat telepon dan surat.
Bulan-bulan pertama, komunikasi keduanya sangat intens. Selain bertelepon secara rutin, Wina dan Dion juga saling bertulis surat elektronik dan surat konvensional menceritakan hal-hal yang tidak sempat dibicarakan lewat telepon.
Belakangan, berkirim surat secara konvensional menjadi favorit Dion. Ada sensansi tersendiri ketika membaca tulisan tangan dan mencurahkan isi hati melalui goresan tinta. Ia menjadi mengerti mengapa hal itu selalu menjadi bagian penting dari karya-karya novel dekade sebelumnya.
Dion yang mulanya kelabakan memilih kata-kata pada suratnya, mulai menemukan ritmenya sendiri. Ia iri pada tulisan Wina yang mampu menyusun kata-kata yang mengalir tanpa ragu. Wina yang straightforward tapi spontan membuat suratnya selalu terdiri dari belasan halaman.
Namun, bulan-bulan terakhir ini, kesibukan mulai memangkas kebiasaan itu. Telepon tak lagi sesering dulu, surat pun semakin jarang tiba. Dion menahan diri, menepis keinginan untuk mendengar suara Wina lebih sering. Ia tahu, kekasihnya butuh fokus penuh untuk menyelesaikan tugas akhir.
Meski rindu kerap menyelinap tanpa aba-aba, ia memilih mengalah.