Legenda Raja Abadi
Seorang lelaki tua kurus berdiri di tengah kabut. Pakaiannya putih, begitu pula rambut dan jenggotnya yang panjang, membaur sempurna dengan sekitar. Dia terlihat ringkih, seolah satu tiupan angin saja bisa menerbangkannya.
Namun di tangan kanannya, ada bola mungil berwarna hitam pekat, hitam yang begitu kontras hingga rasanya seperti sebuah lubang di tengah dunia. Bola itu terus menghisap cahaya, membuat jari-jarinya yang kurus kering terlihat semakin pucat. Lelaki tua itu menggerakkan bola itu dengan perlahan dan asal, seolah bola itu bisa jatuh kapan saja. Anehnya, bola itu menempel erat di jarinya, seperti terikat oleh benang tak kasat mata.
Dengan postur yang tegap dan berwibawa, ia tampak seperti pendeta Tao yang kharismatik. Matanya sesekali terpejam, dan saat terbuka, pandangannya mengembara jauh—menerobos kabut, melampaui era, melihat masa lalu, masa kini, dan masa depan sekaligus.
"Kabut bodoh," pikirnya. "Tidak pernah bisa melihat sejauh ini. Untung mataku sudah tua."
Diliputi rasa lelah, matanya tertutup lagi. "Apakah ini akhirnya?" gumamnya, suaranya nyaris tak terdengar. Ia menggenggam bola hitam itu erat-erat hingga urat-urat di tangan dan jemarinya menonjol.
Tiba-tiba, dari belakangnya muncul bayangan berjubah ungu cerah. Kedatangannya membawa angin dingin yang kuat, seperti badai yang membekukan. Udara di sekitar membeku, membentuk lapisan es tipis di kulit pohon dan dedaunan. Meski demikian, lelaki tua itu tetap berdiri kokoh, jubah dan rambutnya bahkan tak bergerak satu inci pun.
Angin mereda. Udara kembali tenang, dan kabut berubah menjadi salju yang berjatuhan. Dengan langkah pelan, sosok berjubah ungu itu berjalan mendekat.
Lelaki tua itu, tanpa membuka mata, hanya bisa menghela napas panjang. "Tentu saja, bahkan saat mau pensiun pun, masih ada urusan yang datang. Menyebalkan sekali."
Di dataran luas yang jauh dari sana.
Seorang jenderal berbadan kekar dalam zirah besi hitam berat menghentakkan palu raksasanya ke tanah. Gempa hebat terjadi. Bunyi gemerincing zirah besinya terdengar berisik saat ia menggerakkan tubuhnya. Perlahan, ia melepas helmnya.
Wajahnya penuh keringat dan darah. Meskipun zirah kelas tertinggi melindunginya, pelipisnya tetap berdarah. Hanya senjata level dewa yang bisa melakukan hal seperti itu. Ia menggigit lidahnya, menolak rasa lelah yang mengancam akan merobohkannya kapan saja.
Matanya menatap kosong ke dataran yang terkoyak, penuh lubang, dan dipenuhi jutaan mayat. Di antara mayat-mayat itu, berserakan harta karun surgawi: Pedang Pembelah Bumi, Tombak Seribu Iblis, Pil Reinkarnasi, dan bahkan cincin spasial dengan ruang sebesar dunia. Semuanya tak tersentuh, diabaikan, seolah tak lebih dari kerikil.
"Apa yang terjadi pada kami?" ia berpikir. "Dulu, kami akan saling bunuh demi sebutir pil. Sekarang, pil seukuran bola basket pun tidak ada harganya."
Sebuah langkah kaki mendekat. "Sudah selesai untuk hari ini?" tanya seseorang berjubah hijau, memegang vas giok kecil bercahaya redup.
"Aku harap begitu," jawab sang jenderal singkat.
"Kulepaskan semua yang kupunya. Kuharap racunku bisa mengulur waktu sedikit. Setelah ini, aku hanya taring ompong." Pria berjubah hijau itu menepuk bahu sang jenderal.
Jenderal itu tertawa terbahak-bahak. "Ha ha ha! Taring tua mu masih berguna. Kau masih bisa menghujani mereka dengan gigimu dan memutuskan leher mereka satu per satu, sebelum kepalamu terlepas dari lehermu!"
Tawa mereka pecah, memecah kesunyian dataran mayat. Pria berjubah hijau itu lalu menatap ke arah gerbang. Tanah di depannya meleleh, berubah menjadi rawa beracun yang menggelegak dengan asap pekat. Mayat-mayat musuh lenyap menjadi abu. Hanya prajurit terkuat yang tulangnya masih utuh, meski sedikit terkorosi.
Di atas gerbang akhir, langit yang tadinya kelabu kini berubah hitam pekat. Awan gelap berkumpul, diiringi kilatan petir merah dan gemuruh guntur yang saling sahut.
"Kita sudah bertempur hampir dua ribu tahun, hingga akhirnya sampai di titik ini. Segalanya terasa begitu singkat," ucap pria berjubah hijau. "Aku jadi ingat pertama kali kita bertemu. Kau waktu itu ingusan dan bandel. Dan jangan lupa, sampai hari ini kau masih berutang setengah potong roti dariku!"
Jenderal itu mendengus. "Yu Qing, semoga setelah kehidupan ini, aku tidak akan pernah bertemu denganmu lagi. Aku benci orang yang banyak bicara."
"Ha ha haa!" Yu Qing tertawa terbahak-bahak. "Sayangnya, takdir kita terikat. Seperti roti dan... Ya, roti yang belum kau bayar itu."
Sang jenderal hanya terdiam, hatinya mati rasa. Saudara, sahabat, anak, istri—semuanya telah gugur. Namun, di dataran ini, kesedihan terasa hambar. Mereka semua sudah tahu: siapapun yang terjun ke perang ini hanya akan bertemu satu takdir, kematian.
Ia meraih bendera faksi banteng yang robek, lalu menancapkannya kembali. Bendera itu berkibar tertiup angin, menjadi satu-satunya tanda kehidupan di antara jutaan mayat.
Ini adalah Dataran Akhir, ujung dunia, berhadapan langsung dengan gerbang Bangsa Yao.
Api hitam keluar dari gerbang, membakar kolam racun Yu Qing. Racun di udara mendesis.
"Itu dia," gumam Yu Qing. "Pemimpin Besar Bangsa Yao, Raja Abadi Yao Hu, muncul."
Sosok besar bertaring dengan delapan tanduk keluar dari gerbang. Ia menarik napas panjang dan menghembuskannya berupa api hitam, Api Gelap Abadi, yang dengan cepat mengeringkan rawa racun.
Bamm... Bamm... Bamm...
Meriam-meriam artileri dari Laskar Gagak ditembakkan. Serangan itu bukan untuk Yao Hu, melainkan untuk membekukan Gerbang Akhir dengan Bijih Es Abadi. Seribu pasukan musuh hancur, namun Raja Abadi Yao Hu hanya menjadi sebal. Ia meraung keras, membuat para prajurit dengan kultivasi rendah memekik kesakitan.
Ia tetap fokus membakar racun.
"Tidak semudah itu, bos!"
Sebuah suara terdengar. Dari langit, sosok berjubah ungu yang sama dengan yang muncul di depan pendeta tua, terbang mendekat sambil mengacungkan pedang tipisnya.
Yao Hu menyipitkan matanya. "Fairy Bing," gumamnya. "Akhirnya muncul juga kau."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 313 Episodes
Comments
coba dulu
2023-10-12
0
Kang Comen
9999
2022-12-26
0
Ibad Moulay
Daratan Akhir
2022-08-29
1