Sementara pada saat keluarga dan Soleh masih terus mencari keberadaan Halimah, enam pemuda yang membawa rahasia kelam itu sudah sibuk dengan kegiatan masing-masing. Gibran dan Ibnu sudah kembali ke kota untuk berkuliah, sementara Jamal, Yudi, Yoga dan Fadil juga kembali melakukan aktifitas rutin mereka sebagai pekerja.
Mereka bertingkah biasa saja, seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Gelak tawa mereka memecah sunyi malam. Namun di balik tawa itu, masing-masing menyimpan bayangan yang menghantui.
Malam itu, di sebuah warung kopi, empat orang pemuda yaitu: Jamal, Yudi, Yoga, dan Fadhil sedang berbicara serius.
"Sudahlah, jangan dipikirkan lagi," ucap Yudi sambil menyalakan rokok. "Tak ada yang akan tahu. Tubuh perempuan itu sudah menghilang di bawa arus sungai, tak akan ada yang bisa menemukannya."
Jamal yang duduk di sampingnya hanya terdiam. Keringat dingin membasahi pelipisnya. "Tapi... beberapa orang mengatakan bahwa mereka seperti melihat Halimah di sekitar jembatan. Aku khawatir kalau roh Halimah bergentayangan untuk menuntut balas."
Yoga tertawa keras, menepuk bahu Jamal. "Dasar penakut! itu cuma cerita nenek-nenek untuk menakuti anak kecil."
Namun tiba-tiba terdengar suara samar seperti bisikan di telinga mereka berempat:
"Kalian tak akan bisa lari... aku akan menunggu..."
Fadhil menyeruput kopinya, wajahnya pucat pasi. "Apa kalian juga mendengar?"
Mereka saling berpandangan, masing-masing merasa dadanya dihimpit rasa bersalah. Tapi Yoga hanya menepis dengan dingin. "Itu hanya kebetulan aja. Jangan jadi pengecut."
Tak seorang pun dari mereka menyadari bahwa sejak tadi ada bayangan bergaun putih yang terus mengikuti... matanya kosong, namun senyum tipisnya menyimpan dendam yang tak pernah padam.
*****
Malam itu, Jamal dan Yudi pulang sudah larut malam setelah berpesta minuman keras di sebuah warung tertutup dekat pinggiran kota. Mereka menyalakan motor dengan tawa keras, suara knalpot memecah keheningan jalanan sepi. Kondisi fisik yang sedang mabuk membuat langkah mereka limbung, namun keduanya tetap nekat melintasi jalan menuju jembatan Seunapet.
"Aku katakan apa... mana setannya? Halimah yang di sebut gentayangan... omong kosong cerita itu! teriak Yudi yang berada di boncengan sambil tertawa, napasnya yang berbau alkohol menyatu dengan kabut malam.
Jamal mengangguk, meski matanya sayu. "Benar... perempuan itu hanya mimpi buruk yang sudah berakhir."
Namun begitu roda motor mereka menjejak kayu jembatan Seunapet, tiba-tiba hembusan hawa dingin menyelimuti. Kabut mendadak turun-- begitu tebal, hingga lampu motor hanya mampu menembus beberapa langkah ke depan. Angin berhembus membawa suara aneh--lirih, seperti suara wanita menangis.
Jamal memperlambat laju motornya. "Kau mendengar suara wanita menangis?"
Yudi menelan ludah, mencoba tertawa menutupi rasa takut. Ah, kau tak usah mikir macam-macam, paling cuma suara burung malam atau musang. Gak perlu takut."
Tapi beberapa detik kemudian, dari sisi jembatan yang gelap, muncul bayangan perempuan. Rambut panjang menutupi wajahnya, gaun putihnya basah kuyup meneteskan air, dan tubuhnya bergerak pelan seperti melayang di udara.
Motor mendadak mati seketika. Mesin tersengal, lampu padam. Hanya kegelapan, kabut tebal, dan suara kaki berdecit pelan di atas papan jembatan.
"Si...siapa kau?!" teriak Yudi dengan suara gemetar.
Sosok itu menoleh perlahan. Rambutnya tersibak, menampakkan wajah pucat penuh lebam... mata hitam kosong... dan mulut yang sobek menganga hingga telinga. Dari bibirnya yang berlumuran darah, keluar suara yang membuat bulu kuduk berdiri.
"Aku Halimah... kalian yang membunuhku...!"
Jamal menjerit, mencoba menyalakan motor, tapi sia-sia. Tiba-tiba tangan pucat meraih pergelangan Jamal dan menariknya dengan kekuatan tak manusiawi. Tubuh Jamal terlempar keras ke sungai di bawah jembatan. Jeritannya menggema, lalu tiba-tiba terhenti dengan bunyi "Blukk!" diiringi riak air yang cepat berubah merah.
Yudi semakin panik, ia berlari ke arah berlawanan, namun papan jembatan tiba-tiba patah dan menjepit kakinya. Ia meronta, berteriak minta tolong, tapi tak ada seorang pun yang mendengar teriakannya.
Sosok Halimah melayang mendekat, wajahnya semakin dekat... lalu dari mulutnya keluar jeritan melengking yang menusuk telinga.
Darah mengalir dari telinga Yudi. Ia meraung kesakitan, matanya membelalak hingga pecah berlumuran darah. Tubuhnya jatuh ke papan jembatan dengan wajah membeku penuh horor.
Ketika fajar menjelang, warga desa menemukan jembatan Seunapet penuh bercak darah. Motor rusak tergeletak, tubuh Jamal mengapung di sungai dengan wajah hancur, sedangkan Yudi membeku di atas jembatan dengan mata melotot--senyum mengerikan terpatri di wajahnya.
Dan sejak malam itu, orang-orang mulai berbisik penuh tanda tanya: Apakah Halimah yang menghilang telah menjadi arwah dan menagih nyawa orang-orang yang melenyapkannya?
*****
Sejak kabar kematian Yudi dan Jamal tersebar cepat, wajah Fadhil tak pernah tenang lagi. Malam-malamnya dihantui mimpi buruk: tubuh Halimah yang penuh luka menatapnya dari dalam kegelapan, bibirnya berbisik dengan suara serak, "Kau selanjutnya..."
Fadhil tersentak dari mimpinya, lalu mencoba menghibur diri di rumahnya. Malam itu ia sendirian dirumahnya, keluarganya sedang berada di luar kota. Fadhil menyalakan televisi, rokok tak lepas dari bibir, dan minuman botol bersoda menjadi teman malam itu.
Namun entah kenapa, udara di dalam rumahnya terasa semakin dingin, padahal semua jendela sudah tertutup rapat.
Jam sudah menunjukkan pukul dua belas lewat lima belas menit malam ketika lampu tiba-tiba berkelip. Televisi berisik, suaranya berganti statis. Dari balik layar muncul bayangan wajah pucat seorang perempuan, matanya kosong, dan darah menetes di pipinya.
Fadhil terlonjak, mematikan televisi. Namun suara itu tetap terdengar dari dalam ruangan: "Fadhil... aku haus darah... kau harus tanggung perbuatanmu..."
Peluh dingin membasahi tubuhnya. Ia meraih parang panjang yang tergantung di dinding. "Jangan ganggu aku! Aku tidak takut!" teriaknya.
Kemudian Fadhil berjalan mundur masuk kedalam kamarnya kembali, lalu menguncinya dari dalam.
Tiba-tiba lampu mati dan pintu kamar berderit terbuka sendiri. Gelap pekat menelan cahaya. Dan dari sana muncul suara langkah kaki pelan... sangat pelan... tapi mendekat.
Siapa di sana?!" bentak Fadhil dengan suara gemetar.
Dari kegelapan sosok itu muncul. Rambutnya yang basah meneteskan air ke lantai, gaun putihnya compang-camping penuh darah. Namun wajahnya kini tampak sangat mengerikan - mata melotot tanpa bola, hanya rongga hitam, dan mulut sobeknya mengeluarkan cairan hitam kental.
Fadhil mundur, tangannya gemetar memegang golok. "Jangan kau mendekat! Aku tak bermaksud membunuhmu! Semua itu ide si Gibran!"
Namun sosok itu hanya mendekat tanpa suara.
Saat Fadhil mengayunkan golok, tubuh Halimah lenyap seketika - dan muncul tepat di belakangnya. Tangan pucatnya menembus dada Fadhil, menggenggam jantung yang masih berdetak.
Jeritan panjang memecah malam. Fadhil memuntahkan darah segar dari mulutnya, matanya melotot ketakutan. Ia melihat dengan jelas jantungnya sendiri berdenyut di tangan sosok arwah Halimah sebelum diremas hancur hingga meletup.
Tubuh Fadhil ambruk di lantai, wajahnya membeku dalam ekspresi teror. Dinding kamar berlumuran darah, sementara suara tangisan Halimah menggema di seluruh rumah, membuat kaca-kaca retak satu per satu.
Keesokan paginya, warga menemukan rumah Fadhil berantakan. Tubuhnya tergeletak di lantai kamar, dadanya robek seakan dicabik dari dalam, jantungnya hilang tak berbekas.
Sejak itu, desas-desus makin kuat. Arwah Halimah tidak akan pernah tenang, dia akan menagih siapapun yang telah merenggut nyawanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments
Jee Ulya
Harus baca sampai tuntas kan jadinyaa? 😣 aku magriban dulu yaa
2025-10-20
2
dilafnp
memang biasanya cuma korban yang inget traumanya, pelaku mah masih bisa melanjutkan hidup..
2025-11-02
0
Radi Rafan
bagus ,jadi polisi tak perlu repot menangkap pelaku !
2025-11-02
1