Hari-hari menjelang pernikahan Halimah justru menjadi hari-hari terakhir kebahagiaannya. Soleh sibuk mempersiapkan pesta, sementara Halimah dengan sabar menunggu hari bahagia itu tiba.
Namun, Gibran sudah menentukan jalan gelap. Ia merasa terhina, dan dalam pikirannya hanya ada satu kalimat:
"Kalau Halimah bukan milikku... maka ia tak akan pernah bisa menjadi milik siapapun."
Sore itu, Halimah baru saja pulang dari sawah, membawa bakul kecil berisi sayuran untuk makan malam. Gibran yang sejak tadi menunggu di tikungan jalan segera menghampirinya.
Dengan gaya dan penampilan necis, Gibran menghampiri Halimah, senyumnya dibuat semanis mungkin.
"Halimah... kamu semakin cantik saja. Sungguh, aku tak bisa berhenti memikirkanmu," rayu Gibran sambil tersenyum ramah.
Halimah membalas dengan senyum sopan sambil menunduk, "Bang Gibran, jangan bicara seperti itu. Seminggu lagi aku akan menikah dengan bang Soleh. Tidak baik kalau orang mendengar kita bercakap-cakap seperti ini."
Gibran menahan napas sesaat, kemudian kembali membujuk:
"Soleh...? Apa yang ia bisa berikan padamu, Rumah kecil di tepi sawah? Kalau kamu ikut denganku Halimah... kita bisa hidup di kota, di rumah besar, perhiasan mahal, baju-baju indah, jalan-jalan ke tempat wisata-wisata populer. Kamu akan hidup bahagia kalau bersamaku."
Halimah menggeleng pelan, suaranya lembut tapi tegas:
"Bang Gibran, semua yang kamu katakan tadi bukan yang ku inginkan. Aku hanya ingin bahagia dengan orang yang aku cintai. Hidup sederhana bersama bang Soleh sudah cukup bagiku."
Seketika mata Gibran memerah, suarnya bergetar penuh obsesi:
"Kenapa kamu menolakku Halimah? Apa kurangnya diriku, aku punya segalanya... bahkan duniapun akan kuberikan padamu, asal kau mau menerimaku."
Halimah menarik napas dalam dan memandang Gibran dengan mata jernih:
"Bang Gibran... jangan memaksa sesuatu yang bukan milikmu. Aku sudah memilih bang Soleh. Cinta kami tulus. Sebentar lagi kami akan berumah tangga. Ku mohon padamu bang Gibran... jangan ganggu aku lagi, masih banyak wanita yang lain bisa kau miliki selain aku."
Sejenak hening. Angin sore berhembus membawa gemerisik daun. Halimah menunduk perlahan--berniat untuk pergi meninggalkan Gibran:
"Bang Gibran... maaf, aku harus segera pulang, sebentar lagi Maghrib."
Gibran berbisik lirih, namun nada bicaranya dingin: "Kalau kau tak bisa kudapatkan... maka kau tak boleh sampai kepada tujuanmu. Aku akan menghentikannya."
Halimah mengira kata-kata itu sekedar luapan kecewa. Ia lalu berpamitan sopan lalu melangkah pulang, tanpa tahu bahwa kata-kata singkat itu adalah awal dari malapetaka besar yang menantinya.
Waktu pernikahan antara Halimah dan Soleh tak sampai sepekan lagi, kedua calon tampak sangat bahagia menjelang hari sakral tersebut.
Sementara Gibran semakin dikuasai amarah dan rasa cemburu buta. Malam itu, di sebuah warung kopi dekat pasar, ia berkumpul dengan lima temannya dari kota: Jamal, Yudi, Ibnu, Yoga, dan Fadhil.
Dengan suara pelan namun penuh dendam, Gibran berkata:
"Malam besok, saat Halimah pulang mengaji... kita tunggu ia di jalan, lalu kita bawa dia ketepi sungai. Biar si Halimah tahu--akibat dari penolakannya kepadaku."
Tawa keji meledak, gelas-gelas kopi beradu keras. Malam itu mereka mengikat perjanjian busuk yang kelak menjadi dosa abadi.
*****
Malam terasa dingin, Halimah berjalan sendirian dari surau lebih larut dari biasanya. Jalanan tampak sepi, hanya suara jangkrik dan desiran angin malam. Tiba-tiba sebuah mobil hitam berhenti mendadak di depannya.
Pintu mobil terbuka, enam pemuda keluar dengan wajah penuh nafsu. Halimah panik, mencoba untuk berlari, namun tangannya ditarik kasar. Ia menjerit minta tolong, tetapi jalanan sangat sepi tak ada seorang pun yang mendengar jeritannya.
"Bawa dia cepat! Jangan sampai ada yang melihat!" perintah Gibran dengan nada terburu-buru.
Tubuh Halimah di lempar ke dalam mobil. Suara jeritannya teredam oleh deru mesin yang melaju menuju tepian sungai jembatan.
Di bawah cahaya bulan pucat, Halimah digiring keluar mobil. Air sungai berkilat muram, seperti menjadi satu-satunya saksi bisu malam itu. Kehormatan Halimah direnggut paksa oleh ke enam pemuda secara bergantian. Ia berteriak, menangis, meronta, memohon agar dilepaskan, namun tak ada belas kasihan di wajah mereka.
Tangisan Halimah hanya dijawab tawa keji. Tubuhnya yang rapuh akhirnya terkulai, namun matanya menatap Gibran dan kelima teman-temannya dengan penuh harapan dan kutukan.
Usai puas sebagai eksekutor pertama dalam melampiaskan nafsu bejatnya, Gibran menatap Halimah yang terbaring lemah. "Kau sendiri yang telah memilih cara ini Halimah... inilah akibatnya kalau menolakku."
Setelah Gibran terpuaskan, lalu giliran ke lima teman-temannya melampiaskan hasrat binatang mereka secara bergantian.
Selain mereka berenam--tak ada satu manusia pun yang menyaksikan perbuatan manusia yang telah di rasuki oleh iblis malam itu.
Keenam pemuda bejat itu tertawa setelah melampiaskan nafsu bejat masing-masing, lalu mereka dengan kejam mengangkat tubuh Halimah yang sekarat menahan sakit, kemudian melemparkannya ke arus sungai deras di bawah jembatan.
Teriakan terakhir Halimah memecah malam sunyi, sebelum tubuhnya tenggelam ditelan gelap.
Sungai berubah seakan memerah... bukan oleh darah yang terlihat, melainkan oleh dendam yang tak mungkin bisa padam.
*****
Kabar hilangnya Halimah membuat seluruh desa geger. Sejak malam ia tidak kembali dari surau, beberapa orang menebak ada sesuatu yang buruk telah terjadi pada Halimah. Tunangannya, Soleh bersama keluarga Halimah menyusuri jalan, mendatangi kerabat-kerabat dan teman-teman Halimah. Namun tak ada satu pun yang memberi gambaran keberadaan Halimah.
"Bapak... ibu... Halimah pasti melalui jalan ini," ucap Soleh dengan wajah tegang. Tangannya menggenggam lampu petromak, cahaya kuningnya menari di sela kabut yang makin menebal.
Ayah Halimah menoleh dengan wajah muram. "Saya sudah berkali-kali melarang Halimah melalui jalan ini jika malam hari. Namun Halimah tak percaya, ia masih saja suka lewat jembatan ini."
Mereka berhenti tepat di tengah jembatan. Hening. Hanya suara aliran sungai yang terdengar, bercampur dengan desir angin yang membawa aroma aneh--seperti wangi bunga bercampur bau amis.
Tiba-tiba ibu Halimah berteriak pelan, "lihat itu... kainnya Halimah!" Ia menunjuk ke sebuah kain kerudung putih yang tersangkut di kayu pohon di sungai bawah jembatan. Soleh bergegas meraihnya, dan hatinya semakin perih melihat bekas sobekan dan bau lumpur pada kain tersebut.
"Halimahhh...!" teriak Soleh memanggil, suaranya bergema di balik kabut.
Namun jawaban yang datang bukan suara tunangannya, melainkan bisikan lirih yang terdengar samar di telinga. "Jangan mencariku lagi... pulanglah, aku tak akan pernah kembali."
Ayah Halimah segera beristighfar pelan, apakah kalian dengar...? Suara itu seperti suara Halimah."
Wajah Soleh memucat, tubuhnya bergetar. Ia menoleh pada keluarga Halimah, yang sama-sama terpaku mendengar bisikan aneh itu.
Namun Soleh tidak bisa menahan langkahnya. Ia mendekati tepi sungai, menyoroti lampu menyusuri arus. Di antara riak sungai, samar terlihat sosok perempuan bergaun putih dengan rambut panjang tergerai... dan matanya sendu namun mengerikan menatap lurus ke arahnya.
Sontak Soleh terkejut, lalu istighfar berulang-ulang di susul dengan membaca beberapa ayat untuk menghindari rasa takut.
Soleh dan keluarga Halimah lalu pergi meninggalkan lokasi jembatan dengan tanda tanya besar - suara siapa dan sosok siapa yang berada di sungai sekitar jembatan?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments
Erchapram
Sebenarnya yang lebih mengerikan itu bukan setan yang sesungguhnya tapi manusia yang bersifat setan seperti Gibran.
2025-10-13
6
Jee Ulya
Anggap saja aku bukan sesama Author ya torrrr. Aku memang benar-benar suka dengan diksi yang dibuat dalam kisah iniii😍😍😍😍
2025-10-20
0
Sarifah_Aini97
Oh maaf bang, bukan harta yang aku banggakan, tapi kesopanan dan ketulusan yang kuinginkan
2025-10-19
0