BAB 3

Perkataan istri dan anaknya menamparnya dengan sangat keras, dia tidak tahu sikapnya selama ini begitu tidak adil, mungkin inilah sebabnya istrinya yang lembut dan selalu hangat berubah seperti ini.

Dia tidak berkata apapun lagi dan mengambil lauk dan nasi yang ada di didepannya, dia bahkan tertegun melihat lauk pauk yang berada di meja makan, apa istri dan anaknya selalu makan seperti ini sedangkan di rumah ibunya mereka biasa makan dengan enak.

Dia menunduk dalam sambil memakan makanan yang ada di dalam piringnya, tidak terasa air matanya mengalir pelan, dia baru menyadari segala keegoisannya sekarang, dia tidak pernah bisa menolak keinginan ibunya tapi dia mengorbankan istri dan anaknya.

Mereka makan dalam keheningan, bahkan anak sulung dan istrinya terkesan tidak peduli padanya, mereka bahkan membawa piring mereka sendiri tanpa menunggunya setelah itu keluar dari dapur menuju ruang belajar.

Hatinya nelangsa melihat aktivitas itu, tak ada obrolan hangat apalagi sambutan hangat seperti dulu, kini dia hanya merasa tinggal satu atap tapi seperti orang asing

Istrinya kini menggendong sang anak bungsu yang baru terbangun dari tidurnya untuk disusui sambil dia menemani sang anak sulung belajar.

Setelah makan dia membereskan bekas makannya sendiri karena istrinya bahkan tak memperhatikan dirinya.

"Dek, biar sini aku gendong". Ucapnya duduk di sebelah sang istri.

"Tidak perlu, kamu kan capek cari uang, tidak perlu bekerja lagi di rumah, bukankah itu yang selalu dikatakan ibumu jika aku meminta tolong padamu".

Jleb.. Sungguh kata-kata itu menusuk sanubari nya.

"Dek". Cicitnya dengan mata memanas.

"Tidak apa, dengarkan semua perkataan ibumu, dia yang membesarkan dan melahirkan mu, serta merawat mu hingga dewasa, jadi tidak masalah, apalagi dia adalah syurga anak lelaki kan?? ".

Kata-kata istrinya memang pelan dan datar seperti biasa tapi mampu menampar dirinya sampai tak bisa berkata apapun lagi.

"Aku minta maaf". Cicitnya seperti tikus terjepit.

"Sudahlah, tidak usah membahasnya, toh semua hasilnya sama saja, bagi laki-laki yang sayang keluarganya, kepentingan keluarganya nomor satu sedangkan anak dan istri itu belakangan karena mereka adalah orang lain".

Mata Fatan berembun, itu semua kata-kata yang selalu diucapkan ibunya pada istrinya, terkesan sederhana tapi begitu menusuk hati, dan parahnya dia hanya diam saja ketika keluarganya selalu memojokkan istrinya, selama ini bahkan dia selalu membela ibunya dan memarahi bahkan memaki istrinya.

"Tugasnya sudah selesai nak?, kita istirahat yuk". Ajak Rossa kepada anak sulung".

Rani mengangguk kemudian mengambil tangan ayahnya untuk bersalaman, dia tidak ingin memeluk ayahnya takut kena marah atau bentakan lagi.

"Rani tidak mau memeluk ayah nak?? ". Tanyanya dengan suara bergetar.

Dia menyadari anaknya begitu jauh darinya saat ini, bahkan seperti takut mendekat.

"Tidak ayah, aku tidak mau kena bentakan atau kena marah lagi seperti biasa ayah lakukan kalau aku ingin memeluk ayah". Mata Rani berkaca-kaca dan mencium tangan ayahnya dan pergi dari sana.

Sedangkan Rossa hanya menghela nafasnya kasar, anaknya terlalu banyak menyimpan luka hingga takut berdekatan dengan sang ayah.

Tubuhnya bergetar hebat, persendian nya bahkan seperti tak punya tenaga, sebegitu jahatnya dia kepada putrinya sendiri padahal dia hanya ingin memeluknya dan malah dia bentak dan dia dorong.

Ingatannya berputar saat anaknya itu berlari kearahnya saat dia baru pulang bekerja dan dari rumah ibunya

"Ayah sudah pulang, Kakak kangen". Rani berlari kecil memeluk kaki sang ayah dengan penuh rasa sayang.

"Apasih kamu, orangtua capek juga tidak usah aneh-aneh". Ucapnya mendorong sedikit anaknya dengan kakinya karena menghalangi jalannya, bahkan dia juga mendorongnya.

"Aku hanya ingin memeluk ayah, ayah sudah tidak pulang kerumah beberapa hari, kakak cuma kangen saja". Rani menunduk takut karena sikap ayahnya itu.

"Apa sih berisik, nangis saja kerjanya, ayah ini baru pulang kerja dan capek, jangan banyak tingkah dan mau, biar ayah istirahat". Bentaknya dengan sangat keras.

Rani beringsut mundur, dia takut mendengar suara ayahnya sedang marah dan emosi itu.

"Maaf ayah". Ucapnya menunduk menahan tangis.

Fatan menangis mengingat bagaimana sikapnya selama ini, sungguh dia sangat keterlaluan, tidak hanya nafkah yang tidak adil, bahkan perhatian pun tidak pernah dia berikan secara baik pada keduanya.

Rossa yang melihat ekspresi suaminya hanya diam saja dan menangis itu, dia sudah sangat malas meladeni suaminya saat ini.

"Maafkan aku". Cicitnya dengan tangis.

"Aku tidak pernah memberitahu apapun pada putrimu, tapi dia sendiri merasakan bagaimana dia kamu bedakan dengan keluargamu terutama Ana, dia masih kecil tapi sudah merasakan hal itu, jangan tambah lukanya lagi, cukup aku saja yang kau perlakukan seperti itu".

"Jangan berikan anakku juga Madu dengan terus membandingkan dan juga pilih kasih kepada keponakanmu tersayang itu".

Rossa meninggalkan suaminya yang kini berdiri kaku dan tangis memandangi kepergiannya.

Fatan berjalan gontai menuju kamarnya dengan jejak airmata, dia tidak mendapati istrinya berada didalam kamarnya, keningnya mengkerut karena hal itu.

"Apa istrinya tidak tidur bersamanya? ".

Dia segera bergegas keluar mencari keberadaan istrinya, dia bisa melihat istrinya tidur dikamar tamu, tapi dia heran karena kamar ini sudah disulap menjadi kamar anak untuk si bungsu Rafa.

Dia bahkan tidak menyadari jika banyak hal yang dia tidak ketahui terjadi didalam rumahnya selama ini.

"Dek, kamu tidak tidur di kamar bersamaku?? ". Tanyanya pelan.

Rossa mengangkat kepalanya yang baru saja menidurkan Rafa ketempat tidur bayi yang berada disamping ranjang.

"Rafa berisik kalau malam, kau selalu mengadu pada ibumu karena tidurmu terganggu akibat tangisannya, jadi aku tidur disini karena takut dia terbangun dan aku tidak sempat dengar, toh kamu juga tidak pernah mau tahu kan, yang penting bagimu kamu bisa tidur nyaman dan harus mengadu pada ibumu sampai ibumu datang melabrak dan mengomeli ku karena menyusahkan anaknya".

Lagi-lagi dia begitu tercengang mendengar seluruh perkataan istrinya sejak tadi mengeluarkan unek-unek dirinya tapi itu pukulan besar untuknya tanpa dia sadari.

Dia mengepalkan tangannya karena marah pada dirinya sendiri, dia terlalu percaya dan bahkan tunduk pada ibunya, bahkan seluruh permasalahan rumah tangga yang dia alami selalu dia ceritakan pada ibunya, dan betapa dirinya tidak tahu jika ibunya datang melakukan itu pada istrinya.

"Bersikaplah seperti biasa saja, tidak usah sok perhatian atau apapun itu, cukup berikan uang nafkah yang adil supaya kamu bisa berfungsi sebagai suami dan ayah untuk kami walau raga mu milik keluargamu".

" Dek tolong maafkan aku".

Kata-katanya tersangkut di tenggorokannya saat akan mengeluarkannya, sesak rasanya diperlakukan seperti ini, bagaimana dengan istrinya yang selama ini diperlakukan tidak adil.

"Tidak apa, kami sudah terbiasa tanpa kehadiranmu, keluargamu yang utama, kami hanya selingan saja".

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!