Part 2 Sakit

Ken terkekeh mendengar teriakan gadis itu. Dia pun berjalan menghampirinya. "Gak bisa buka ya?" ledeknya.

"Gue bisa telat!" seru Luna kesal.

Ken tersenyum menatap gadis itu, "Gue anter, atau Lo gak akan bisa keluar dari sini," ucapnya memberikan pilihan.

Luna mendengus, "Dasar pemaksa!" serunya.

"Tinggal pilih apa susahnya, hm?"

"Ck, terserah Lo!"

"Gue cuma mau mastiin Lo selamat sampai tujuan, makanya gue anter Lo ke sekolah. Takutnya preman semalam masih berusaha nyariin Lo," sahut Ken mencoba menjelaskan.

Akhirnya Luna menyerah, lebih baik dia ke sekolah diantar oleh cowok itu daripada berada di tempat asing ini lebih lama lagi. Apalagi setelah mendengar penjelasan Ken, membuatnya sedikit takut. Oke, kalau saja di tempat ini tidak ada Ken, dia mungkin akan betah. Tapi di sini ada Ken, alasan terkuat yang membuat dia tidak betah di sana.

Ken mengantar Luna ke sekolah, selama perjalanan sama sekali tidak ada obrolan. Sesekali Ken mengerjai gadis itu dengan cara mengegas motornya dengan kencang, dan membuat Luna reflek memeluknya. Dia tahu gadis itu menggeruduk, tapi Ken membiarkan saja. Dia hanya tersenyum menanggapi.

Sesampainya di depan gerbang sekolah, Ken memperhatikan gadis itu yang sudah masuk ke area sekolah tanpa mengucapkan terimakasih atau apapun. Dia teringat awal pertemuan mereka yang tidak di sengaja.

Kala itu, Ken sedang pergi ke rumah rekan bisnisnya bersama adik perempuannya yang ternyata teman sekolah Luna. Saat itu dia dan adiknya tak sengaja melihat Luna sedang adu mulut dengan Papanya, bahkan Papanya sempat menampar wajah Luna di depan matanya.

Dan seharian itu, Luna ikut bersama mereka karena adek perempuan Ken yang mengajak. Hingga berakhir Ken mengantarkan Luna pulang. Awalnya dia iba dengan gadis itu setelah kejadian tersebut.

Tak pernah menyangka jika semalam mereka kembali bertemu di tempat yang tak disangka, bahkan Luna hampir saja menajdi korban pelecehan. Miris sekali hidup gadis itu. Tapi entah kenapa dia suka sekali menggodanya.

Ken tersadar dari lamunannya saat mendengar klakson mobil, ternyata sejak tadi dia berhenti di depan gerbang sekolah tanpa sadar. Setelah itu dia pun berlalu dari sana.

☘︎☘︎☘︎☘︎

"Luna! Lo baik-baik aja kan?" tanya sahabatnya saat gadis itu baru saja masuk ke dalam kelas.

"Hm, seperti yang Lo liat," jawab Luna. Dia duduk di bangkunya.

"Lo semalam kemana? Kita cariin Lo udah gak ada? Kita khawatir sama Lo Lun?" tanya Gadis salah satu teman Luna.

"Kita cari ke rumah Lo juga kata bibi Lo gak pulang Lun," sahut Sera.

"What? Kalian ke rumah gue? Ck, udah gue bilangin gak usah ke rumah, ngapain?" Luna berdecak, kesal karena teman-temannya tidak menurut akan peringatannya. Sudah pasti dia akan kena masalah setelah ini.

"Sorry Lun, kita panik soalnya. Tapi seriusan Lo kemana sih? Kok tiba-tiba ngilang?" kini Mauren yang bertanya, sebab pertanyaan dua temannya sama sekali belum di jawab oleh Luna.

"Kalian tahu gak, gue hampir aja dilecehin sama preman, untung aja ada yang nolongin gue. Sumpah kalian tega banget ninggalin gue!" Luna kesal dengan ketiga sahabatnya itu.

"Kita gak ninggalin Lo ya, Lo nya aja yang mabok. Kita pamitan waktu mau ikut party, dan Lo bilang iya, jadi kita tinggalin sebentar, eh pas kita balik Lo nya gak ada," sahut Mauren tak mau disalahkan.

"Ck, gara-gara kalian gue ketemu cowok ngeselin!" Luna menelungkup menyembunyikan wajahnya. Kepalanya terasa pening, karena pagi-pagi emosinya sudah meledak.

Luna masih kesal dengan pemuda itu. Mereka tidak saling mengenal, tapi kenapa Ken seakan-akan mengenalnya begitu dekat. Padahal mereka juga baru dua kali bertemu.

"Terus Lo tidur dimana semalam Lun? Gak tidur di kolong jembatan kan?" belum menyerah, Gadis kembali bertanya.

"Ck, tidur di kamar lah, ngapain gue tidur di kolong jembatan?" sahut Luna sewot. Sengaja tak ingin memberi tahu sahabatnya jika dia tidur di markas Scorpion. Tak mau mereka berfikir yang tidak-tidak, selain itu dia juga bukan tipe gadis yang mudah curhat dengan siapapun bahakan dengan teman akrabnya sekalipun.

"Kirain Lo di usir terus tidur di kolong jembatan," sahut Gadis enteng.

"Sialan Lo!" Luna menatap Gadis kesal, sedangkan Gadis yang ditatap malah menyengir tak bersalah.

☘︎☘︎☘︎☘︎

Sore hari, sepulang sekolah Luna memutuskan untuk langsung pulang ke rumah. Dia sengaja pulang sendiri dan menolak saat Gadis ingin mengantarnya. Meski rasanya berat untuk pulang, tapi mau tak mau dia harus tetap kembali ke rumah jika tidak mau masalah akan makin besar nantinya.

Sesampainya di rumah, benar saja Mamanya sudah menunggu kedatangan gadis itu. Bahkan tanpa banyak tanya, wanita berusia empat puluh tahunan itu langsung menarik rambut Luna.

"Dasar anak tidak tahu diuntung! Semalam tidur dimana kamu, hah? Tidur di rumah laki-laki! Iya? Jawab Mama Luna!" tanpa merasa kasihani dan iba, Dania menjambak rambut Luna.

"Akkh, sakit Mama! Luna minta maaf Ma, tolong lepasin!" Luna tak bisa berbuat apapun, kepalanya terasa panas dan rambut dikepalanya seakan ingin copot akibat jambakan dari sang Mama.

"Jawab Mama dulu! Semalam kamu kemana? Kenapa Mauren kesini nyariin kamu! Berarti kamu pergi sama laki-laki, kan? Jawab Mama Luna!" teriak wanita itu.

"Aku jelasin semuanya pun Mama gak akan percaya, kan? Jadi untuk apa aku jelasin," jawab Luna. "Akhh, sakit Ma!" terik Luna lagi saat sang Mama kembali menarik rambutnya.

Brak

Dania mendorong tubuh putrinya itu hingga terkapar di lantai. Wanita itu tak peduli dengan suara tangis Luna. Entah terbuat dari apa hati wanita itu, padahal Luna adalah anak yang dia lahirkan dari rahimnya sendiri. Alasan apa yang membuat Dania seperti itu tak ada yang tahu, hanya dia dan Tuhan saja yang tahu.

"Kakak kenapa? Kakak jangan nangis! Nanti Io ikutan nangis." Seorang bocah berusia sekitar lima tahun mendekati Luna dan memeluknya.

Luna menghapus air matanya, dia mencoba tersenyum saat mendapatkan pelukan dari adiknya. Dia pun membalas pelukan tersebut, "Kakak gak nangis, Io gak boleh nangis ya, katanya jagoan," tuturnya lembut, tak ingin membuat sang adik bersedih.

Leo mengangguk, "Io gak akan nangis Kak, Io kan jagoan. Io akan jagain Kak Luna, bial gak ada yang jahatin kakak lagi," sahut bocah kecil itu, wajah sedihnya kini sudah berubah.

Luna memeluk adiknya tersebut, lalu menggendong tubuh mungil Leo dan membawanya ke kamar. Untung saja tadi Leo tidak melihat saat sang Mama menyiksanya.

"Leo alasan Kakak tetap bertahan di rumah ini, makasih ya sayang." Dia mengecup seluruh wajah Leo dengan gemas. Jika tidak ada Leo, mungkin dia sudah meninggalkan rumah ini sejak lama. Dia sayang dan sangat sayang dengan Leo, yang kehidupannya hampir sama dengannya, kurang kasih sayang dari kedua orang tua.

"Leo harus jadi anak baik ya," ucapnya setelah mencium seluruh wajah Leo.

Dia mengantar Leo ke kamarnya, tidak hanya mengantarkan saja tapi dia memilih bermain sebentar dengan Leo. Mungkin dengan cara seperti ini dia akan menghilangkan rasa sakitnya.

Tak lama pengasuh Leo datang, "Den Leo, ayo mandi, udah sore nanti Mama marah kalo Den Leo belom mandi," seorang wanita berumur sekitar tiga puluh tahunan mendekat ke arah mereka berdua.

"Io mandi dulu ya Dek, gambarnya terusin nanti ya," bujuk Luna.

"Mandi sama kakak," sahut Leo.

"Let's go!" Luna mengepalkan sebelah tangannya ke udara. "Mbak biar Leo mandi sama aku aja," ucapnya pada pengasuh Leo.

"Baik Non, kalau gitu saya siapkan bajunya,"

Tanpa mengganti seragam miliknya, Luna langsung masuk kamar mandi memandikan Leo. Seperti biasa jika seharian saja Leo tidak bertemu dengan Luna, bocah itu pasti merengek. Semuanya harus Luna dan Luna. Mulai dari mandi, bahkan makan pun harus dengan Luna.

"Yeay! Kakak kena!" Leo bermain air dengan buih sabun, dia bahkan mengusap buih sabun itu ke wajah Luna.

"Mata Kakak pedih dek, duh. Gimana ini kalo mata kakak sakit?" Luna pura-pura kesakitan, padahal buih itu tidak pedih di mata, jadi tidak masalah jika terkena mata.

"Maaf Kakak, Io salah. Sini Io basuh mukanya." Leo mengusap wajah Luna, tapi seketika Luna langsung mengoles bisa ke wajah bocah itu.

"Kakak culang! Io jadi kena busa, kalau sakit gimana?" bocah kecil itu merengek.

"Coba buka mata sayang, gak bakalan sakit kok," titah Luna.

Perlahan Leo membuka mata, "Benal gak pedih!" serunya.

Mereka berdua terlihat seru bermain di dalam kamar mandi. Pengasuh Leo hanya menatap keduanya dengan senyuman. Dia bahagia jika ada Luna di rumah, sebab Leo gak akan rewel dan merengek minta pergi bermain dengan teman-temannya.

"Luna!"

Di tengah asyiknya bermain dengan Leo, sebuah suara yang amat dia kenali masuk ke dalam gendang telinga. Suara yang begitu menggelegar, membuatnya menghela napas.

"Io mandinya lanjut sama Mbak ya, Kakak di cariin Papa. Gak apa-apa kan Dek?" Luna menatap Leo yang masih asyik bermain sabun, adiknya itu menatapnya sebentar lalu mengangguk.

"Iya Kakak, tapi nanti janji main sama Io lagi ya," pintanya.

"Iya sayang, yaudah kakak keluar ya." Luna pun keluar dari kamar mandi, tak ingin Papanya menunggu terlalu lama.

"Mbak, di lanjutin ya, aku mau ketemu Papa." Luna berlalu dari kamar Leo, sebelum benar-benar keluar dia menghela napas panjang, menyiapkan diri bertemu dengan sang Papa.

"LUNA!" teriak Papanya.

"Ngapain teriak-teriak sih Pa? Aku di kamar Leo." Luna menatap wajah Papanya yang terlihat begitu menyeramkan saat ini.

Plak

Tanpa mengucap sepatah kata pun, Papanya langsung menampilkan pipi mulus Luna. Tamparan tersebut bahkan membuat tubuh Luna oleng, dan hampir saja terjatuh di lantai jika tidak berhasil menahan bobot tubuhnya.

Perih, itulah yang dia rasakan. "Sssh sakit Pa," lirihnya.

"DASAR ANAK KURANG AJAR! Bangun kamu!" tanpa perasaan sang Papa menarik lengan Luna supaya berdiri.

"Sakit Pa," lirihnya lagi. Air matanya jatuh tanpa dia inginkan. Sakit di pipi dan juga lengannya tak seberapa, dibanding sakit hatinya yang begitu dalam. Kedua orang tuanya memperlakukan dia layaknya binatang.

Plak

Sang Papa menampar nya kembali, meski tak sekuat tadi tapi tetap saja kedua pipinya terasa panas dan perih. Bahkan bekal telapak tangan sang Papa terlihat jelas disana.

"Mau jadi PELACUR kamu, iya? Seperti...."

"Stop Papa!" Dania keluar dari kamarnya, dan langsung memotong ucapan sang suami.

"Urus anak kamu itu DANIA! Jangan sampai dia jadi wanita murahan seperti ibunya!" tuding lelaki itu tanpa perasaan.

"PAPA! STOP BILANG SEPERTI ITU!"

Luna yang merasa punya kesempatan, memilih lari dan masuk ke dalam kamarnya, meninggalkan kedua orang tuanya yang sedang adu mulut. Tapi belum juga langkah kakinya masuk sepenuhnya ke dalam kamar, suara sang Papa kembali menggema.

"Kalau sampai saya tahu kamu tidur sama laki-laki lagi, saya bun*h kamu!" ancam lelaki paruh baya itu.

Luna tak menjawab, dia justru masuk ke dalam kamar dengan membanting pintu.

Brak

Luna menangis sejadi-jadinya di balik pintu. Hati dan perasaannya hancur, ditambah seluruh tubuhnya sakit karena kekerasan yang dia terima. Ini memang bukan kali pertama dia mendapatkan perlakuan buruk seperti itu bahkan pernah merasakan lebih dari ini, tapi rasanya tetap sama, sakit.

Lalu apa yang harus dia lakukan agar semuanya ini berakhir?

Terpopuler

Comments

Felycia R. Fernandez

Felycia R. Fernandez

pedes apa perih

2025-10-20

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!