Pembalasan Istri Cupu
"Mohon maaf,De ... Aku tidak bisa membantu kali ini. Keuanganku juga sedang ketat." Amel berbicara dengan nada lembut, namun penuh dengan penyesalan. Matanya memandang Deka dengan simpati, tetapi tetap menunjukkan keterbatasan dirinya.
Deka menggenggam kepalanya dengan tangan yang bergetar, napasnya terengah-engah penuh kekecewaan. "Tolong, Kak... Coba cari jalan! Aku sangat membutuhkan ini. Anakku ingin ikut kegiatan dengan teman-temannya, tapi tanpa ini dia akan merasa tersisihkan." Suaranya parau, hampir menangis karena tekanan emosi yang kuat.
Amel menggelengkan kepala perlahan, keraguan terpancar jelas di matanya. "Aku benar-benar tidak bisa, De... Aku juga punya banyak kebutuhan yang harus dipenuhi."
Tiba-tiba, seseorang menyela dengan komentar yang tajam. "Kamu memang sangat pelit, ya? Adik iparmu datang dengan niat baik, tapi kamu begitu saja menolaknya tanpa empati." Ucapan itu menimbulkan ketegangan, membuat situasi semakin tidak nyaman. Amel dan Deka saling menatap, masing-masing dengan perasaan yang berbeda.
"Tidak mau menolong dia!" Sentak wanita paruh baya itu, sambil membenarkan kacamatanya dengan gerakan tangan yang tegas. Nada suaranya jelas menunjukkan ketidakpuasan terhadap Amel, menantunya yang dianggap tidak memiliki empati.
Amel menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan emosi sambil menatap mertuanya dengan tatapan lembut. "Bukannya begitu, Bu. Tapi kan baru kemarin Deka pinjam uang, jadi—"
Ucapan Amel tiba-tiba disela oleh mertuanya. "Kamu memang sangat perhitungan, ya Mel! Jadi maksudmu, kamu tidak mau meminjamkan uang kepada adik iparmu karena dia masih punya utang padamu? Iya? Astaga!" Wanita itu menghela napas frustrasi. "Ibu heran kenapa Nanda masih bertahan dengan seseorang seperti kamu, yang pelit dan perhitungan! Padahal semua uang yang kamu miliki sekarang adalah hasil kerja keras Nanda, anak saya!"
Amel mencoba membela diri, tapi kata-katanya tercekat ketika mertuanya langsung mendekati Deka. "Udah, Deka, langsung saja minta ke kakakmu. Jangan minta ke dia, percuma..." Erma mengucapkan itu sambil melirik Amel dengan pandangan sinis.
Amel merasa tidak dihargai dan tidak dianggap, meskipun niatnya sebenarnya bukan untuk tidak membantu. Namun, situasi semakin tegang ketika mertuanya terus menunjukkan ketidakpuasan terhadap sikap Amel.
Amel merasa dilema. Di satu sisi, dia ingin membantu adik iparnya, Deka, tetapi di sisi lain, dia merasa kesal karena Deka sudah beberapa kali meminjam uang tanpa menggantinya. Amel berpikir bahwa Deka seharusnya lebih bertanggung jawab dalam mengelola keuangannya.
Deka menatap Amel dengan mata berkaca-kaca, "Kak, aku masih sangat menghargai kakak makanya aku minjemnya ke Kakak nggak langsung ke Kak Nanda. Lagian aku minjem juga bukan untuk foya-foya Kak, aku minjem uang ini untuk keperluan anakku sekolah."
Amel tetap sabar, meskipun dia merasa kesal. "Kan bisa nggak ikut dulu, Deka. Lagian kan bukankah bulan kemarin juga sekolah anakmu itu baru saja mengadakan acara jalan-jalan ya? Jadi sekarang jalan-jalan ke mana lagi?"
Deka merasa tersinggung dan marah, "Kamu jangan gitu dong Kak! Kalau kamu nggak mau minjemin ya udah, aku bisa kok minjem ke tempat lain! Aku nggak nyangka aja, ternyata kakak iparku yang aku sayangi, ternyata perhitungan banget kayak gini!"
Amel merasa bahwa Deka tidak memahami situasinya, dan dia merasa bahwa Deka sedang membuatnya merasa bersalah. Amel berpikir bahwa dia perlu menjelaskan situasinya dengan lebih jelas kepada Deka.
"Padahal Kak Nanda kan kerjanya udah lumayan sekarang, nggak mungkinlah kamu nggak punya uang!! Kayaknya memang dasarnya kamu nggak mau minjemin aku uang Kak!" Deka memojokkan Amel dengan nada yang meninggi.
Amel merasa kesal dan tidak terima dengan tuduhan Deka. "Deka, kamu tahu sendiri kan kalau aku sudah meminjamkan uang ke kamu beberapa kali dan belum pernah kamu kembalikan? Aku tidak bisa terus-menerus meminjamkan uang tanpa kepastian kapan kamu akan membayarnya."
Erma, ibu mertua Amel, ikut campur dengan nada provokatif, "Udahlah Deka, percuma kamu ngomong sama dia! Dia tuh lebih senang menyimpan uangnya sendiri dan membiarkan saudaranya menderita!"
Deka langsung terpengaruh dengan kata-kata Erma dan semakin kecewa pada Amel. "Sepertinya memang begitu Bu!" jawab Deka dengan nada kesal.
Deka masih berusaha membujuk Amel, "Padahal aku minjemnya cuman sedikit loh Kak! Aku cuman minjem Rp500.000 aja." Namun, Amel sudah tidak percaya lagi dengan janji Deka.
Sebelum Amel bersuara lagi, seseorang datang dari luar. "Kalian lagi apa?" tanya Nanda ketika masuk ke dalam ruangan. Amel dan dua wanita lainnya menoleh ke arah pintu, dan Deka langsung memanggil, "Kak!"
Amel hanya melirih, "Mas," sambil menatap suaminya dengan ekspresi sendu. Nanda baru saja pulang dan langsung menuju ke tempat mereka.
"Kenapa ini?" tanya Nanda sambil duduk di dekat Amel. Amel hendak menjelaskan, tapi Erma langsung menyela, "Nanda... Istrimu ini tidak mau meminjamkan adikmu uang."
Nanda menoleh kepada Amel, lalu kembali memandang ibunya dan adiknya. "Minjem uang?" tanya Nanda kepada ibunya.
Erma menjelaskan, "Iya! Katanya dia tidak punya uang, aneh bukan? Bukankah semua uangmu diberikan sama dia?! Gajimu besar, dan wanita ini mengatakan jika dia tidak memiliki uang sehingga tidak bisa meminjamkan adikmu! Ibu yakin itu hanya akal-akalan istrimu saja, memang dasarnya saja dia pelit!"
Nanda mendengarkan penjelasan ibunya dengan seksama, dan dia tampaknya tidak puas dengan jawaban Amel. Dia menatap Amel dengan pertanyaan di matanya, menunggu penjelasan lebih lanjut.
Nanda menatap adiknya dengan lembut, “Kamu butuh berapa, Dek?” Deka menjawab dengan cepat, “Aku cuman butuh 500.000 kok, Kak!”
Nanda kemudian mengeluarkan dompetnya dan memberikan sejumlah uang kepada Deka. Amel ingin melarang suaminya meminjamkan uang, tapi dia tidak bisa memotong ucapan Nanda.
Deka mengambil uang tersebut dan menatap Amel sekilas, “Makasih Kak, nanti aku akan ganti uang ini ketika aku udah punya uang, atau ketika suamiku gajian! Pokoknya kamu nggak usah khawatir.”
Tapi Nanda langsung menyela, “Nggak usah diganti! Pakai aja uangnya!” Amel memanggil suaminya dengan suara pelan, “Mas!” tapi Nanda menahan pergerakan Amel, tidak mau sampai istrinya bersuara.
Deka kemudian berpamitan, “Ya udah aku jalan dulu ya! Soalnya ini udah mau magrib!” Setelah mendapatkan uang dari Nanda, Deka pergi meninggalkan rumah kakaknya dengan senyum di wajahnya. Amel merasa tidak puas dengan keputusan suaminya, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa.
Ketika Deka pergi meninggalkan rumah kakaknya, dia merasa puas mendapatkan uang satu juta dari Nanda. “Lumayan satu juta! Nggak usah diganti lagi... Hahaaa....” Dia kemudian menaiki motor bebeknya dan pergi.
Sementara itu, di dalam rumah, Amel memanggil suaminya, “Mas...” Nanda menjawab dengan singkat, “Hemh!”
Amel kemudian meminta uang untuk biaya SPP Bulan, tapi Nanda menolak, “Bukannya bulan ini aku udah ngasih uang bulanan kita ke kamu ya? Kenapa kamu masih minta juga ke aku?” Amel menjelaskan bahwa uang untuk bayar SPP Bulan dipinjam oleh Deka, sehingga dia belum membayar sama sekali.
Tapi Nanda tidak mau tahu, dan ibunya, Erma, langsung menyela, “Kamu dengarkan Nanda?! Kamu dengarkan sekarang?! Istrimu ini memang perhitungan! Itu adikmu loh yang minjem... Tapi dia detail banget itung, Astaga ibu malu dengernya!”
Nanda menarik napas dan menjawab, “Ya udah nanti aku kasih,” lalu dia menatap ibunya, “Aku masuk dulu!” Amel merasa bahwa suaminya tidak peduli dengan keadaannya, dan dia merasa kesal dengan situasi ini.
Nanda mengangkat paper bag yang dibawanya dan mengingatkan Amel, "Oh iya, kamu siap-siap. Nanti malam, ada perayaan kenaikan jabatanku, kalau kamu mau ikut, dandanlah yang cantik!"
Amel langsung khawatir, "Loh, Mas. Kok dadakan, aku nggak punya persiapan apapun!"
Nanda menjawab dengan sedikit sinis, "Emang kamu mau persiapan seperti apa? Ayo cepet!"
Amel kemudian berdiri dan mengikuti suaminya, dia menoleh pada mertuanya sekilas. Erma hanya mengeluarkan suara tidak puas, "Cih!" sambil ongkang-ongkang kaki dan bermain handphone.
Sementara itu, Bulan baru saja pulang dan memanggil neneknya, "Nek." Erma menjawab dengan singkat, "Hemh," tanpa menoleh pada sang cucu. Bulan kemudian melewati neneknya dan masuk ke kamarnya.
Di kamar orang tua Bulan , Nanda sudah siap dengan setelan jas yang membuatnya tampak tampan paripurna. "Amel, ayo dong cepet.. Aku tunggu di depan deh. Kalau kamu udah selesai, cepat keluar..." ucap Nanda, menanti istrinya agar segera siap.
Amel berjongkok di depan lemari, mengacak-ngacak bajunya sambil mengenakan handuk. “Pakai yang mana ya?” batinnya. Dia ingin tampil cantik untuk acara kenaikan jabatan suaminya.
Tapi, dia kecewa ketika menemukan bahwa bajunya sudah tidak muat. “Ini bajunya udah pada nggak muat! Aku pake mana ya!” lirihnya.
Setelah hampir 30 menit, Amel akhirnya keluar dengan mengenakan baju yang agak ketat. “Mas, ayo!” ucapnya sambil menenteng tas brand lokal.
Nanda yang sedang duduk di sofa menoleh dan langsung membuang napas. “Kok bajunya itu sih? Emang kamu nggak ada baju yang lain?” tanyanya dengan nada tidak puas.
Amel menunduk dan memperhatikan pakaiannya. “Emang kenapa? Baju ini masih bagus kok, lagian cuman baju ini yang muat!” jawabnya pelan. Dia tidak mengerti mengapa suaminya tidak puas dengan penampilannya.
Nanda memegangi keningnya dengan frustrasi, “Ya ampun Amel! Aku malu lah kalau kamu pakai baju kayak gini?! Ini acara kantor loh, semua orang hebat akan datang, masa istri manajer pakai baju kayak gini!”
Amel membela diri, “Emang ini bajunya kenapa? Ini masih bagus loh, baju ini baru beberapa kali aja aku pakai.” Tapi Nanda tidak puas, “Nggak ada baju yang lain?” Amel menggeleng, dan Nanda membuang napas kasar, “Kamu nggak usah ikut lah, bikin malu! Apa nanti kata orang-orang, istrinya manajer Nanda dekil banget, itu juga kamu mukanya dempul banget! Udah kayak dodol bulukan tahu nggak! Udahlah, aku jalan sendiri!”
Nanda kemudian pergi meninggalkan Amel, mengambil kunci mobil dan berpamitan singkat, “Bu aku jalan dulu!” Amel mencoba memanggil suaminya, tapi suaranya tidak digubris.
Erma, yang sedang main handphone, terkekeh melihat situasi itu. “Makanya jadi perempuan itu harus pinter! Ini dandan aja nggak bisa, jadi orang susahkan, bedain mana pembantu mana istri!” Amel mencoba membela diri, tapi Erma tidak peduli.
Erma terus meledek Amel , “Gak usah! Nanti di sana kamu bikin malu, lihat dong kulit kamu, kusem dekil kaya gitu! Yang ada nanti kamu di sana bikin malu, udah bener banget Nanda ninggalin kamu!”
Tapi Amel tidak menyerah, dia mengejar suaminya ke depan. “Mas, tunggu aku!” mohonnya dengan nada yang lembut. Dia tidak ingin ditinggalkan sendirian dan berharap suaminya bisa memahami keadaannya. Amel berlari kecil menuju ke arah mobil, berharap Nanda mau mendengarkan penjelasannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments