Bab 4

"Dasar kamu, masih kayak dulu aja!" gerutu Amel, merasa kesal dengan sikap Kinan  yang masih sama seperti dulu. Dia membiarkan Kinan menariknya ke dalam mobil tanpa banyak perlawanan.

"Ayo, kita ngopi dulu. Nggak tega aku liat kamu kayak gini," ajak Kinan, mencoba menghibur temannya.

Amel hanya mendengus, tidak banyak bicara, tapi dia membiarkan Kinan mengantarnya ke tempat yang diinginkan. Kinan memperhatikan keadaan Amel yang terlihat kusut dan sedih, dan dia merasa perlu melakukan sesuatu untuk menghibur temannya. "

Kita ngopi di tempat biasa aja, ya?" tanya Kinan, mencoba memulai percakapan. Amel hanya mengangguk lemah, masih terlihat lesu dan tidak bersemangat.

Tak butuh waktu lama, mobil itu langsung melaju pergi meninggalkan area gedung. “Ngomong-ngomong... Emang kamu nggak masuk ke acara itu dulu? Kamu datang ke sana untuk menghadiri acara peresmian...” ucapan Amel tertahan ketika dia melihat ekspresi Kinan yang biasa saja.

“Gak ah! Daripada aku membuang-buang waktu datang ke acara itu, mendingan ngopi sama kamu! Udah lama kita nggak ngopi bareng... kapan ya terakhir kita ngopi bareng?” tanya Kinan, mobilnya kemudian berbelok ke sebuah kafe yang biasa dipakai nongkrong anak-anak muda.

“Gak tau!” jawab Amel singkat. Keduanya kemudian turun dari mobil dan masuk ke dalam kafe, menarik perhatian beberapa anak muda yang melihat dua ibu-ibu berpenampilan nyentrik itu. Amel duduk dan menyimpan tasnya, diikuti oleh Kinan.

“Kenapa?” tanya Kinan ketika melihat temannya melamun seperti itu. Amel menggeleng, dan terdengar helaan nafas dari sang teman.

“Gimana kabar kamu?” tanya Kinan, mencoba memulai percakapan yang lebih serius.

Sedangkan Amel merasa sesak sekali mendengar pertanyaan Kinan karena sekarang dia sedang tidak baik-baik saja. “

Aku?” tanya Amel, menunjuk pada dirinya sendiri.  “Lumayan baik... Kamu sendiri bagaimana kabarnya? Bukankah kamu di luar negeri?” Kinan menggeleng, “Aku udah ada di Indonesia dari 6 bulan lalu, dan kebetulan sekali kita ketemu di sini,” Amel mengangguk, tak lama minuman yang mereka pesan datang.

Amel  mengambil minuman yang dipesankan oleh sang teman, lalu tersenyum ketika meneguk satu tegukan minuman itu. “Masih sama! Seperti 10 tahun lalu!” Ujar Amel, menikmati rasa minuman yang familiar. Kinan tersenyum, 10 tahun lalu mereka bertemu di sebuah perbelanjaan, sampai akhirnya mereka berpisah karena Kinan harus pergi ke luar negeri.

“Aku heran deh, seorang Amelia putri Diningrat, mau lo hidup sama Nanda laki-laki pengecut bin pecundang itu!” Kinan berkata dengan nada santai, tapi Amel langsung menanggapi dengan serius. “Hust! Bagaimanapun dia adalah suamiku!” Walaupun Nanda menyakitinya, Amel masih berusaha membela laki-laki itu di depan sang teman.

Kinan mengangkat alisnya, seolah tidak percaya dengan jawaban Amel. “Kamu masih membela dia? Setelah dia memperlakukanmu seperti itu?” Kinan bertanya, suaranya sedikit meninggi. Amel menunduk, tidak bisa menjawab pertanyaan Kinan.

"Ya, ya! Terserah kamu aja lah... Yang penting sekarang kita ketemu..." Kinan kemudian mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya, "Nih, kartu namaku! Siapa tahu aja kamu berniat menghubungi temanmu ini kapan-kapan!" Amel terkekeh, karena 10 tahun lalu juga Kinan melakukan hal yang sama, memberikan nomor kontak. "Ok! Ok! Nanti aku bakalan telepon kamu..."

Amel memasukkan kartu nama Kinan ke dalam tas kecilnya. Kinan heran, "Kenapa kamu malah keluar dari acara itu? Apakah... Maksudnya dia salah satu karyawan di sana?" "Iya!" jawab Amel singkat.

"Terus kenapa kamu pulang? Kenapa nggak bareng sama si Nanda? Atau kalian bertengkar?" Kinan penasaran, tapi Amel justru meneguk hot coklatnya tanpa menjawab pertanyaan.

"Udah ah, kamu banyak nanya! Aku pulang ya soalnya anakku di rumah sendirian..." Amel mencoba mengalihkan perhatian, tapi Kinan  menautkan alisnya, tidak percaya dengan jawaban Amel. "Anakmu? Kamu punya anak?" Kinan bertanya, suaranya penuh dengan keheranan. Amel mengangguk, "Iya, aku punya anak perempuan." Kinan semakin penasaran, "Bukankah ada mertua mu?" tanya Kinan, mencoba melanjutkan percakapan.

"Ya, walaupun ada mertuaku, tetep aja dia nggak bisa diandalkan!" ketus Amel, dia heran kenapa dia bisa bertahan tinggal dengan mertuanya yang memiliki mulut super pedas itu.

"Hey, Mel! Kamu baik-baik saja? Cerita aja nggak sih! Kamu kenapa?" tanya Kinan, tapi Amel malah memegangi kepalanya, setelah itu merentangkan tangannya.

"Antar aku pulang yuk! Bisa kan?" Kinan mengangguk, "Tentu saja!" jawab wanita itu. Tidak lama mereka mengobrol di kafe, mereka hanya menghabiskan masing-masing satu gelas saja.

Di perjalanan pun Amel  hanya diam, dan Kinan tidak tahu kenapa dengan temannya yang dulu sangat ceria ini sekarang jadi  murung.

"Nah, berhenti di sini aja..." Amel meminta dirinya untuk diturunkan di depan kompleks saja, tapi Kinan tetap melajukan mobilnya. "Kin" lirih Amel.

 Kinan tak peduli, dia harus mengantarkan sang teman sampai ke dalam kompleks, bila perlu dia akan mengantarkan wanita ini sampai ke depan pintunya. Dan setelah beberapa menit, akhirnya mobil mewah Kinan berhenti di depan rumah Amel. "Astaga Amel! Ini rumah apa kandang kelinci?" Kinan terkejut melihat rumah Amel yang sederhana. "Rumahku ya rumahku, apa bedanya?" jawab Amel, sedikit defensif.

Kinan tersenyum, "Tidak apa-apa, aku hanya kaget saja. Kamu tinggal di rumah yang cukup sederhana." Amel mengangguk, "Iya, memang sederhana, tapi aku suka."

Kinan mengangguk, "Baiklah, aku antar kamu sampai depan pintu." Kinan keluar dari mobil dan mengikuti Amel sampai depan pintu rumahnya. "Makasih, Kin," ucap Amel, sambil tersenyum.

"Tidak perlu berterima kasih, aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja," jawab Kinan, sambil memeluk Amel.

 "Kamu harus cerita lebih banyak tentang apa yang terjadi denganmu," Kinan menambahkan, sambil menatap Amel dengan penuh perhatian. Amel hanya tersenyum, "Nanti saja, Kin. Sekarang aku hanya ingin istirahat." Kinan mengangguk, "Baiklah, aku mengerti. Tapi jangan lupa, kamu bisa menghubungi aku kapan saja."

Amel mengangguk, "Iya, Kin. Makasih ya."

 Kinan tersenyum, "Tidak perlu berterima kasih, aku hanya ingin membantu." Dengan itu, Kinan kembali ke mobilnya dan pergi meninggalkan Amel, Amel menutup pintu rumahnya, merasa sedikit lebih lega setelah bertemu dengan Kinan.

Ketika Amel masuk ke dalam rumah, seseorang dari dalam rumah mengintip. “Sama siapa dia pulang? Kenapa tidak sama Nanda ? Malah bawa laki-laki lain! Tidak tahu malu...” seru Erma, ibu mertua Amel, . “Bu,” tegur Amel, “Mana mungkin aku pulang dengan laki-laki lain, aku...” Belum juga Amel menyelesaikan kata-katanya, Erma langsung memotongnya. “Aku tidak peduli! Mau itu perempuan kek, mau itu laki-laki kek, mau itu jenis kodok kek, mau itu jenis hewan apa juga, aku tidak peduli!” Wanita itu pergi meninggalkan Amel, meninggalkan Amel dengan rasa frustrasi dan kesal. Amel menarik nafas dalam-dalam, merasa bahwa dia tidak bisa menikmati momen untuk menangis karena ada saja hal kocak yang dilakukan oleh mertuanya. “Dasar ibu mertua gila,” gumam Amel dalam hati, sambil menggelengkan kepala.

 

Setelah hening, pikirannya kembali lagi pada Nanda, di mana laki-laki itu kedapatan sedang bercumbu dengan wanita lain di depan Amel. "Kalau di depan aku aja dia berani kayak gitu, gimana kalau dia ada di belakang aku? Apakah mereka udah pernah tidur sekamar? Apakah Nanda membagi cintaku?" Dengan perasaan tak enak dan langkah gontai, Amel berjalan ke dalam rumah. Dia melamun, tatapannya kosong, namun matanya menunjukkan ketidakberdayaan. Air matanya mengalir begitu saja. "Perjuanganku selama ini ternyata tidak ada harganya! Tau gitu ngapain aku harus irit, tau gitu aku habisin aja uang yang sedikit itu. Harusnya kuhambur-hamburkan saja yang dia kasih, terus aku foya-foya!" Gumam Amel.

Sampai di dalam kamar, dia marah pada dirinya sendiri. Wanita itu melempar tasnya, dia berjongkok di lantai, tangisnya masih belum berhenti. Dadanya sesak sekali. Apalagi setelah 1 jam berada di dalam rumah, ternyata Nanda juga belum pulang. "Argh!" Amel emosi, dia cemburu. Kenapa Nanda lebih mementingkan wanita itu ketimbang membelanya? Amel merasa bahwa dirinya tidak dihargai dan tidak dianggap sebagai istri yang penting bagi Nanda. Tangisnya semakin keras, dia merasa bahwa dirinya telah diperlakukan tidak adil oleh suaminya.

Dia!” maki Amel, lalu dia menatap dirinya di cermin. “Pantas saja dia tidak melirikku, lihatlah badanku, lihatlah wajahku... Aku cupu, jelek dan dekil...” Dia tersenyum kecut ketika melihat bajunya. “Memalukan.

Ke acara itu, aku pakai baju kayak gini...” Segera dia berganti baju tanpa bisa menahan air matanya yang masih berjatuhan. Wanita mana yang bisa tahan ketika melihat suaminya berselingkuh? Walaupun Nanda tidak mengakui perselingkuhannya, tapi melihat adegan tadi membuat Amel yakin bahwa suaminya ada main dengan wanita lain.

Setelah mengganti pakaiannya dengan daster butut yang sudah ada sobek di bagian ketiaknya, Amel kemudian duduk di meja rias. Dia menatap jajaran kosmetik jadul yang dia pakai, tidak ada skin care mahal, hanya ada lotion murah dan sunscreen dari brand lokal yang biasa dia beli dengan harga combo.

“Cih, gimana mau cantik? Perawatannya aja Cuma kayak gini...” Lirih Amel, dia merasa bahwa dirinya diselingkuhi karena tidak cantik. Sekarang dia merasa rugi karena membiarkan uang yang diberikan oleh Nanda dihambur-hamburkan oleh adiknya dengan dalih dipinjam. “Argh!” Amel melempar semua barang-barangnya. Tapi dia terkesiap ketika melihat selembar kertas yang berada di atas meja.

 

Dia mengingat-ingat kertas apa itu, lalu dia mengambilnya dan membacanya. “Bulan! Anak itu ngapain lagi...” Amel memejamkan mata. “Pantas aja Gadis itu bertanya kenapa aku tidak marah? Ternyata aku dipanggil oleh pihak sekolahan! Apa yang dia perbuat lagi!” Amel  meremas rambutnya sendiri. “Kenapa sih Bulan tuh! Ada aja gebrakannya.. sekarang anak siapa lagi yang dia hajar...” Berbeda dengan dia yang sedang kebingungan dan emosi dengan banyak masalah yang datang secara gerombolan.

Suaminya sekarang sedang berada di suatu tempat bersama Riska. “Emang istri kamu nggak marah, kalau kamu malam ini nggak pulang?” tanya Riska sambil memainkan tangannya di dada Nanda. Nanda tersenyum, “Ah, dia tidak akan tahu. Dan bahkan jika dia tahu, dia tidak akan berani marah.”

“Mana mungkin dia marah! Dia tuh cinta berat sama aku...” Jawab lelaki itu dengan nada yakin, seolah-olah dia tahu persis bagaimana perasaan istrinya terhadap dirinya.

Riska tertawa, “Kamu benar-benar tahu cara membuat wanita jatuh cinta.” Nanda membalas senyum Riska , merasa bahwa dirinya sedang berada di zona nyaman dengan wanita ini. “Aku hanya tahu cara membuat wanita bahagia,” jawab Nanda, sambil menarik Riska lebih dekat. Riska menggigit bibirnya, merasa bahwa dirinya sedang jatuh lebih dalam ke dalam hubungan ini. “Kamu benar-benar tahu cara membuatku bahagia,” gumam Riska, sambil memeluk Nanda lebih erat.

 

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!