NovelToon NovelToon

Pembalasan Istri Cupu

Bab 1

"Mohon maaf,De ... Aku tidak bisa membantu kali ini. Keuanganku juga sedang ketat." Amel berbicara dengan nada lembut, namun penuh dengan penyesalan. Matanya memandang Deka dengan simpati, tetapi tetap menunjukkan keterbatasan dirinya.

 

Deka menggenggam kepalanya dengan tangan yang bergetar, napasnya terengah-engah penuh kekecewaan. "Tolong, Kak... Coba cari jalan! Aku sangat membutuhkan ini. Anakku ingin ikut kegiatan dengan teman-temannya, tapi tanpa ini dia akan merasa tersisihkan." Suaranya parau, hampir menangis karena tekanan emosi yang kuat.

 

Amel menggelengkan kepala perlahan, keraguan terpancar jelas di matanya. "Aku benar-benar tidak bisa, De... Aku juga punya banyak kebutuhan yang harus dipenuhi."

 

Tiba-tiba, seseorang menyela dengan komentar yang tajam. "Kamu memang sangat pelit, ya? Adik iparmu datang dengan niat baik, tapi kamu begitu saja menolaknya tanpa empati." Ucapan itu menimbulkan ketegangan, membuat situasi semakin tidak nyaman. Amel dan Deka saling menatap, masing-masing dengan perasaan yang berbeda.

"Tidak mau menolong dia!" Sentak wanita paruh baya itu, sambil membenarkan kacamatanya dengan gerakan tangan yang tegas. Nada suaranya jelas menunjukkan ketidakpuasan terhadap Amel, menantunya yang dianggap tidak memiliki empati.

 

Amel menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan emosi sambil menatap mertuanya dengan tatapan lembut. "Bukannya begitu, Bu. Tapi kan baru kemarin Deka pinjam uang, jadi—"

 

Ucapan Amel tiba-tiba disela oleh mertuanya. "Kamu memang sangat perhitungan, ya Mel! Jadi maksudmu, kamu tidak mau meminjamkan uang kepada adik iparmu karena dia masih punya utang padamu? Iya? Astaga!" Wanita itu menghela napas frustrasi. "Ibu heran kenapa Nanda masih bertahan dengan seseorang seperti kamu, yang pelit dan perhitungan! Padahal semua uang yang kamu miliki sekarang adalah hasil kerja keras Nanda, anak saya!"

 

Amel mencoba membela diri, tapi kata-katanya tercekat ketika mertuanya langsung mendekati Deka. "Udah, Deka, langsung saja minta ke kakakmu. Jangan minta ke dia, percuma..."  Erma mengucapkan itu sambil melirik Amel dengan pandangan sinis.

 

Amel merasa tidak dihargai dan tidak dianggap, meskipun niatnya sebenarnya bukan untuk tidak membantu. Namun, situasi semakin tegang ketika mertuanya terus menunjukkan ketidakpuasan terhadap sikap Amel.

Amel merasa dilema. Di satu sisi, dia ingin membantu adik iparnya, Deka, tetapi di sisi lain, dia merasa kesal karena Deka sudah beberapa kali meminjam uang tanpa menggantinya. Amel  berpikir bahwa Deka seharusnya lebih bertanggung jawab dalam mengelola keuangannya.

 

Deka menatap Amel dengan mata berkaca-kaca, "Kak, aku masih sangat menghargai kakak makanya aku minjemnya ke Kakak nggak langsung ke Kak Nanda.  Lagian aku minjem juga bukan untuk foya-foya Kak, aku minjem uang ini untuk keperluan anakku sekolah."

 

Amel  tetap sabar, meskipun dia merasa kesal. "Kan bisa nggak ikut dulu, Deka. Lagian kan bukankah bulan kemarin juga sekolah anakmu itu baru saja mengadakan acara jalan-jalan ya? Jadi sekarang jalan-jalan ke mana lagi?"

 

Deka merasa tersinggung dan marah, "Kamu jangan gitu dong Kak! Kalau kamu nggak mau minjemin ya udah, aku bisa kok minjem ke tempat lain! Aku nggak nyangka aja, ternyata kakak iparku yang aku sayangi, ternyata perhitungan banget kayak gini!"

 

Amel merasa bahwa Deka tidak memahami situasinya, dan dia merasa bahwa Deka sedang membuatnya merasa bersalah. Amel berpikir bahwa dia perlu menjelaskan situasinya dengan lebih jelas kepada Deka.

 

"Padahal Kak Nanda kan kerjanya udah lumayan sekarang, nggak mungkinlah kamu nggak punya uang!! Kayaknya memang dasarnya kamu nggak mau minjemin aku uang Kak!" Deka memojokkan Amel dengan nada yang meninggi.

 

Amel merasa kesal dan tidak terima dengan tuduhan Deka. "Deka, kamu tahu sendiri kan kalau aku sudah meminjamkan uang ke kamu beberapa kali dan belum pernah kamu kembalikan? Aku tidak bisa terus-menerus meminjamkan uang tanpa kepastian kapan kamu akan membayarnya."

 

Erma, ibu mertua Amel, ikut campur dengan nada provokatif, "Udahlah Deka, percuma kamu ngomong sama dia! Dia tuh lebih senang menyimpan uangnya sendiri dan membiarkan saudaranya menderita!"

 

Deka langsung terpengaruh dengan kata-kata Erma dan semakin kecewa pada Amel. "Sepertinya memang begitu Bu!" jawab Deka dengan nada kesal.

 

Deka masih berusaha membujuk Amel, "Padahal aku minjemnya cuman sedikit loh Kak! Aku cuman minjem Rp500.000 aja." Namun, Amel sudah tidak percaya lagi dengan janji Deka.

Sebelum Amel bersuara lagi, seseorang datang dari luar. "Kalian lagi apa?" tanya Nanda ketika masuk ke dalam ruangan. Amel dan dua wanita lainnya menoleh ke arah pintu, dan Deka langsung memanggil, "Kak!"

 

Amel hanya melirih, "Mas," sambil menatap suaminya dengan ekspresi sendu. Nanda baru saja pulang dan langsung menuju ke tempat mereka.

 

"Kenapa ini?" tanya Nanda sambil duduk di dekat Amel. Amel hendak menjelaskan, tapi Erma langsung menyela, "Nanda... Istrimu ini tidak mau meminjamkan adikmu uang."

 

Nanda menoleh kepada Amel, lalu kembali memandang ibunya dan adiknya. "Minjem uang?" tanya Nanda kepada ibunya.

 

Erma menjelaskan, "Iya! Katanya dia tidak punya uang, aneh bukan? Bukankah semua uangmu diberikan sama dia?! Gajimu besar, dan wanita ini mengatakan jika dia tidak memiliki uang sehingga tidak bisa meminjamkan adikmu! Ibu yakin itu hanya akal-akalan istrimu saja, memang dasarnya saja dia pelit!"

 

Nanda mendengarkan penjelasan ibunya dengan seksama, dan dia tampaknya tidak puas dengan jawaban Amel. Dia menatap Amel dengan pertanyaan di matanya, menunggu penjelasan lebih lanjut.

Nanda menatap adiknya dengan lembut, “Kamu butuh berapa, Dek?” Deka menjawab dengan cepat, “Aku cuman butuh 500.000 kok, Kak!”

 

Nanda kemudian mengeluarkan dompetnya dan memberikan sejumlah uang kepada Deka. Amel ingin melarang suaminya meminjamkan uang, tapi dia tidak bisa memotong ucapan Nanda.

 

Deka mengambil uang tersebut dan menatap Amel sekilas, “Makasih Kak, nanti aku akan ganti uang ini ketika aku udah punya uang, atau ketika suamiku gajian! Pokoknya kamu nggak usah khawatir.”

 

Tapi Nanda  langsung menyela, “Nggak usah diganti! Pakai aja uangnya!” Amel memanggil suaminya dengan suara pelan, “Mas!” tapi Nanda menahan pergerakan Amel, tidak mau sampai istrinya bersuara.

 

Deka kemudian berpamitan, “Ya udah aku jalan dulu ya! Soalnya ini udah mau magrib!” Setelah mendapatkan uang dari Nanda, Deka pergi meninggalkan rumah kakaknya dengan senyum di wajahnya. Amel merasa tidak puas dengan keputusan suaminya, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa.

Ketika Deka pergi meninggalkan rumah kakaknya, dia merasa puas mendapatkan uang satu juta dari Nanda. “Lumayan satu juta! Nggak usah diganti lagi... Hahaaa....” Dia kemudian menaiki motor bebeknya dan pergi.

 

Sementara itu, di dalam rumah, Amel memanggil suaminya, “Mas...” Nanda menjawab dengan singkat, “Hemh!”

 

Amel kemudian meminta uang untuk biaya SPP Bulan, tapi Nanda menolak, “Bukannya bulan ini aku udah ngasih uang bulanan kita ke kamu ya? Kenapa kamu masih minta juga ke aku?” Amel menjelaskan bahwa uang untuk bayar SPP Bulan dipinjam oleh Deka, sehingga dia belum membayar sama sekali.

 

Tapi Nanda  tidak mau tahu, dan ibunya, Erma, langsung menyela, “Kamu dengarkan Nanda?! Kamu dengarkan sekarang?! Istrimu ini memang perhitungan! Itu adikmu loh yang minjem... Tapi dia detail banget itung, Astaga ibu malu dengernya!”

 

Nanda menarik napas dan menjawab, “Ya udah nanti aku kasih,” lalu dia menatap ibunya, “Aku masuk dulu!” Amel merasa bahwa suaminya tidak peduli dengan keadaannya, dan dia merasa kesal dengan situasi ini.

Nanda mengangkat paper bag yang dibawanya dan mengingatkan Amel, "Oh iya, kamu siap-siap. Nanti malam, ada perayaan kenaikan jabatanku, kalau kamu mau ikut, dandanlah yang cantik!"

 

Amel langsung khawatir, "Loh, Mas. Kok dadakan, aku nggak punya persiapan apapun!"

 

Nanda  menjawab dengan sedikit sinis, "Emang kamu mau persiapan seperti apa? Ayo cepet!"

 

Amel kemudian berdiri dan mengikuti suaminya, dia menoleh pada mertuanya sekilas. Erma hanya mengeluarkan suara tidak puas, "Cih!" sambil ongkang-ongkang kaki dan bermain handphone.

 

Sementara itu, Bulan baru saja pulang dan memanggil neneknya, "Nek."  Erma menjawab dengan singkat, "Hemh," tanpa menoleh pada sang cucu. Bulan kemudian melewati neneknya dan masuk ke kamarnya.

 

Di kamar orang tua Bulan , Nanda sudah siap dengan setelan jas yang membuatnya tampak tampan paripurna. "Amel, ayo dong cepet.. Aku tunggu di depan deh. Kalau kamu udah selesai, cepat keluar..." ucap Nanda, menanti istrinya agar segera siap.

Amel berjongkok di depan lemari, mengacak-ngacak bajunya sambil mengenakan handuk. “Pakai yang mana ya?” batinnya. Dia ingin tampil cantik untuk acara kenaikan jabatan suaminya.

 

Tapi, dia kecewa ketika menemukan bahwa bajunya sudah tidak muat. “Ini bajunya udah pada nggak muat! Aku pake mana ya!” lirihnya.

 

Setelah hampir 30 menit, Amel akhirnya keluar dengan mengenakan baju yang agak ketat. “Mas, ayo!” ucapnya sambil menenteng tas brand lokal.

 

Nanda yang sedang duduk di sofa menoleh dan langsung membuang napas. “Kok bajunya itu sih? Emang kamu nggak ada baju yang lain?” tanyanya dengan nada tidak puas.

 

Amel menunduk dan memperhatikan pakaiannya. “Emang kenapa? Baju ini masih bagus kok, lagian cuman baju ini yang muat!” jawabnya pelan. Dia tidak mengerti mengapa suaminya tidak puas dengan penampilannya.

Nanda memegangi keningnya dengan frustrasi, “Ya ampun Amel! Aku malu lah kalau kamu pakai baju kayak gini?! Ini acara kantor loh, semua orang hebat akan datang, masa istri manajer pakai baju kayak gini!”

 

Amel membela diri, “Emang ini bajunya kenapa? Ini masih bagus loh, baju ini baru beberapa kali aja aku pakai.” Tapi Nanda  tidak puas, “Nggak ada baju yang lain?” Amel menggeleng, dan Nanda membuang napas kasar, “Kamu nggak usah ikut lah, bikin malu! Apa nanti kata orang-orang, istrinya manajer Nanda dekil banget, itu juga kamu mukanya dempul banget! Udah kayak dodol bulukan tahu nggak! Udahlah, aku jalan sendiri!”

 

Nanda kemudian pergi meninggalkan Amel, mengambil kunci mobil dan berpamitan singkat, “Bu aku jalan dulu!” Amel mencoba memanggil suaminya, tapi suaranya tidak digubris.

 

Erma, yang sedang main handphone, terkekeh melihat situasi itu. “Makanya jadi perempuan itu harus pinter! Ini dandan aja nggak bisa, jadi orang susahkan, bedain mana pembantu mana istri!” Amel  mencoba membela diri, tapi Erma tidak peduli.

Erma terus meledek Amel , “Gak usah! Nanti di sana kamu bikin malu, lihat dong kulit kamu, kusem dekil kaya gitu! Yang ada nanti kamu di sana bikin malu, udah bener banget Nanda ninggalin kamu!”

 

Tapi Amel tidak menyerah, dia mengejar suaminya ke depan. “Mas, tunggu aku!” mohonnya dengan nada yang lembut. Dia tidak ingin ditinggalkan sendirian dan berharap suaminya bisa memahami keadaannya. Amel berlari kecil menuju ke arah mobil, berharap Nanda mau mendengarkan penjelasannya.

 

BAB 2

"Bu," panggil Bulan saat melihat ibunya berdiri di depan rumah.

Amel menoleh pada putrinya, "Kamu sudah pulang?" tanyanya dengan nada khawatir.

Bulan mengangguk, lalu memperhatikan ibunya yang terlihat cemas. "Ibu menunggu Ayah?" tanya Bulan.

Amel menatap ke depan, "Iya, Ibu lagi... ah, Mas Nanda benar-benar keterlaluan meninggalkanku!"

Amel kesal karena merasa ditinggalkan dan ingin menyaksikan kesuksesan suaminya. Dengan frustrasi, Amel berlari ke dalam rumah dan menabrak Bulan.

"Aduh!" Bulan meringis, "sakit, Bu!" Amel menyentuh pundak Bulan  sebentar sebelum bergegas ke kamarnya.

Nenek Bulan meledek, "Pasti dia sangat ingin ikut dengan Nanda!" "Nenek!" Bulan menegur dengan nada tidak setuju.

Tapi Erma malah sibuk lagi dengan ponselnya. "Ish, Nenek!" keluh Bulan, kemudian dia pergi mengikuti ibunya. Begitu sampai di kamar, dia melihat ibunya sudah berganti pakaian dengan baju berwarna hitam. Bulan merasa sedikit ngilu melihat ibunya memakai baju seperti itu. "Ibu, kenapa pakai baju kayak gitu? Itu kekecilan..."

"Nggak apa-apa, ini baju yang bagus dan layak dipakai," ujar Amel.

Dia ingin tetap menemani suaminya, walaupun suaminya sudah pergi meninggalkannya. Bulan berdiri di ambang pintu sambil memegang selembar kertas. "Kenapa kamu berdiri di sini, Lan? Ibu mau pergi..."

"Ini, ada surat buat Ibu." Bulan menyerahkan kertas itu kepada ibunya. Amel mengambilnya dan menyimpannya di atas nakas tanpa membacanya.

"Ibu tidak marah? Tidak mau baca dulu surat itu?" tanya Bulan.

"Tidak, Ibu baca nanti pas sudah pulang," jawab Amel, lalu dia pergi tanpa membaca surat dari putrinya.

Bulan mengelus dada saat ibunya melewatinya tanpa memperhatikan. “Untung Ibu tidak marah!” ucapnya pelan, lalu dia keluar mengikuti ibunya yang tergesa-gesa. Namun, saat sampai di depan, ibunya sudah tidak ada.

Bulan kemudian duduk bersama neneknya. “Ibu mau ke mana, Nek?” tanya Bulan.

Erma menjawab dengan nada sinis, “Mungkin mau mengemis di depan Ayahmu!”

Bulan menaikkan alis, “Mengemis di depan Ayah? Kenapa? Ih, Nenek...” Bulan merasa tidak perlu bertanya pada neneknya yang tidak menyukai ibunya. “Mendingan aku main game saja!” pikir Bulan. Dia sengaja pulang sore karena takut dimarahi ibunya, tapi setelah menyerahkan surat dari kepala sekolah, ibunya tidak bereaksi berlebihan. “Berarti aku aman,” batin Bulan.

Sementara itu, ibunya menggunakan dress yang agak kekecilan, memperlihatkan perutnya yang sedikit menggelambir, dan naik taksi untuk menuju acara suaminya. Dia ingin menunjukkan bahwa dia layak dan pantas ikut dengannya.

“Walaupun bajuku agak kecil,” gumam Amel sambil membenarkan pakaiannya yang tidak nyaman.

"Pokoknya kalau Deka sudah bayar utang, nanti aku beli baju yang agak bagus..." gumam wanita itu.

Sementara itu, Nanda sudah tiba di tempat acara dan disambut dengan hangat. Orang-orang terkesan dengan penampilannya yang keren, terutama karena dia bekerja di perusahaan yang prestisius. Dengan cepat, dia naik ke posisi general manager dalam waktu tiga tahun, setelah sebelumnya mengalami beberapa tahun pengangguran dan bekerja sebagai karyawan swasta biasa.

"Pak Nanda, Anda sudah datang?" seseorang menyapa dengan sopan.

"Eh, Riska," balas Nanda sambil tersenyum. "Kamu datang sama siapa?" tanya Nanda, terlihat terpukau oleh kecantikan Riska.

"Sama Papa," jawab Riska.

Nanda tersenyum dan berjalan berdampingan dengan Riska masuk ke dalam gedung. Beberapa orang menoleh ke arah Nanda, bukan hanya untuk merayakan kenaikan jabatannya, tapi juga beberapa orang lain yang juga akan dirayakan.

"Pak Nanda, selamat atas jabatan baru Anda," ucap beberapa orang sambil memberikan selamat kepada Nanda.

Nanda dengan bersemangat menjabat tangan setiap orang, “Makasih banyak... makasih banyak...” katanya sambil tersenyum.

Mereka kemudian menyenggol-nyenggol Nanda saat dia berjalan masuk bersama anak seorang direktur. “Pak Nanda,  Anda...” seseorang menggoda pria itu.

“Ah, apa sih! Nggak ada lah kayak gitu...” jawab Nanda sambil tersenyum.

Riska menarik tangan Nanda, “Ayo Pak Nanda, kita ke dalam. Di dalam banyak sekali orang-orang penting, bagus untuk karir Anda selanjutnya,” ucapnya.

Namun, seseorang menarik Nanda, membuat dia terpaksa mundur dan mempersilakan Riska untuk masuk terlebih dahulu. “Kenapa?” tanya Nanda pada lelaki itu.

“Kamu datang sendirian? Di mana istrimu? Bukankah kamu---“ ucapan lelaki itu terpotong ketika Nanda mengangkat tangannya.

“Dia nggak ikut! Udahlah, jangan bahas-bahas dia di sini!” ucap Nanda pada teman lamanya itu. Dia kemudian meninggalkan teman lamanya dan mengikuti Riska ke dalam.

“Padahal dia ada di level yang masih bawah, kenapa dia malah ikut hadir ke sini? Gak jelas banget!” Lelaki itu melenggang masuk ke dalam, mengikuti Riska karena dia melihat potensi Riska sebagai batu loncatan karirnya.

Riska adalah anak direktur dan manajer keuangan di bagian akunting, membuatnya menjadi target yang strategis untuk dijalin hubungan. Beberapa orang menyalami Nanda dan memberikan selamat atas jabatan barunya.

“Pak, Anda cocok banget sama Bu Riska, tahu!” Mereka mengompori hubungan keduanya yang memang sudah intens dalam beberapa minggu terakhir.

Nanda tersenyum bangga, “Kalian bisa aja!” Acara berlangsung dengan panggilan satu per satu untuk memberikan sambutan dan berterima kasih kepada tim masing-masing. Tiba-tiba, seseorang baru masuk dari luar dengan tergesa-gesa, Amel, tanpa peduli dengan tatapan orang-orang kepadanya.

“Silakan tanda tangan dulu di sini, Bu! Oh iya, apakah Anda mendapatkan surat undangan atas acara ini? Boleh kami melihatnya,” ucap seseorang yang bertugas menjaga pintu masuk.

“Saya ini istri Mas Nanda, orang yang—“ ucapannya terpotong.

“Kalau Ibu tidak punya undangan, tidak bisa masuk!” jelas penjaga pintu masuk.

Amel berusaha menjelaskan bahwa suaminya ada di dalam dan dia harus menemani, tapi penjaga tidak memperbolehkannya. Amel  terpaksa mundur dan mencari cara untuk masuk. Ketika ada rombongan berbaju hitam lewat, Amel menyelinap di antara mereka dan berhasil lolos dari penjagaan.

“Heh, Anda siapa?” tanya seseorang saat Amel ikut di barisan.

“Oh, maaf, salah barisan,” jawab Amel, lalu dia pergi dari barisan tersebut.

Amel mengelus dadanya, merasa frustrasi.

“Apa sih mereka?! Aku kan harus datang. Lagian surat undanganku ada pada Mas Nanda.”

Dia memandang sekeliling, mencari suaminya yang ternyata sudah dipanggil ke atas panggung. Dengan excited, Amel maju ke depan dan melihat suaminya yang gagah berdiri bersama seorang wanita.

“Mas Nanda,” gumam Amel dengan bangga. Namun, dia tertegun melihat Nanda bersama wanita itu. Saat Nanda memberikan sambutan, dia menambahkan, “Saya benar-benar berterima kasih kepada Ibu Riska...” sambil melirik Riska yang memegang mic.

“Walaupun beliau ini masih muda, beliau benar-benar luar biasa... Kami pasti menjadi tim yang hebat,” ucap Nanda dengan bangga.

Amel terkejut saat Nanda mencium tangan Riska di depan semua orang. “Mas Nanda? Kenapa dia mencium tangan wanita itu—“ Amel menutup mulutnya, terkejut dengan tindakan suaminya.

“Emangnya harus pakai acara cium-cium kayak gitu?” batin Amel, merasa tidak percaya.

Baru Amel akan maju, tiba-tiba seseorang menumpahkan minuman ke bajunya. “Sorry!” ujar wanita itu, yang berpakaian agak terbuka.

Amel kaget, bajunya yang kekecilan itu kini basah terkena minuman berwarna merah. Dia yang tadinya akan mendatangi suaminya akhirnya memutuskan untuk pergi ke kamar mandi. “Ish, Mbak, lain kali hati-hati dong!” tegur Amel pada wanita itu.

Namun, wanita itu hanya menatap Amel dengan remeh. “Saya yang hati-hati? Kebalik kali, Bu. Harusnya Ibu yang parkir jangan sembarangan. Makanya kepalanya dipasangin kaca spion, biar tahu di belakang itu ada orang!” ucap wanita itu sambil pergi meninggalkan Amel.

Amel menoleh ke panggung, ternyata suaminya sudah tidak ada. “Sshh, aku harus mengeringkan dulu pakaian ini,” batin Amel. Dia segera pergi ke toilet untuk membersihkan dan mengeringkan bajunya.

Namun, langkah Amel terhenti saat dia melihat pemandangan tak terduga di lorong toilet gedung. Dia melihat seseorang yang tidak asing, dan terkejut melihat Nanda bersama wanita itu.

“Makasih ya! Kamu udah nemenin saya naik ke panggung...” “Iya, tentu saja... kaya sama siapa aja...” ucap wanita itu sambil menyentuh pundak Nanda, Amel terkejut melihat keduanya saling berbagi ciuman di depan matanya. "Mas Nanda!" seru Amel dengan nada marah sambil mengepalkan tangannya. Dia tidak percaya apa yang dia lihat.

Bab 3

Amel terkejut melihat suaminya, Nanda, berciuman dengan wanita lain di depannya. "Mas," lirih wanita itu, dan suaranya menghentikan aksi berciuman mereka. Nanda kaget melihat Amel dan tidak bisa menyembunyikan rasa bersalahnya.

"Amel!" serunya, tapi Amel tidak peduli dengan penjelasannya. Amel mendekat dengan mata berkaca-kaca dan menatap wanita itu dengan senyum getir.

"Kalian—" ucapnya, lalu dia menatap Riska dengan nada menyindir.

"Kamu seorang wanita, tapi kenapa kamu melakukan ini? Kenapa kamu berselingkuh dengan suami orang?" Riska tersenyum dan tidak terlihat malu.

"Maaf ya! Aku tidak berniat berselingkuh dengan suami Mbak, hanya saja kami—" Tapi sebelum Riska selesai berbicara, Amel memotongnya dengan tamparan keras. Plak! Riska terkejut dan terbelalak karena tamparan Amel. Nanda langsung melerai dan mencoba menenangkan situasi.

“Amel, jangan seperti ini! Ini bukan tempatnya," katanya sambil menarik Amel. Tapi Amel tidak mau diam dan terus menatap Riska dengan marah.

"Kamu memang wanita tidak tahu malu! Berani-beraninya kamu mencuri suami orang lain!" Amel berteriak, suaranya keras dan penuh emosi. Riska masih memegang pipinya yang ditampar dan menatap Amel dengan tatapan dingin.

"Aku tidak mencuri suami orang, Mbak. Aku hanya—" Tapi Amel tidak membiarkannya melanjutkan.

"Aku tidak peduli apa yang kamu lakukan! Yang jelas, kamu harus tahu diri dan menjauh dari suamiku!" Amel berteriak lagi, suaranya semakin keras. Nanda mencoba menarik Amel pergi dari tempat itu, tapi Amel menolak.

"Biarkan aku! Aku ingin menyelesaikan masalah ini sekarang juga!" Amel berontak dan berusaha melepaskan diri dari pegangan Nanda.

Situasi semakin memanas, dan banyak orang mulai memperhatikan mereka. Riska terlihat tidak peduli dengan keadaan sekitar dan tetap menatap Amel dengan dingin.

"Aku tidak akan pergi sebelum masalah ini selesai," katanya dengan nada datar. Amel semakin marah dan merasa harga dirinya dilecehkan.

"Kamu memang wanita hina! Berani-beraninya kamu berani-berani mencuri suami orang lain!" Amel berteriak lagi, suaranya semakin keras dan penuh emosi. Nanda semakin kesal dan merasa situasi semakin tidak terkendali.

"Amel , berhentilah! Ini bukan tempatnya untuk berteriak-teriak," katanya sambil menarik Amel lebih keras.

Tapi Amel tidak mau diam dan terus melawan. "Biarkan aku! Aku ingin menyelesaikan masalah ini sekarang juga!" Amel berontak lagi, suaranya semakin keras dan penuh emosi. Situasi semakin memanas, dan banyak orang mulai memperhatikan mereka dengan lebih serius. Riska masih menatap Amel dengan dingin, sementara Nanda semakin kesal dan merasa tidak bisa mengendalikan situasi.

Pipi Riska yang mulus itu terhempas ketika tangan Amel menamparnya. “Mau ngomong apa kamu? Tidak berniat berselingkuh? Lalu tadi ciuman itu apa?” tanya Amel dengan nada marah.

Riska menatap Amel dengan tatapan tajam, tangannya mengepal karena emosi. Jika tidak ada Nanda, mungkin dia sudah menyerang Amel. “Amel!” bentak Nanda, berusaha melerai situasi. “Apa yang kamu lakukan!” Nanda menghempas tangan Amel, mencoba menenangkan keadaan. Amel menatap Nanda dengan mata berkaca-kaca, “Mas, kamu... Bahkan kamu tidak minta maaf sama aku setelah kamu ketahuan...” ucapnya, suaranya bergetar karena sakit hati.

Nanda kemudian menatap Riska, “Maaf ya, kamu tidak apa-apa kan? Istriku memang agak...” Ucapannya tertahan ketika Amel menariknya dengan keras. “Ayo kita pulang!” seru Amel, tidak tahan lagi berada di tempat itu. Matanya mendelik kepada Riska, penuh dengan kemarahan. Nanda terpaksa mengikuti Amel, meninggalkan Riska yang masih memegangi pipinya sambil menatap mereka dengan tatapan dingin.

Riska terlihat tidak peduli dengan situasi yang baru saja terjadi, dia hanya menatap pasangan itu dengan mata yang tajam.

"Sialan!" maki wanita itu, pipinya terasa panas, tapi sakit di hatinya jauh lebih menyakitkan. Dia merasa dihina oleh istri Nanda.

"Awas dia!" makinya, tidak akan membiarkan tamparan ini tidak dibalas. "Suatu saat aku akan membalas dia lebih dari ini! Bahkan aku bisa membuat dia menangis darah dan memohon ampunan dariku!" gemeretak giginya, hidungnya kembang-kempis karena marah.

Sementara itu, Amel dan Nanda terus berjalan meninggalkan area toilet. Ketika mereka hampir sampai di tempat acara dan berada di lorong yang sepi, tiba-tiba Nanda menghempas tangan Amel.

"Mas!" kaget Amel, dia berbalik badan dan menatap suaminya dengan mata berkaca-kaca. "Kamu kenapa? Sejak kapan kamu berselingkuh dengan dia? Apa sekarang kamu akan minta maaf atau membuat alasan?" tanya Amel, berharap ini semua hanya mimpi. 14 tahun bukanlah waktu sebentar, dan setelah perjuangan yang sangat berat, kini suaminya justru kedapatan berselingkuh.

"Astaga Amel! Bagaimana kamu bisa berpikir sepicik itu?! Bagaimana mungkin aku berselingkuh!" balas Nanda, suaranya keras dan penuh ketidaksabaran.

Hahaaa...

Amel tertawa sambil mendongak menatap langit-langit tempat itu, tapi senyum itu bukanlah senyum bahagia. “Kamu bilang kamu tidak selingkuh? Terus tadi ciuman apa? Tidak mungkin kalau kalian tidak memiliki perasaan sedangkan kalian tadi malah ciuman! Aku bukan orang bodoh, Mas...”

Nanda menyimpan kedua tangannya di samping wajahnya, urat-uratnya terlihat menonjol, dia sangat geram pada Amel. Giginya gemertak, menahan letupan emosi.

“Kamu... Apa kamu tidak tahu kalau tadi itu adalah anak direktur dari perusahaan tempatku bekerja?! Bisa-bisanya kamu tampar dia di saat aku naik jabatan, Amel! Apa kamu tidak sayang dengan jabatanku? Di perusahaan mana coba, aku bisa naik sebagai general manager dengan pendidikanku yang hanya lulusan D3?! Di perusahaan mana hanya dengan bekerja 3 tahun aku langsung naik sebagai general manager?! Kamu jangan menghancurkan karirku dengan menyakiti Riska!” seru Nanda, dia tidak membenarkan perbuatan Amel, malah membela wanita lain. Bahkan Nanda seolah-olah membenarkan perbuatannya tadi yang berciuman, dan membanggakan Riska yang katanya adalah anak direktur di perusahaan tempat dia bekerja.

“Lalu kalau dia anak direktur kenapa? Lalu kalau dia anak direktur dia bebas berpacaran sama suami orang? Bebas berciuman sama suami orang? Kan enggak! Dia malah terlihat seperti wanita murahan, bisa-bisanya dia ciuman sama suami orang tanpa ada perasaan, tidak mungkin kan dia bodoh?” balas Amel, suaranya penuh dengan kemarahan dan kecewa.

Plakkkkkk...

Amel terkejut ketika Nanda menamparnya untuk pertama kalinya dalam hampir 15 tahun hidup bersama. “Kamu tampar aku?” tanya Amel, wajahnya memerah, matanya berkaca-kaca.

“Itu karena mulut kamu! Jangan sampai gara-gara perbuatan kamu terhadap Riska aku tidak jadi naik jabatan!! Jika itu terjadi, aku benar-benar akan murka sama kamu!”

Amel terdiam, merasa sesak sekali mendengar penuturan suaminya. “Jadi kamu tampar aku hanya karena itu? Hanya karena jabatan kamu? Jangan keterlaluan Mas, aku ini istrimu! Bahkan kewajibanku untuk marah ketika melihat suamiku bercumbu dengan wanita lain, dan kamu malah menampar aku? Kamu lebih mementingkan karir mu daripada perasaanku? Iya?”

Nanda menjawab dengan mantap, “Iya! Aku lebih mementingkan karir ku dan masa depanku. Kamu kan tahu betapa sulitnya mencari pekerjaan, dan ketika aku sekarang memiliki gaji yang menjanjikan, tidak mungkin aku membiarkan kamu menghambat jabatanku dan karir ku!”

Amel merasa sakit hati mendengar jawaban suaminya, merasa bahwa dirinya tidak dihargai sebagai istri.

Amel terhenyak, dadanya sakit mendengar kata-kata Nanda.

“Apa kamu bilang? Aku menghambat kamu? Menghambat karirmu?” Air matanya hampir terjun bebas, tapi Amel masih menahannya dengan sekuat tenaga.

Nanda memperhatikan penampilan Amel dengan sinis. “Dan apa ini? Bagaimana bisa kamu datang ke acara seperti ini dengan baju seperti itu? Apa kamu sedang mempermalukan suamimu?” Tanya Nanda dengan nada menghina.

Amel menatap bajunya, merasa tersinggung. “Kenapa dengan bajuku? Apa yang salah dengan bajuku? Kenapa kamu menghina baju yang sedang aku pakai?” Nanda mencengkeram rambut

Amel, suaranya ditekan dengan nada marah.

“Karena itu bikin aku malu! Lihat, dandananmu ini kampungan banget, kamu pakai baju ke acara kecilan, rambut kamu berantakan, make up kamu ketebalan, kamu mau ngelenong? Kamu nggak tahu kalau orang-orang yang datang ke acara ini adalah orang-orang hebat?! Kamu ini, sekarang sedang mempermalukan suamimu! Beruntung tadi kamu nggak ikut naik ke atas panggung, kalau kamu ikut naik, entah aku harus menyimpan wajahku di mana... Untung aja yang nemenin aku Riska...”

Amel merasa hancur mendengar hinaan Nanda, merasa bahwa dirinya tidak dihargai dan tidak dianggap sebagai istri yang baik. Dia merasa bahwa Nanda lebih mementingkan karir dan gengsinya daripada dirinya sendiri.

“Mas!” Seru Amel, “Aku sengaja datang ke sini walaupun sudah kamu tinggalkan, Aku sengaja datang untuk mendukung kamu! Aku bahkan rela naik taksi sendirian, hanya untuk mendukung kamu dan menyaksikan keberhasilan kamu, tapi kenapa kamu malah mengatakan hal-hal kayak gitu? Ingat ya aku ini istrimu...”

Nanda tertawa, “Bener apa kata ibu! Kamu memang istriku, Amel!! Tapi penampilan kamu, benar-benar kayak pembantu, bikin malu. Sudah aku katakan baju kamu itu jelek, dan kenapa kamu masih pakai?” “Jelek? Pembantu? Jadi kamu mengiyakan apa kata ibu? Kamu membenarkan jika aku dekil?”

Amel merasa sakit hati, air matanya mulai menggenang. “

Iya! Kamu dekil, kamu nggak bisa rawat badan kamu... Lihat dong, kamu pakai baju kekecilan kayak gitu, lihat perut kamu... Kamu nggak malu pakai baju itu? Aku aja yang lihat malu! Pasti orang-orang yang lihat kamu itu sekarang sedang menertawakan kamu...”

“Mas!” Bentak Amel, tapi Nanda langsung membalas, “Jangan pernah membentakku!” Serunya, suaranya keras dan menakutkan. Amel merasa terhimpit, tidak bisa melawan suaminya yang sedang marah.

Amel mengepalkan tangannya, “Kamu mengatakan hal-hal menyakitkan? Kamu bilang aku dekil! Kamu bilang bajuku jelek, apakah kamu tidak bertanya kapan terakhir kali aku membeli baju? Apakah kamu tidak bertanya kapan terakhir kali aku membeli skin care? Aku bela-bela in mengirit uang yang kamu berikan, agar kita bisa menabung, agar aku bisa memberikan kamu baju-baju bagus, bisa memberikan Bulan dan ibumu makanan enak, dan sekarang kamu balas ku dengan penghinaan?”

Nanda merasa tersinggung, “Amel! Aku tidak pernah memintamu untuk irit! Sudah kukatakan beli apa pun yang kamu inginkan, aku memberikan uang kepadamu setiap bulan! Dan ketika kamu memutuskan untuk irit, itu bukan salah aku? Dan ketika baju-baju kamu jelek, kenapa sekarang kamu malah menyalahkanku?”

Amel menggigit bibirnya, merasa sakit hati. Nanda kemudian berlari lagi ke belakang, mencari Riska. “Lebih baik kamu pulang saja...” katanya sebelum pergi. Amel berjongkok setelah Nanda pergi, mengusap wajahnya dengan kesal.

“Jahat!” lirihnya, merasa bahwa suaminya tidak memahami dirinya.

Setelah merasa pegal karena berjongkok lama, Amel berbalik badan dan berjalan dengan lemah, mencari tempat sepi untuk keluar dari gedung acara. Dia melihat orang-orang tertawa dan berpesta, tapi dia merasa tidak punya tempat di sana setelah suaminya mengusirnya dan lebih memilih Riska.

Amel memutuskan untuk pulang saja daripada terlihat seperti orang bodoh. Beberapa orang memperhatikan Amel, yang terlihat lemah dan tidak peduli pada sekitarnya. Wajahnya kacau, rambutnya berantakan, dia memegangi tas kecil sambil keluar dari gedung. “Jahat! Dia jahat...” lirih Amel saat menuruni tangga gedung, pandangannya kosong.

Tiba-tiba, seseorang memanggilnya.

“Amel? Kamu Amel kan?” Amel menoleh, menautkan alisnya. “Loh, kenapa kamu ada di sini?” tanya Amel pada perempuan itu, mengusap wajahnya. “Astaga Amel, apa yang terjadi sama kamu? Berapa tahun kita tidak bertemu? Dan apa ini?” perempuan itu bertanya, memperhatikan keadaan Amel dengan khawatir.

“Astaga, kamu tua banget!” seru wanita itu sambil menutup mulutnya, lalu membolak-balikkan Amel dengan menyentuh pundaknya.

“Cih, jangan menghinaku! Umur kita sama...” balas Amel, tersinggung dengan komentar tentang usianya. “Hahaaaa, sudah aku bilang, laki-laki kere itu tidak bisa mengurusmu! Lagian suruh siapa sih nikah sama si Nanda...” wanita itu melanjutkan, seolah-olah tahu semua tentang kehidupan Amel. “Kin!” pekik Amel, merasa kesal dengan komentar Kin. “Jangan berteriak kepadaku Amelia Putri Diningrat Eh, tapi, apakah Om Diningrat tahu kalau anaknya sekarang kaya nenek-nenek kayak gini?” Kin kembali mengolok-olok, membuat Amel semakin kesal. “Kin, berhentilah!” seru Amel, tidak tahan lagi dengan ejekan Kin.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!