BAB 5

(Revisi)

Rea mengerjap perlahan, rasa sakit berdenyut di kepalanya yang terasa kaku karena balutan perban. Matanya yang baru terbuka menangkap bayangan aneh yang bergerak cepat di ujung ranjang.

"Astaga!" Rea terkejut, mencoba bangkit, tetapi kepalanya berdenyut hebat.

"Miiiauw."

Suara lembut itu merambat, dan Rea melihat seekor kucing oranye berbadan gempal yang sedang asyik bermain dengan ujung selimut. Kucing itu berhenti, menatap Rea dengan mata bulatnya, lalu menguap lebar, menunjukkan lidah merah muda kecil.

Rea tersenyum tipis. "Oh, jadi kamu yang membangunkanku?"

Ia mengedarkan pandangan. Kamar kecil, bersih, dan berbau khas pedesaan. Di ambang jendela kayu, terlihat beberapa pot bunga gantung yang bergoyang ditiup angin.

Aku di mana? Ia memegang perban di kepala. Jelas bukan rumah sakit. Terakhir yang kuingat, aku sedang berjalan di trotoar, lalu... gelap.

Ia turun dari ranjang, merasakan lantai kayu yang dingin di kakinya. Kucing oranye itu mengekor, menggesekkan tubuhnya ke kaki Rea.

"Hei, aku harus cari tahu ini rumah siapa."

Rea berjalan perlahan menuju pintu yang sedikit terbuka. Tiba-tiba, ia mendengar suara gaduh disusul tawa renyah dari balik pintu.

Gubrak! Krek! (Suara barang jatuh dan patah)

"Astaga, Sayang! Pohon beringin di depan rumah ini tumbang, atau kamu yang sedang latihan silat di dapur, hmm?" Terdengar suara seorang wanita, bernada menggoda namun terdengar sabar.

"Ck! Itu karena aku sedang konsentrasi tinggi, Nek. Mengolah bumbu untuk rendangmu! Tiba-tiba saja panci itu menyerang kaki kananku. Aku hanya membela diri!" Suara pria itu terdengar cempreng dan penuh pembelaan diri.

"Oh ya? Panci kok menyerang kaki? Jangan-jangan kamu sedang membayangkan Janda Muda di Warung Kopi itu lagi, makanya konsentrasi jadi nol!"

Tawa pria itu mendadak terhenti. "Astaga, Nenek, itu kan masa lalu. Kenapa harus dibawa-bawa lagi? Aku sudah setia menemanimu membuat rendang selama empat puluh tahun terakhir, tahu!"

"Huh! Setia karena kamu tidak punya pilihan lain, Pardi!"

"Pardi siapa? Aku Romo, Rita!"

Rea yang berada di balik dinding tersenyum, menutup mulutnya menahan tawa. Pasangan lansia ini benar-benar menghibur. Rasa sakit di kepalanya seolah berkurang.

Ia memberanikan diri melangkah, muncul di ambang pintu dapur.

"Selamat siang..." sapa Rea, nadanya sedikit ragu.

Pasangan lansia itu terdiam. Mereka adalah seorang Nenek berkonde dengan celemek motif bunga dan Kakek berkumis tebal yang sedang memungut serpihan kerupuk di lantai. Mereka berdua menoleh serempak ke arah Rea.

"Ya ampun! Siapa kamu?" tanya Nenek Rita, menunjuk Rea dengan sendok kayu.

"Itu... dia yang pingsan di pinggir jalan dekat kebun teh, Nek. Yang Kakek bawa pakai gerobak seminggu yang lalu," Kakek Romo berbisik keras sambil menyikut lengan istrinya.

Nenek Rita menepuk jidatnya. "Ya Tuhan! Aku kira itu bidadari yang baru muncul dari balik tirai dapur! Kamu sudah sadar, Nak? Kenapa diam-diam saja?"

Rea hanya tersenyum tulus, memperlihatkan lesung pipi yang manis. Senyum itu membuat pasangan suami istri itu tertegun, melupakan perdebatan mereka.

"Kamu dari kota, kan? Pakaianmu bagus sekali," tanya Nenek Rita mendekat dan mengelus lengan Rea dengan lembut. "Kenapa kepala bisa sampai luka begini? Apa kamu lari dari... perjodohan paksa?"

"Aduh, Nenek ini! Jangan menakut-nakutinya! Dia belum makan!" Kakek Romo memprotes. "Sini, Nak, duduk. Nenekmu ini memang banyak tanya. Nanti saja ceritanya."

Nenek Rita mendengus, lalu meletakkan semangkuk bubur ayam dengan irisan cakwe di depan Rea.

"Makan ini dulu, biar ada tenaga. Semalam Ibu Bidan datang, dia bilang kamu... sedang berbadan dua," kata Nenek Rita, suaranya melunak.

"Berbadan... dua?" Rea tercekat, matanya langsung tertuju pada perutnya yang kini terasa lebih membulat. Ia menggeleng cepat. "Saya... saya tidak tahu, Nek."

"Tidak tahu? Astaga, Nak! Kata Bu Bidan sudah masuk minggu ke delapan. Kamu tidak merasakan apa-apa?"

Rea memegang perutnya. Memang benar, belakangan ia sering mual, tetapi ia mengira itu hanya karena masuk angin. Hamil? Anak Azelio? Tapi... hanya satu malam... Perasaan campur aduk menyerbu, antara takut dan haru.

"Ya sudah. Sekarang makan, jangan terlalu dipikirkan. Nak, kamu punya keluarga di mana? Biar kami antar pulang. Tidak baik ibu hamil hidup sendiri."

Rea menggeleng, menatap Nenek Rita dengan mata berkaca-kaca. "Saya... sudah tidak punya siapa-siapa lagi, Nek."

Nenek Rita dan Kakek Romo saling pandang. Sebuah kehangatan terpancar di mata mereka.

"Kalau begitu, tinggal saja di sini," ujar Nenek Rita mantap, mengusap punggung tangan Rea. "Anggap saja kami Kakek dan Nenekmu. Kami senang kok, kalau ada yang menemani kami mengurus kebun."

"Boleh, Nek?" Rea merasakan air matanya menetes.

"Tentu saja boleh, Nak. Kami ini sudah tua, butuh cucu yang bisa merawat kami. Kamu mau kan jadi cucu kami?" Kakek Romo tersenyum lebar, menampakkan gigi depannya yang ompong.

Rea mengangguk cepat. Ia mengusap perutnya lagi, kali ini dengan senyum yang dipenuhi kelegaan dan harapan. Terima kasih, Sayang. Mama akan menjaga kita berdua.

Lima Tahun Kemudian...

Di kebun teh yang berbukit hijau, Rea kini terlihat jauh berbeda. Kulitnya berubah eksotis karena sering terpapar matahari, dan tangannya cekatan memetik daun teh. Ia tampak mempesona dalam balutan pakaian sederhana. Di kakinya, berlarian dua bocah kembar yang lucu dan energik.

"Mama! Cini cini! Liat! Lui tapat dumbang tanduk besal!" teriak seorang anak laki-laki dengan kaos lusuh, dan lesung pipi. Bernama Rhui Sayersz.

"Ihh... Abang kotol! Ental Luci nda mau peluk!" sahut anak kembarnya, Ruchia, dengan gaya bicara yang cadel dan sama lincahnya.

"Nda kotol kok, Luci! Ini hadiah buat Mama!" Rhui berlari ke arah Rea.

"Oh, masyaallah, Nak! Jangan lari-lari! Nanti jatuh di lereng!" Rea tertawa sambil meraih Rhui dan menggendongnya di pinggul.

"Papaaah! Ada mottel dumbang tanduk!" Ruchia berlari ke arah Nenek Rita yang sedang menyiram bunga di teras rumah.

"Heh, siapa itu Papa? Kami ini Nenek dan Kakek!" protes Nenek Rita pura-pura marah. Kakek Romo terkekeh sambil mengasah cangkulnya.

...****************...

Di tempat lain, jauh di ibu kota, di sebuah ruang makan mewah, ada keheningan yang tegang. Rexan, seorang bocah laki-laki lain yang mirip Rhui dan Ruchia, baru saja menjatuhkan piringnya. Prang!

"Rexan, kamu kenapa, Sayang? Apa ada yang sakit?" tanya Mami Azura, panik. Pelayan bergegas membersihkan pecahan piring.

"Rexan nda tuat matan, Mami..." bisik Rexan, menahan mual. Mata polosnya kemudian menoleh pada Azelio yang duduk di seberangnya, yang tampak sama sekali tidak menyentuh hidangan mahalnya. Azelio terlihat pucat dan dipenuhi beban pikiran.

Terpopuler

Comments

Yus Nita

Yus Nita

siapa Rexan, apa anak Azelio bersa Emira..

2025-10-02

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!